Kolaborasi UU TPKS dan Permendikbud 30 tahun 2021

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan pada Seminar Nasional yang dihelat oleh Fakultas Hukum UGM dalam Open House MIH-LLM tahun 2022, Jumat (23/5) menyatakan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengadopsi pedoman 1 th 2021 Kejaksaan Agung dan Peraturan MA (Perma) nomor 3 tahun 2017 dan melengkapi RKUHP yang belum sempurna. Apresiasi ia berikan kepada Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung (MA) yang  sebelumnya telah menyusun pedoman kejaksaan dan Peraturan MA (Perma) tersebut.

Ia menyampaikan bahwa Undang-Undang TPKS tidak boleh diselesaikan di luar pengadilan. Kemudian muncul pertanyaan jika kasus kekerasan seksual terjadi pada anak memakai Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan merujuk dari situ, lalu bagaimana dengan kasus cabul? Maka jawabannya adalah dengan melihat SPPA.

Banyak kasus kekerasan seksual diselesaikan tapi tidak melalui proses yang berakibat tidak memulihkan korban. Korban bukan menjadi subjek pertama. Hal ini menimbulkan impunitas pada pelaku. Para aktivis perempuan yang berada di fraksi ‘balkon’ saat sidang-sidang di DPR membahas RUU ini melakukan pengawalan secara konsisten. “Undang-undang TPKS ini bersifat khusus, dan di dalam undang-undang ini ada aturan korban tidak boleh dinikahkan dengan pelaku,”ujar Siti Aminah Tardi.

Sementara itu narasumber lain, Ratna Batara Munti mempertegas bahwa UU TPKS adalah bagian dari koreksi sistem peradilan negara selama ini dan jadi sistem yang lebih komprehensif serta problem sejauh mana hukum ini disosialisasikan. Sejauh mana kemudian pihak kejaksaan agung merespon dan itu tugas semua pihak.  

Penanganan kekerasan seksual di kampus, kondisi selama ini yang terjadi di lapangan; tidak ada mekanisme penanganan yang jelas, payung hukum yang tidak tepat sasaran terhadap kekerasan seksual, perspektif yang mengedepankan nama baik kampus, minim sumber daya manusia yang berperspektif korban dan pemulihan korban tidak menjadi prioritas utama.

Dampak bagi korban; laporan tidak ditangani dengan tepat sasaran, korban tidak mendapat kesempatan untuk pulih , korban mencari keadilan lewat sosial media atau opini publik dan korban menjadi korban kembali.

Gebrakan Permendikbud 30/2021 : pengaturan definisi kekerasan seksual yang komprehensif dan tepat sasaran ; Pelibatan (a) perguruan tinggi, (b) pendidik dan tenaga pendidik, dan (c)mahasiswa, dalam upaya pencegahan, Permendikbud ini juga merupakan penegasan upaya penanganan yang terdiri dari 4 bentuk (a) pendampingan, (b) pelindungan,(c ) pengenaan sanksi administratif, dan (d) pemulihan korban;

Selain itu juga mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), pengaturan mekanisme penanganan kekerasan seksual oleh Satgas PPKS, kepastian atas hak korban dan saksi;dan pengaturan tentang pemantauan dan evaluasi implementasi.

Kolaborasi UU TPKS dan Permendikbud 30/2021 yakni berwujud : Kolaborasi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara, terkait sanksi adalah sanksi administrasi/Permendikbud 30/2021 tidak menyampingkan sanksi pidana UU TPKS, terkait pidana, pemidaan atas pelaku tidak serta merta berdampak pada kewenangan, hak dan kewajiban pelaku di lingkungan kampus;dan mekanisme penanganan dan pemulihan korban di Permendikbud 30/2021.

Tantangan ke depan yang dihadapi dan menjadi catatan PR adalah penyelarasan peraturan pelaksana UU TPKS dengan Permendikbud 30/2021. (Astuti)