Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Ada satu pernyataan menarik dari Busyro Muqqodas, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah dalam Temu Nasional Reforma Agraria yang diselenggarakan akhir Januari lalu. Busyro selain memberi apresiasi kepada Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ia juga mengambil data dari KPA bahwa ada penguasaan bisnis kalangan swasta di sektor Sawit seluas Pulau Jawa. Lalu hal ini mau disikapi bagaimana?



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

KUHP akhirnya resmi disahkan menjadi Undang-Undang setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo  pada  2 Januari 2023. Sejumlah akademisi dan sebagian masyarakat menyuarakan kritik atas pengesahan KUHP baru dengan alasan masih memuat pasal-pasal antidemokrasi. Pasal-pasa tersebut juga berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Demikian pula pernyataan Dewan Pers bahwa jurnalis rentan dikriminalisasi dengan pasal-pasal yang multitafsir. Lalu apa dampak KUHP bagi komunitas jurnalis dan media serta apa dampaknya bagi publik yang memiliki hak atas informasi dan berekspresi?

Dalam siaran radio KBR yang disiarkan lewat YouTube @BeritaKBR, host Naomi menghadirkan Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers, Towik Manajer Program Sejuk, dan Lutfiana Dwi Mayasari Kontributor Mubadalah.id. Sebagai media yang didirikan oleh para jurnalis dengan misi membumikan jurnalis dengan pemberitaan tentang toleransi, Towik menyayangkan terbitnya KUHP yang baru yang masih memuat pasal-pasal multitafsir. Menurutnya ini kemunduran demokrasi. Sejuk bersama kawan jaringan sebenarnya sudah mengadvokasi KUHP sejak rancangannya. “Ini matinya kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat karena KUHP sangat membatasi, kalau dilihat pasal-pasalnya yang selama ini didorong untuk bisa direvisi oleh DPR RI tapi ternyata pasal-pasal itu masih tetap disahkan,”ungkapnya.

Towik menambahkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi terutama bagi kelompok minoritas menjadi semakin terbatas karena sebetulnya mereka membutuhkan ruang aspirasi yang banyak karena sering tidak mendapatkan ruang terbuka. Karena ini di era digital maka termasuk mencederai demokrasi digital. Hak-hak yang berkaitan dengan kebenaran, fakta dan kritik, tidak bisa leluasa disampaikan dan bebas diungkapkan dan ini terus menjadi alat bagi mayoritas dan penguasa untuk membungkam prinsip-prinsip yang seharusnya bisa didapatkan oleh siapapun termasuk kelompok minoritas. Lagi-lagi targetnya bisa mengkriminalisasi kelompok minoritas terutama agama dan kepercayaan yang harusnya mereka dilindungi ekspresinya, pendapatnya termasuk aktivitas keagamannya. 

Lalu bagaimana KUHP memengaruhi kerja-kerja jurnalistik? Towik menjawab yang menjadi kekhawatiran bersama karena diksi penodaan atau penistaan tidak eksplisit disampaikan di KUHP tetapi semua tahu bahwa kebencian, permusuhan, yang terkait agama adalah diksi yang sangat karet. Jadi ketika media mengangkat isu ini dan jurnalisnya mau menuliskan isu yang berkaitan dengan agama yang mungkin kontennya mengkritik, bisa pimpinan agama yang menyampaikan khotbah saat pengajian atau teolog yang menyampaikan dogma-dogma yang ingin dikritisi bisa menjadi sulit dimunculkan sebab ada sensor atau swasensor dari KUHP ini. Jadi sangat berbahaya untuk kebebasan dalam pers. 

Lain lagi pendapat Lutfiana Dwi Mayasari kontributor Mubadalah.id yang berbasis di Cirebon yang tulisan-tulisannya pada perspektif Islam dan membuka ruang pada masyarakat untuk mengirimkan tulisannya. Terbitnya KUHP menurutt Lutfiana sangat berpengaruh sebab di Mubadalah ada dua kontibutor yakni tetap dan lepas. Sejak KUHP masih rancangan, kontributor ini harus mengalami atau melalui proses review lebih panjang dari biasanya untuk memastikan konten tidak ada unsur-unsur yang menyalahi KUHP.  Karena konten kegamaan, memang ada perpsektif lain yang akan dimunculkan maka ketika perspektifnya dianggap tidak  umum akan berpotensi untuk diserang. 

Untuk para kontributor tetap, mereka  ada review bertahap dan reviewer-nya ada yang dari Dirjen Kemendagri apakah konten mereka bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila atau tidak karena amanatnya seperti itu.Apakah rujukan yang dijadikan konten menulis kredibel atau tidak. Apakah tulisan tersebut mengandung  ujaran kebencian atau tidak. “Ini seperti dua sisi mata pisau karena di satu sisi kita ingin melindungi kontributor seperti di pasal 263, 241, tapi di sisi lain kita tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan. Kami pernah "ramai" atas normalisasi pelecehan seksual yang dilakukan APH terhadap anak,”jelas Lutfiana. Bahkan menurut Lutfiana, upaya yang dilakukan dengan mengubah judul agar lebih soft misalnya dengan judul "Dear Polisi, Pelecehan Seksual itu Bukan Delik Aduan."

Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers menyatakan bahwa di KUHP yang saat ini disahkan lebih banyak mengadopsi/mengambil pasal-pasal lama yang ada di KUHP lama misalnya pasal pencemaran nama baik, penghinaan, dan informasi bohong. Dan ada satu pasal baru terkait merendahkan martabat presiden dan wakil presiden yang cukup keras ditentang juga oleh para aktivis. Dari banyaknya pasal-pasal yang multitafsir sudah banyak yang bersuara baik itu Dewan Pers atau asosiasi pers terkait dengan pasal-pasal pers, sebab disitulah potensi kriminalisasi akan terjadi. Kekhawatirannya dengan swasensor, bagaimanapun nanti jurnalis akan takut melakukan kritik untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya padaahal tugas jurnalis melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan.

Lalu apa pengaruhnya bagi kerja jurnalis? Ade menilai bahwa jurnalis itu adalah yang dia memiliki badan hukum, dan yang berbentuk perusahaan. Tetapi jurnalistik harus dipandang sebagai produknya. Dalam konteks ini misalnya media yang belum memiliki badan hukum, disinilah potensi kriminalisasi besar akan terjadi. Bagi jurnalis dari media yang punya badan hukum misalnya PT, mungkin dia masih punya UU Pers sebagai perlindungan. Di luar itu banyak jurnalis warga, pers kampus yang secara karir bagus tetapi disitulah sebenarnya dia tidak dilindungi.

 

 Pasal Multitafsir KUHP Bayangi Kebebasan Jurnalis

Bahwa jurnalistik di Mubadalah sudah direview dan banyak reviewer terlibat termasuk aparat. Ini sudah diasumsikan sebenarnya ancaman kepada jurnalis sudah ada. Menurut Towik, ancaman KUHP pun di  isu sangat sensitif sehingga misalnya jurnalis di tingkat editor bahkan pemilik media pasti akan sangat hati-hati bahkan menghindari persoalan-persolan yang mengkaitkan agama terutama ketika pandangannya atau yang akan ditulisnya itu kritis terhadap agama mayoritas atau pimpinan agama. Ini kemunduran besar bagi jurnalis media sebab seharusnya ruang ekspresi mereka yang ketika reformasi dibuka itu kebebasan persnya. Hak publik mendapatkan informasi dan fakta yang sebenarnya menjadi terbatasi berkaitan dengan kelompok minoritas . Misalnya baru saja kita dikagetkan dengan satu kelompok agama yang katanya datang dari Malaysia yang hadir sini.

Ini karena informasi yang disampaikan tidak baik di media sosial dan pihak-pihak  yang terkait dalam hal ini. Negara, FKUB, MUI dan ulama-ulama dari agama dominan akhirnya memberika stigma dan stempel kepada komunitas itu  tanpa didahului bagaimana melakukan tabayun atau klarifikasi. Media ketika mau masuk ke dalam isu-isu seperti ini pasti akan khawatir. Misalnya dalam beragama dan berkeyakinan sesuai dengan konstitusi atau sama dengan varian muslim yang lain itu pasti tidak berani karena tekanan mayoritas akan besar terhadap media itu. 

Hal sama diakui oleh Lutfiana. Sebagai kontributor di Mubadalah ia dihadapkan dengan dua pasal yang sama-sama karet. Yang satu pasal tentang jurnalistik dan kedua pasal tentang keagamaan jadi bisa kena kanan kiri (kedua-duanya). Di Mubadalah sendiri saat ini review-nya agak terbuka, maka kontributor lebih memilih menulis yang aman. Mereka tidak punya kebebasan misalnya akan membahas tentang childfree. Karena childfree lumayan ramai pembahasannya. Nah ketika pemahaman keagamaan yang diambil tidak sesuai dengan publik maka bisa dijerat pasal 24 dan di satu sisi kena pasal 301 karena jurnalis menulis agar tulisan dinilai umum melalui sarana teknologi informasi.Jadi memang akhirnya di Mubadalah modelnya kajian. Tapi judul dan tagline, orang hebat. “Jadi memang kita selalu dibayangi dua pasal tersebut,”ungkapnya.  

Dewan Pers mengatakan ada 11 pasal yang mengancam kerja-kerja jurnalistik. Pasal  218 sampai 220.  Ini tentang tindak penyerangan kehormatan presiden dan wapres. Pasal 241 mengatur penghinaan pada pemerintah dan lembaga negara Ade menambahkan bahwa pasal yang disebut di atas adalah pasal yang keras mereka tentang. Pasal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tetapi dipaksakan kembali masuk. Terkait dengan penghinaan terhadap lembaga negara, ini pun mendapat kritikan masyarakat sipil karena ini digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat bahkan jurnalis. Misalnya kasus orang ketilang yang waktu itu melakukan perekaman video kemudian diupload itu dianggap sebagai penghinaan sebuah lembaga. Akhirnya dia dilaporkan menggunakan pasal itu. Potensi-potensi itu akan terjadi karena pasalnya masih ada. Kalau di penghinaan itu harusnya dia terhadap orang. Tapi ini terhadap lembaga, badan hukum yang seharusnya dalam konsep hukum ini tidak dikenal. ‘Di sini saya pikir pemerintah ingin sekali mengkriminalisasi masyarakatnya. Harusnya ekspresi itu menjadi hak yang konstitusional sebagai warga negara,” ujar Ade.

Terkait Undang-undang nomor  40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan salah satu fungsi dan peranan pers adalah pengawasan dan kontrol terhadap jalannya pemerintahan sehingga bentuk-bentuk karya jurnalistik yang keluar dari media dan perusahaan pers itu harus dianggap atau  di bawah Undang-undang Pers itu. Artinya ketika seseorang menjalankan amanat Undang-undang Pers, harusnya ia dilindungi tetapi kemudian dalam beberapa kasus terkadang pejabat dan APH terlalu kaku melihat UU Pers ini. Mereka melihat sebuah tataran administratif ketika memang yang mempublikasikan tidak memiliki badan hukum misalnya, dia langsung ini dikeluarkan dari ranah UU Pers. Padahal substansi UU Pers adalah sebuah karya jurnalistiknya. Harusnya diuji dalam konteks substansinya. Kekakuan melihat ini terlihat dalam proses hukum terutama kriminalisasi dalam kasus pers. 

Terkait pasal 300-302 yang mengatur tindak pidana terkait agama dan kepercayaan, menurut Towik mungkin penodaan agama tidak secara eksplisit dicantumkan dalam KUHP, tetapi di pasal itu, termasuk juga 304 bisa mengenai terhadap pimpinan, orang yang sedang menyampaikan hatespeech dalam khotbahnya. Umpamanya pihak yang merasa dirugikan dalam hatespeech itu menyampaikan pandangannya, nanti bisa kena juga terutama kelompok minoritas. Jadi pasal 300,. 301, 304 adalah bentuk lain dari penodaan agama yang dalam nomenklatur hukum di internasional itu sudah tidak seharusnya dipakai oleh negara-negara penganut demokrasi. Ini menjadi landasan konsepnya.

Akan menjadi kemunduran karena kalau melihat hukum atau pidananya, tentang penodaan agama  atau pertentangan, kebencian, penodaan terhadap agama/keyakinan, bisa kena 5 tahun termasuk menyiarkan dan bukan hanya kelompok minoritas, termasuk jurnalis , termasuk media. Pers sudah ada mekanisme sendiri. Harusnya tidak ke kepolisian tetapi lewat Dewan Pers tetapi karena ada pasal seperti ini maka jurnalis pun bisa kena, yang tadi disebut disensor, bisa alami tidak mengangkat isu-isu yang berkaitan ajaran keagamaan atau pandangan pimpinan keagamaan tertentu yang perlu dikritisi. Karena selain fungsi media untuk mengawasi, mengontrol kekuasaan juga untuk mengedukasi publik. Jadi fungsi edukasi menyampaikan kebenaran,informasi yang seimbang, itu bisa tereduksi karena pasal KUHP pasal 300,301 dan 304.(ast)

 

 

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Selama kurang lebih setahun lalu, Inspirasi Foundation sudah mengimplemenasikan sebuah program yang disebut sekolah responsif gender untuk mencegah anak putus sekolah. Sebagai gambaran, ada 3.328 anak berusia sekolah (7-18 tahun) di 5 desa di 5 kecamaan Kabupaten Pemalang berpotensi putus sekolah. Demikian dikatakan Aloysius Bram, Project Officer Inspirasi Foundation dalam sesi webinar bertema tiga dosa besar dalam pendidikan, Rabu (18/1).

Pendekatan yang digunakan oleh Inspirasi Foundation pada pengarusutamaan gender dan inklusi sosial di sekolah dalam program yang diimplementasikan berbeda karena tidak langsung menyasar pada tindakan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual,intoleransi dan perundungan. Mereka masuk ke dalam wacana anak berisiko putus sekolah. Tahun lalu Inspirasi bekerja sama dengan Unicef yang selama ini melakukan pendekatan advokasi dengan banyak pemerintah daerah di hampir seluruh wilayah Indonesia untuk melakukan pendataan anak tidak sekolah dan anak berisiko putus sekolah.

Selama ini sudah banyak yang dilakukan untuk menangani anak-anak tidak sekolah namun  untuk anak berisiko putus sekolah yang statusnya masih sekolah tetapi ada risio-risiko tertentu bagi mereka mengalami putus sekolah. Anak-anak berisiko ini yang mungkin selama ini belum diketemukan formulasi pendekatannya seperti apa untuk memastikan mereka dapat melakukan atau melaksanakan pendidikannya.

Dalam konteks program, Inspirasi menemukan empat faktor atau isu utama anak berisiko putus sekolah yakni persepsi orangtua tentang pendidikan, perundungan (menjadi salah satu dari tiga dosa besar pendidikan), akses kepada fasilitas pendukung dan literasi kesehatan reproduksi dan seksualias.

Lalu bagaimana korelasi antara isu kesetaraan gender dan inklusi sosial? Isu perundungan yang dalam konteks lingkungan pendidikan seringkali dianggap sebagai hal yang wajar. Hal tersebut dianggap sebagai kenakalan anak-anak dalam konteks pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Padahal perundungan ini bukan hanya perundungan. Kalau melihat lagi kasus perundungan terutama pada sisi mindset anak-anak di sekolah, ada banyak faktor lainnya. Salah satunya terkait dengan maskulinitas toxic atau nilai-nilai maskulinitas yang negatif. Bahwa kerap sekali terutama terjadi pada siswa laki-laki untuk menunjukkan kelaki-lakiannya. Bisa dengan cara diperlihatkan sisi superioritasnya terhadap yang lain.

Sisi superioritas ini yang di kalangan laki-laki termanisfestasi dalam bentuk perundungan padahal nilai-nilai superioritas atau unggul itu tidak selalu harus dalam bentuk kekerasan dan ada hal-hal lain.  Tetapi pandangan ini menjadi lumrah dan dinormalisasi sehingga termanifestasi dalam wujud perundungan. Selain itu perundungan dalam lingkungan pendidikan anak-anak sekolah adalah bentuk penolakan lingkungan terhadap seseorang yang ida bersikap atau berperilaku sebagaimana stereotip gender yang dianggap normal. Jadi kalau di sekolah ada perempuan yang tidak berperilaku feminin atau laki-laki yang tidak  berperilaku maskulin dianggap tidak sesuai dengan nilai dan kemudian bentuk kekerasannya adalah perundungan. Perundungan itu pada skala tertentu ada kaitannnya dengan stereotip gender yang akhirnya termanifestasi.

Terkait akses dan kesempatan pada pendidikan biasanya terkendala oleh mindset orangtua yang menginginkan anaknya tidak bersekolah atau langsung bekerja. Begitu juga pada anak perempuan yang segera dinikahkan.

Literasi kesehatan reproduksi pada anak pendidikan dasar dan menengah terkait dengan reproduksi dan seksualitas mengemuka dan menjadi penting bagi perempuan di usia anak usia kelas 4 SD dan 1 SMP yang mengalami menstruasi. Sangat penting sebenarnya karena saat menyadari perkembangan tubuhnya misalnya saat mengalami menstruasi, mereka tidak sadar dengan perubahan fisik dan psikis. Kurangnya literasi tentang kesehatan reproduksi dan kesehatan juga meningkatkan risiko terjadinya kekerasan seksual karena itu dianggap normal.

Dari bulan Juli hingga Desember 2022 yang lalu, Inspirasi Foundation bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pemalang mengimplementasikan program sekolah responsif gender untuk mencegah anak berisiko putus sekolah. Tujuan program ini mewujudkan sekolah yang peka terhadap ketimpangan dan masalah responsif gender pada murid. Mitra sekolah responsif gender untuk cegah anak putus sekolah ada di 21 SD, 6 SMP dan 3 PKBM di 5 kecamatan. Salah satu cerita perubahannya adalah bisa mengidenifikasi masalah yang komprehensif terkait anak berisiko putus sekolah dan adanya kesadaran sekolah untuk lebih terhubung dengan orangtua/wali murid. (Astuti)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Lutfiana dari Mubadalah.id,masih dalam siaran terkait KUHP di YouTube @Berita KBR, menyatakan bahwa di medianya menggunakan istilah kontributor dan di Undang-undang Pers istilah kontributor juga masih menimbulkan polemik karena kontributor tidak memiliki kontrak dan tidak memperoleh pembelaan saat menghadapi masalah. Mereka  menjadi kontributor karena keinginan mereka yang ingin menyampaikan inspirasi  melalui media.

Terkait  kaidah jurnalistik, menurut Lutfiana di Mubadalah ada perbedaan sedikit terutama di hak-haknya. Salah satu yang dilakukan Mubadalah untuk melindungi para kontributornya yakni dengan melakukan proses review yang panjang. Selama di Mubadalah dari tahun 2020 belum ada yang sampai dituntut lewat hukum. Tetapi banyak hatespeech dan yang diserang adalah website Mubadalah. Mubadalah pernah di-takedown beberapa kali dan input sebagai kontributor hampir seluruhnya diambil alih Mubadalah. “Kami sebagai kontributor dilindungi dengan tidak menyebutkan nama meskipun tulisan kami ada dan kami sering pakai nama samaran tapi ada yang sampai nemu instagramnya dan itu terus dibuntuti dan malah kontributor yang kena hatespeech,”ujar Lutfiana.

Lalu bagaimana cara masyarakat tetap bisa berekspresi tanpa melanggar KUHP yang baru? Ade Wahyudin dari LBH Pers menjawab betul bahwa saat ini ada aturan yang sangat membatasi kebebasan berekspresi tetapi kita juga memiliki aturan umum bahwa menyampaikan fakta bukanlah sebuah tindakan pidana. Artinya kita harus serius dan yakin bahwa yang kita sebarkan adalah fakta. Fakta yang kemudian bukan dengar dari kawan tetapi fakta yang kita yakini sebagai kebenaran. Kalau yang kita sebarkan adalah kebenaran, mau pasal apa pun itu harusnya tidak bisa menjerat secara hukum. “Artinya PR-nya adalah bagaimana kita bersama-sama mendorong literasi media dan informasi dengan benar agar masyarakat tidak menyebar informasi yang tidak pasti dan bukan informasi-informasi bohong. Itu hal yang paling sederhana kita lakukan,’terang Ade.

Pertanyaan mencuat lagi apakah hanya jurnalistik yang dibatasi dan media sosial tidak dibatasi? Menurut Ade karena internet cukup banyak menimbulkan kebaruan sehingga ada media dan media sosial yang secara konteks berbeda. Kalau media, dia pasti dilindungi UU Pers. Kalau media sosial ruang lingkupnya misalnya internet yang ternyata di dalamnya ada media, ini serupa dengan media offline. Kalau offline kita bisa apa pun bisa berekspresi, berniaga, sehingga kalau dalam hukum internasional secara narasi manusia, hak yang paling dilindungi secara offline juga dilindungi secara online. Tidak ada pembedaan itu semestinya. Meskipun praktiknya karena anonimitas di internet itu sangat memungkinkan sehingga ungkapan-ungkapan atau ujaran kebencian itu sangat terlihat jelas di dunia maya dibanding offline. 

Jadi mengapa DPR menganggap sanksi dipidana untuk tindak pidana di online lebih berat? Menurut Ade karena keduanya tidak dibedakan dan karena sama-sama hak yang harus dilindungi.

Di atas disebut jurnalisme warga dan pers kampus merupakan titik lemah KUHP, lalu bagaimana cara mereka bisa melindungi? Apa semua harus lewat sensor? Menurut Towik soal kerentanan justru di teman-teman di luar pers yang punya badan hukum seperti jurnalisme warga, komunitas dan jurnalisme alternatif. Menurutnya justru yang rentan berkaitan dengan agama, kelakarnya kan begini kalau misal kelompok mayoritas mengkritik agama minoritas itu dianggap kebenaran dan itu harus didukung dan akan disupport oleh pandangan mainstream. Tetapi bagaimana jika yang menyampaikan adalah dari kalangan minoritas maka kelakarnya kalau yang mayoritas menyampaikan kebenaran yang minoritas terkait dengan kritis keagamaan maka akan dianggap sebagai memusuhi atau membenci. Itu   kalau menggunakan pasal KUHP karena menyampaikan pandangan yang berbeda dengan pandangan yang dominan keagamaan.

Untuk itu, ungkap Towik, tidak ada cara lain ketika kita menyampaikan informasi kritis terkait isu-isu keagamaan maka sumbernya harus valid dan kredibel jadi tidak menggunakan asumsi-asumsi. Dari sana kita bisa menyampaikan ketika ada kriminalisasi bahwa itu ada dasarnya. Tentu ini tidak bisa lepas dari KUHP. Diskusinya adalah jika di pasal 263 terutama yang menyiarkan, menyebarluaskan, pemberitahuan atau hal-hal berkaitan dengan kritik, itu bisa dianggap sebagai kebohongan. Atau di pasal 264 sebagai informasi yang tidak lengkap, yang tidak pasti atau berlebih-lebihan. Pasal ini yang memang bukan buat teman-teman jurnalis atau media, tapi media alternatif, jurnalisme warga, termasuk Persma menjadi sangat rentan.

Sebenarnya ada upaya dari Dewan Pers sebelum KUHP disahkan dengan membangun komunikasi dengan Kemendikbudristekdikti, bagaimana melindungi persma/jurnalis kampus dengan kebebasan pemberitaannya agar kementerian pendidikan yang harus menjamin karena kampus di bawah Kemendikbudristekdikti sementara Dewan Pers tidak bisa masuk ke dalam lebih jauh ke dalam lingkungan kampus.

 

Jurnalis Harus Jalankan Kode Etik

Dari sisi agama, cara-cara yang bisa dilakukan supaya dapat menghindar pasal multitafsir tetapi pesannya tetap sampai dijelaskan oleh Lutfiana, salah satunya adalah swasensor, dengan menimbang apakah tulisan yang dikirim  di dalamnya itu referensinya kredibel apa tidak karena kritik dengan hatespeech tipis jaraknya. Misalnya menulis tentang cara beragama, itu bukan kritik. Misalnya menulis ke kelompok agama tertentu menanggapi kelompok agama tertentu. Yang mau dikritisi adalah kelompok agama itu dalam mengkritisi cara beragama  seseorang. Yang membedakan itu kritik atau hatespeech itu sebenarnya narasi kontributor. Karena pembaca akan menafsirkan yang lain maka swasensor itu akan lebih ketat lagi. Apalagi kalau akan menyampaikan isu-isu yang di luar dipahami oleh masyarakat umum.

Cara kedua adalah penggunaan referensi harus benar dan bisa dirujuk pembaca. Seperti dulu Mubadalah pernah dikritik karena menulis tentang puasanya orang yang menstruasi. Sebenarnya intinya ajakan untuk mengajak perempuan menstruasi berpuasa tetapi dalam konten itu Mubadalah id menulis oh ada lho ulama yang punya pendapat seperti ini dengan dasar seperti ini. Waktu itu hujatannya luar biasa kepada Mubadalah. Mungkin pemakaian bahasa lebih shoft lagi karena bidang kajian jadi jangan sampai kajian bisa menimbulkan polemik. ‘Kita dalam kajian supaya mudah dibaca dan dipahami. Ini bendanya tulisan ilmiah dan populer,” jelas Lutfiana.

Lain dengan ada yang memberikan tips, menahan jari kalau memang belum terklarifikasi. Sepanjang bisa mengontrol jari maka pasal di atas terhindarkan tetapi jangan menjadi ketakutan untuk membuat kritik, yakni ketakutan menyebarkan kebenaran. Meskipun tubuh kita dikepung oleh pasal-pasal yang dapat mengkriminalisasi, bagi seorang jurnalis, media atau publik, skriningnya adalah dari kita masing masing.

Bagi jurnalis tentu kode etik jurnalistik itu hal yang tidak bisa ditawar . Mengapa? Karena saat karya dipermasalahkan, pembelaan secara hukum tidak terlalu sulit ketika karyanya bermasalah. Begitu pun dengan masyarakat umum/luas. Sepanjang yang disebarkan itu adalah informasi benar dan tetap dikriminalisasi tentu pembelaan secara hukumnya itu tidak sesulit ketika yang disebarkan adalah informasi bohong. Artinya kedua-duanya memiliki kriminalisasi tetapi secara pembelaan akan lebih menguntungkan bagi yang memang taat kode etik dan bisa menyebarkan informasi yang benar. 

Lewat Towik dijelaskan bahwa Sejuk beserta kawan AJI dan lewat Dewan Pers dan seluruh konstituen Dewan Pers seperi PWI, SMSI dll, sudah ada panduan. Panduan meliput isu keberagaman dari penggunaan diksi , judul dan penggunaan gambar, foto dan sebagainya termasuk di online ada ketentuan meliput isu keberagaman karena Dewan Pers mensahkannya. Ini akan menjadi semacam panduan buat kawan media, jurnalis yang menganggap agama isu sensitif. Poinnya adalah sama-sama optimis dan jangan diliputi ketakutan dan kecemasan karena kalau misal prinsip dijalankan dengan benar,sudah ada ketentuan yang dijalankan. Kedua, penting untuk melakukan konsolidasi di masyarakat sipil terutama kelompok minoritas yang mengalami persoalan kriminalisasi semakin mempererat perlindungan prinsip-prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi yang sekarang jaringannya adalah LBH Pers semakin baik. Terakhir, terutama jurnalis di daerah yang akses kekuasaan atau untuk mendapatkan kebebasan persnya jauh ini juga harus mulai diinformasikan mekanisme-mekanismenya, agar kekhawatiran dan kecemasan tidak berlebihan. 

Terkait kontributor Mubadalah yang tidak punya surat kontrak dan tidak mendapat perlindungan mungkin tidak memiliki pembelaan ketika menghadapi masalah.Tim AJI mulai melihat bahwa jumlah kontributor sangat banyak jadi bagaimana kontributor memiliki haknya sebagai jurnalis . Kedua meskipun banyak tantangan yang akan dihadapi ke depan tetapi sebagai kontributor yang menulis isu keagamaan tidak ada alasan untuk mundur. Publik masih butuh para kontributor keagamaan dan jangan membuat  berhenti berkarya.(Ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Patrya Pratama,  Direktur Eksekutif  Inspirasi Foundation membuka webinar bertajuk menebus tiga dosa besar pendidikan dengan kesetaraan gender dan inklusi sosial dengan menyatakan bahwa selama ini terkait tema tersebut dianggap penting namun sering terlewatkan. Dengan dukungan beberapa pihak termasuk media Magdelene dan The Conversation Indonesia, webinar yang diselenggarakan pada Rabu (18/1) oleh Inspirasi Foundation memiliki beberapa temuan selama bekerja sama dengan kepada sekolah dan madrasah.

Inspirasi Foundation telah melakukan PULS Survey Report atau mengukur denyut nadi kepala sekolah pada tahun 2022 dengan jaringan internasional. Para respondennya mayoritas adalah kepala sekolah SD, jenis mayoritas SD atau sekolah negeri dan sebagian kecil swasta dan ada beberapa dari yayasan, dengan proporsi antara di urban/perkotaan dan pedesaan berimbang. Secara  internasional survey ini dilakukan di hampir semua negara berkembang.

Temuan-temuannya adalah tentang kondisi mental health dan wellbeing dan apa yang ada di pikiran  kepala sekolah. Bisa disimpulkan bahwa temuan itu adalah  tantangan yang berhubungan dengan kesehatan mental para warga sekolahnya yang artinya semua berada dalam tekanan. Dalam masa pandemi pekerjaan mengakibatkan lebih stress atau lebih menantang sebab angkanya menembus hampir 80%. Dan salah satu tantangannya adalah yang menjadi tema bahasan webinar : intoleransi,perundungan dan kekerasan seksual.

Firda Iriani, moderaor webinar mengutip pernyataan menteri pendidikan bahwa saat ini Indonesia sedang dalam menghadapi tiga dosa pendidikan yakni intoleransi,perundungan dan kekerasan seksual. Ia melihat bagaimana pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Sekolah sepatutnya sebagai tempat aman untuk mencari ilmu dan berprestasi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah pendekaan yang menyeluruh yang perlu melampaui pendekatan pedagogik dan mengutamakan nilai gender serta inklusi sosial.

Narasumber webinar Prof. Alimatul Qibtiyah, komisioner pada Komnas Perempuan menyatakan bahwa pihaknya pernah bekerja sama dengan Kemendibudristek terkait inklusi sosial. Bagaimana dan upaya-upaya yang perlu mendapat perhatian terkait penghapusan tiga dosa besar itu. Sebab hal itu tidak bisa didiamkan dan siapapun terutama dunia pendidikan harus memiliki kepedulian. Ia menyitir sebuah kalimat, “keburukan akan tumbuh subur bukan arena banyaknya orang buruk tapi banyaknya orang baik yang mendiamkannya.”

Terkait tiga dosa besar,  pihaknya sudah membuat kawasan bebas kekerasan yang terbit tahun 2022 dan standar setting ini  akan disosialisaikan. Komnas Perempuan mencatat bahwa  intolerasi terus berulang di bidang pendidikan dan PNS terus berlangsung di antaranya pemaksaan seragam dan pemaksaan mayoritas penafsiran cara berpakaian baik untuk siswi dan pegawai. HRW (2021) menemukan banyak sekolah negeri di 24 provinsi mayoritas muslim mewajibkan muridnya memakai jilbab.

 

Data  Tiga Dosa Pendidikan (Kekerasan seksual, Intoleransi, dan Perundungan)

Komnas Perempuan dalam Catahu 2022, kekerasan seksual terhadap perempuan mencapai 338.496 kasus yang terdokumentasi, meningkat 50% dari tahun sebelumnya, termasuk kekerasan di dalam lembaga pendidikan.

Kekerasan ada yang berbentuk kekerasan seksual dan juga perilaku intoleransi pada siswa  perempuan yang terkait dengan pemaksaan cara berpakaian dengan didasarkan pada pemahaman mayoritas . Komnas Perempuan mencatat kebijakan dan perilaku intoleransi terus berulang dan banyak dialami oleh siswa maupun PNS di berbagai daerah sepanjang 2014 hingga 2022, ditandai tindakan main hakim sendiri dengan upaya pemaksaan, pelarangan dan atau perundungan terhadap penggunaan busana dari ajaran agama tertentu oleh pihak sekolah (Komnas Perempuan).

Human Right Watch (2021) menemukan bahwa banyak sekolah negeri di 24 provinsi yang mayoritas muslim mewajibkan siswanya menggunakan jilbab walaupun tidak ada aturan tertulisnya. Salah satu dampak dari tren berhijab ini terjadi pengurangan nilai agama karena siswi tidak menggunakan hijab, dipanggil untuk diberikan konseling, bahkan dimintai mengundurkan dir.

Dari sini Komnas Perempuan lalu melihat urgensi bahwa  pendidikan dipercaya sebagai proses dan strategi yang sistematis untuk menghidupkan nilai-nilai anti kekerasan (menghapus perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual) dan menginformasikan Hak Asasi Manusia  Berperspektif Gender (HAMBG). Kemudian langkah selanjutnya adalah mengembangkan kapasitas kepemimpinan perempuan di satuan pendidikan dan menguatkan kapasitas pimpinan satuan pendidikan  dalam mengintegrasikan nilai-nilai HAMBG dalam sisem pendidikan.

HAMBG sendiri secara teoritis HAM telah mencakup hak asasi perempuan, akan tetapi dalam praktiknya, pemenuhan hak asasi manusia tidak  berada dalam ruangan yang kosong melainkan berada dalam sistem sosial budaya dan politik yang patriarkal, dimana masih terjadi ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Dalam budaya patriarki “netralitas gender” dalam pemenuhan hak asasi manusia telah melahirkan ketidakadilan baru terhadap perempuan, sekalipun perempuan memiliki HAM sebagaimana laki-laki, akan tetapi pelibatan, partisipasi  dan akses perempuan untuk mendapatkannya masih dibatasi.

Prinsip HAMBG adalah  memenuhi hak dasar bagi setiap individu, menghapus diskriminasi, mendorong kesetaraan, mewujudkan inklusi sosial, menghargai keragaman identitas, memberi kesempatan dan akses kepada setiap individu, menolak pemaksaan penafsiran mayoritas, mengakui hak khusus perempuan karena fungsi reproduksinya.

Dasar Hukum HAMBG adalah  : Tahun 1978  telah ditetapkannya konvensi CEDAW atau onvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrminasi Terhadap Perempuan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW pada 24 Juli 1984 melalui  Undang-Undang nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Komnas  Perempuan , 2014), Permendikbudristek nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar  dan Pendidikan Menengah. Salah satu upaya menghapus diskriminasi terkait dengan seragam (Menolak Penafsiran Mayoritas), Permendibudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan  Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dan Permenag (PMA) nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Sistematika Standar Setting Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dalam Sistem Pendidikan adalah Urgensi, informasi metodologis, dan petunjuk penggunaan pedoman, Prinsip-prinsip HAMBG, HAMBG dalam profil pendidikan, Strategi implementasi HAMBG dalam sistem pendidikan dan Standar dan instrumen integrasi HAMBG dalam sistem pendidikan.

Narasumber kedua webinar Abdullah Mukti, anggota Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah  menyatakan bahwa kesetaraan gender tidak hanya berbicara tentang perempuan tetapi lebih luas. Ia tidak setuju penamaan/terminologi tiga dosa besar pendidikan sebab pendidikan di Indonesia tidak ada di ruang kosong. Sejak Indonesia merdeka, pendidikan sudah hadir,terutama pendidikan berbasis masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), di umat kristiani dan Taman Siswa. Bangsa  Indonesia adalah bangsa multibudaya, multietnik, multibahasa dan  multietnis.  Sehingga Abdullah  condong pendidikan harus berbasis edukasi dengan bahasa-bahasa yang digunakan. Dalam konteks nasional ada di UUD 1945, pasal 31.

Terkait konsep relasi gender dalam pandangan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah terus berkembang sebagaimana termaktub dalam kitab Adabur Mar’ah Fil Islam (2010), Isu-isu Perempuan dan Anak Perpesktif Tarjih Muhammadiyah (2012), dan Tuntunan  Menuju Keluarga Sakinah (2016), Risalah Perempuan Berkemajuan (2022). (Astuti)