Publikasi

Ketahanan Agraria, Lingkaran Konflik dan Solusi yang Dibutuhkan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

"Konflik melibatkan perebutan/persaingan antara dua orang atau lebih terkait dengan nilai, atau kompetisi untuk memperoleh status kekuasaan atau sumber daya yang terbatas" (Coser)

Menurut Prof. Maria Soemardjono, dalam Seminar bertema Ketahanan Agraria, Mencari Solusi, Mengatasi Konflik, Kamis (10/10): Berdasarkan intensitasnya dapat dibedakan antara :
-Latent conflict, dimana ketegangan belum sepenuhnya berkembang, belum terekskalasi/terpolarisasi, bahkan seringkali pihak yang "lebih kuat" tidak sadar bahwa ada konflik yang berpotensi terjadi.
-Emerging conflict adalah sengketa dimana para pihak telah teridentifikasi pokok sengketa dan beberapa itu sudah jelas.
-Manifest conflicts, dimana para pihak terlibat dalam sengketa yang sudah berlangsung, mungkin sudah mengawali "perundingan", yang bisa jadi berhasil atau gagal (Moore, 1996).
Lingkaran konflik dan penyebabnya (Moore, " The Mediation Process", 1996)
Maria juga memaparkan tentanng konflik kepentingan : kompetisi tentang suatu kepentingan, kepentingan prosedural, kepentingan psikologis. Konflik Data : kurangnya informasi, perbedaan pandangan tentang hal yang relevan, perbedaan interpretasi data : perbedaan prosedur penilaian. Konflik Hubungan : emosi yang kuat, mispersepsi/stereotyping, problem komunikasi, perilaku negatif yang terus berulang. Konflik Nilai : Perbedaan kriteria untuk mengevaluasi gagasan/perilaku: perbedaan jalan hidup, ideologi, agama. Konflik Struktural : Pola perilaku atau interaksi destruktif, ketidakseimbangan kontrol, kepemilikan atau kewenangan: faktor geografis, fisik, atau lingkungan yang menghambat kerja sana : kendala waktu.

Kaitan antara konflik dan kekerasan : Konflik struktural : konflik yang disebabkan oleh distribusi kekuasaan dan sumber daya yang tidak setara atau tidak adil yang disebabkan karena kekuatan di luar pihak yang berkonflik. Serta kekerasan struktural yang terjadi ketika suatu struktur sosial atau institusi sosial menimbulkan kerugian pada masyarakat dan menghalangi gak mereka untuk memenuhi kebutuhannya. Keduanya sangat berhubungan dan ada keterkaitannya.

Kekerasan langsung dan kekerasan struktural saling berkaitan sehingga menyebabkan ketidakadilan. Dampaknya berbeda terhadap masyarakat dalam berbagai struktur sosial (perbedaan dalam akses terhadap pendidikan, politik, modal dan lain-lain).

Kekerasan langsung dan kekerasan seksual juga menimbulkan kekerasan struktural/simbolik. Aspek sosial budaya masyarakat yang membiarkan terjadinya kekerasan langung dan kekerasan struktural.
Kekerasan struktural merupakan dampak dari ; Ketidaksetaraan ekonomi, sebagian besar sumber daya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat. Untuk konflik agraria "ketimpangan salam pemilikan/penguasaan tanah dan SDA lainnya. "

Pola konflik, penyebab, langkah yang ditempuh, agenda ke depan
A. Konflik Norma :
1. Tumpang tindih pengaturan tentang Sumber Daya Alam/Sumber Daya Agraria terkait dengan egosektoral dan belum ada satu kementerian koordinasi bagi kementerian/lembaga yang mempunyai kewenangan terkait SDA. A. Pernah disusun RUU Sumber Daya Agraria (BPN RI 2009). B. Pernah disusun kajian harmonisasi UU di bidang SDA-LH (KPK RI. 2017). C. Pernah dibahas RUU tentang Pengelolaan SDA di DPR (sekitar tahun 2004) tetapi tidak pernah berlanjut. Maka strategi selanjutnya adalah a. Perlu disusun Naskah Akademik dan RUU tentang Penguasaan dan Pengelolaan SDA sebagai Omnibus Law di bidang SDA. Serta perlu dipertimbangkan terbentuknya Kemenko Pengelolaan SDA.
2. Pengaturan tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan wilayahnya dalam UU sektoral yang sporadis dan belum terbitnya undang-undang MHA. Belum adanya komitmen untuk membahas RUU MHA yang setiap tahun masuk dalam Prolegnas sejak lebih dari 15 tahun yang lalu. Pernah dibahas dalam Baleg DPR tetapi mayoritas fraksi tidak mendukung untuk dibahas lebih lanjut. Mendorong RUU MHA untuk dimasukkan dalam prolegnas prioritas sebagai salah satu agenda prioritas DPR untuk melunasi hutang negara mengakui menghomati, melindungi dan memenuhi gak MHa sesuai amanat konstitusi.
3. Pengaturan pertanahan pasca UUCK yang bertentangan dengan UUPA, sebagaimana antara lain dimuat dalam PP 18/2021 dan PP 64/2021. Sangat pro kapital, rancu dan tidak memberikan jaminan terhadap keadilan dan kepastian hukum. Serta ada upaya untuk melakukan perubahan terhadap PP 18/2021. Agenda yang seharusnya ke depan adalah : merevisi aturan pertanahan yang bertentangan dengan UUPA dan menyusun kembali UU Pertanahan berlandaskan konstitusi dan prinsip-prinsip UUPA, disertai partisipasi publik yang bermakna.
4. Pengaturan pertanahan di IKN yang bertentangan dengan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007, yang memberikan karpet merah kepada investor dengan melanggar konstitusi: di saat yang sama tidak memberikan perlindungan kepada Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan masyarakat lokal yang telah menghuni lokasi tersebut jauh sebelum pembangunan IKN. Dan kebijakan yang perlu dilakukan adalah koreksi peraturan/kebijakan pertanahan bertentangan dengan konstitusi dan UUPA.
B. Konflik Struktural :
1. Di wilayah kelola MHA antara MHA vs pemerintah/BUMN/korporasi untuk industri tambang, kehutanan, energi dan karbon, dll.
Yang kemudian terjadi adalah ;
a. Penguasaan fisik (de facto) Vs Penguasaan formal (de jure)
b. Pihak ketiga menguasai wilayah MHA tanpa FPIC/Padiatapa.
c. UU tentang MHA belum juga diterbitkan
Tantangannya adalah belum ada pedoman penyelesaian konflik di wilayah MHA. Dan sudah terbit Permen ATR/KaBPN nomor 14/2024 tentang penyelengaraan administrasi pertanahan dan pendaftaran tanah ulayat MHA.
2.Konflik terkait penyediaan tanah untuk kegiatan Pembangunan :
a. untuk kepentingan umum (UU Nomor 2/2012)
b. Untuk PSN melalui (1.) UU 2/2012. (2.) untuk PSN melalui (1). UU 2/2012.(2.) pelepasan kawasan hutan. (3.) aset dalam penguasaan (ADP), pembebasan tanah langsung dengan pemegang hak..

Solusi yang dibutuhkan : fokus pada pembangunan ekonomi ; manusia tidak dijadikan sebagai subjek pembangunan. Sedangkan penyusunan NA dan peraturan terkait implementasi penilaian dampak sosial /SIA dalam penyelesaian tanah berdasarkan paradigma HAM atas pembangunan, yang menjadikan manusia sebagai sentral dalam pembangunan. Perlu diingat pula adalah pentingnya terbitnya peraturan tentang SIA untuk penyediaan tanah , tersedianya SDM ahli penilitian dampak sosial dan akreditasinya.

Catatan atas Konflik Sruktural
a. Data konflik berdasarkan catatan konsorsium pembangunan agraria (KPA) dan aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN). Sepanjang tahun 2023, berdasarkan Catatan Akhir Tahun KPA, dari 7 (tujuh) jenis konflik, tercatat di konflik sektor perkebunan paling banyak terjadi yakni 108 (44 persen), disusul dengan sektor properti 44 (18 persen), pertambangan 32 (13 persen), infrastruktur 30 (12 persen), kehutanan 17 (7 persen), pesisir dan pulau-pulau kecil 5 (3 persen) dan fasilitas militer 5 (3 persen).
b. Konflik di wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA) yakni konflik perampasan wilayah adat Poco, Leok, Manggarai, NTT terkait PSN geothermal.
2. PSN untuk pencetakan sawah 1 juta hektar untuk swasembada pangan, 2 juta lagi hektar untuk swasembada gula dan bioethanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Menutup, salah satu rekomendasi yang perlu dipertimbangkan kali penggunaan aparat pengamanan proyek-proyek PSN karena : pengamanan yang tidak resmi yang terjadi selama ini bisa dikategorikan sebagai kekerasan. Sedangkan pengamanan "resmi' perlu dipertanyakan urgensinya. Pembentukan Batalyon infanteri TNI untuk mendukung program ketahanan pangan perlu dipertimbangkan kembali mengingat pasal 30 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa TNI bertugas untuk mempertahankan , melindungi, memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. (Ast)