Publikasi

Catatan Diskusi Mekanisme LPSK dalam Perlindungan Pembela HAM

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah  lembaga khusus yang dibentuk  setelah reformasi  untuk melindungi saksi dan korban. LPSK memiliki  tantangan banyak, termasuk pelanggaran HAM berat  masa lalu dan masa kini tidak dimiliki komitmennya oleh  negara untuk dituntaskan yang justru pelakunya ada TNI dan Polri. Saat ini  Kemitraan sedang melakukan riset   terkait 10 tahun pemerintahan Jokowi.

Banyak kasus berlipat ganda dan berbagai ragam dan tipologi kekerasan termasuk di dunia digital termasuk yang tertinggi. Demikian dikatakan Ririn Sefsani dari lembaga Kemitraan dalam diskusi dan sosialisasi Mekanisme LPSK tentang perlindungan bagi Pembela Hak Asasi Manusia (HAM), 9 Mei 2024.  Ia juga mengemukakan tujuan diadakannya zoom adalah  bagaimana melakukan  kolaborasi bagi pembela HAM dan perempuan pembela HAM dan apakah ada treatmen khusus, di saat  bangsa Indonesia sedang  tidak baik-baik saja sebagai upaya perwujudan mencintai Indonesia dan upaya untuk mewujudkannya.

Sri Suparyati, wakil ketua  LPSK menyampaikan jangkauan LPSK apa saja yakni  meliputi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), penanganan HAM, tindak pidana yang lain dan tingkat prioritas yang paling penting. Juga sejauh mana ancaman yang dialami pemohon baik oleh orang-orang di sekitarnya.

Dalam memberi perlindungan, LPSK memberi syarat formal, level penelahaan  lalu terjun bertemu korban dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mendapat informasinya lalu menggali untuk bentuk-bentuk tindakan. Dari hal-hal tersebut LPSK akan melihat apakah keterangan  itu mengandung hal penting dan suatu saat keterangan yang dimiliki akan diajukan ke pengadilan.

Terkait tingkat ancaman. Menurut Sri Suparyati, jika membahayakan  maka akan ada perlindungan serta ada asesmen psikologi. Pada beberapa kasus anak : persetubuhan anak dan  pencabulan anak, korban mengalami depresi. LPSK membantu dan mendampingi asesmen dan memberi bantuan psikososial. LPSK juga  memfasilitasi pada korban anak untuk mendapat sekolah yang baru. Saat ini kasus KDRT cukup banyak, rata-rata pemohon adalah perempuan dan tingkat bahaya ada. Maka LPSK memberi perlindungan fisik di rumah aman dan pengawasan melekat, ke mana saja pergi akan didampingi termasuk  ketika korban juga beri kesaksian di pengadilan.

LPSK juga ada evaluasi setelah 6 bulan apakah sudah memberikan perlindungan.  Lalu kalau sudah nyaman akan dipindahkan. Korban beberapa korban pelanggaran HAM masa lalu terkait kesehatan telah  bekerja sama dengan  pemerintah daerah, rumah sakit, dinas sosial dan dinas kesehatan. setempat. Juga ada bantuan psikososial. Karena mereka biasanya ada hambatan suistanable. Kami akan telaah dan cek apakah korban memiliki usaha yang cukup lama.

Selain itu LPSK juga memberi fasilitasi dalam kasus TPPO dan TPKS  anak untuk membantu restitusi dan dimasukkan ke kejaksaan supaya bisa masuk ke putusan tetapi dalam praktik restitusi ada, karena ada yang tidak mau membayar maka ada subsider.

 

LPSK dalam Isu Pembela HAM

LPSK saat ini sudah membahas berkaitan dengan perlindungan pembela HAM. Seperti yang terjadi pada kasus  pegiat magrove di Bangka Belitung yang  bergabung dalam forum tertentu. Mereka  melaporkan  ke kapolres tetapi dipertemukan dengan  penambang ilegal. Ketika dipertemukan antara tokoh pelapor dan terlapor maka yang terjadi adalah  konflik horizontal. LPSK melihat ada perlu terobosan terkait perlindungan pembela HAM.

Pembela HAM berangkat dari suatu kegiatan terus-menerus yang sifatnya kritis entah dalam konteks lingkungan atau isu perempuan.

LPSK saat ini sudah berkolaborasi dan  sudah membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk perlindungan pembela HAM sedikit berbeda dengan mekanisme yang biasa. Karena permohonan biasanya prosedural dulu. Biasanya pembela ham perlu respon cepat. Maka LPSK memberi perlindungan yang berbeda tidak seperti biasanya. Jika pun dengan kaukus pembela HAM saat ini maka bisa didiskusikan lebih dulu.

Juga darurat  seperti untuk bangka belitung kami beri fasilitasi monitoring keamanan. Kalau pemohon dijadikan saksi dalam persidangan bagi isu penambang ilegal secara luas bisa dimungkinkan akan meminta tolong.. "Pembela HAM ini walah kritis tapi tidak serta merta mereka dikriminalisasi,"ujar Sri Suparyati

Berkaitan dengan mekanisme atau SOP. LPSK sudah memiliki  toolkit dan  SOP cukup agak alot. Diakui bahwa  LPSK dibatasi dengan permohonan formal, yang menjadikan LPSK kaku atau rijit. LPSK sudah berupaya mencari celah di luar permohonan yang fornal tadi lalu masuk ke ruang respon cepat dan urgen.

Berkaitan pembela HAM, salah satu contoh di atas yakni di Bangka Belitung,  waktu itu dia belum nada ancaman signifikan tapi sudah ada kejadian lainnya.  Karena orang-orang yang dibawa oleh tetangga dan cukup dekat. Lalu dia ajukan ke LPSK. Meski belum ada ancaman tapi pemohon cukup intens dalam pembelaan maka kami beri perlindungan dalam monitoring. LPSK karena lembaga negara maka harus ada rujukan  memang benar ini membuahkan perlindungan karena ada cukup ancaman.

Siti Noor Laila, mantan Ketua Komnas HAM dan pelapor khusus untuk pembela HAM  juga pembuat peraturan khusus pembela HAM yang menjadi narasumber mengatakan bahwa peraturan-peraturan yang dibutuhkan mengikuti beberapa prinsip pembela HAM yakni   korban yang jadi pembela HAM contoh mbak Suci, istri almarhum Munir, pembela HAM juga seorang aktivis HAM.

Ada prinsip yang beberapa waktu lalu menurutnya menjadi diskusi menarik bahwa  pembela HAM tidak melakukan kekerasan atau tidak menggunakan kekerasan. Lantas ia berpikir bagaimana kalau kepolisian juga ditarik untuk pembuatan SOP dan Memorandum of Understanding (MoU) ini bersama Komnas HAM dan LPSK  untuk mengikat mereka.

Pertanyaan yang langsung dijawab oleh Sri Suparyati bahwa saat ini sudah ada MoU tiga lembaga dan Juknis, meski belum spesifik ke pembela HAM. (Ast)