Sosok

Tiga Perempuan Bicara : Sudah Inklusifkah Kita?

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dilatarbelakangi masih banyak teman penyandang disabilitas yang belum pernah menonton teater boneka Maria Tri Sulistyani akrab dipanggil Ria Papermoon kemudian menciptakan perform teater boneka yang kemudian mengambil berbagai jenis tema. Titik mulanya pada tahun 2018-2019 Ria memiliki workshop bersama teman Tuli kemudian ia ingin mementaskan karya mereka. Ada 15 orang teman Tuli dari komunitas. Setelah project bersama dilakukan mereka, teman Tuli bilang “Datanglah.” Ria mengaku, mereka silent project dan sengaja tidak menempelkan kata Tuli atau kata disabilitas.  Demikian penjelasan  Ria Papermoon saat diskusi tantangan dan inovasi menuju masyarakat inklusif yang digelar oleh Ford Foundation, Kamis, 9/9.  

Ria juga melakukan workshop dengan teman Transpuan. Di Film 1200° bercerita tentang kegigihan seseorang yang memilih atas pilihan tubuhnya. Endingnya, satu karakter yang belum coming out. Ia memilih keramik sebagai media, mengapa? Ketika bicara, maka butuh pula konsentrasi dan tidak boleh jatuh. Menurutnya, seni bisa menjadi jembatan tanpa melabeli dan apa yang dilakukan menjadi inspirasi orang lain.

Cerita lain dikemukakan oleh Devi Anggraini, Presiden Perempuan Aman yang berbicara tentang visibilitas perempuan AMAN, yakni organisasi sayap masyarakat adat nusantara, Anggotanya adalah ibu-ibu perempuan adat. Kenapa mereka ada? Perjuangan dan gerakan menjadi kontribusi besar melalui peran yang dilakukan dalam kerja-kerja mereka, Kongres masyarakat adat pertama diselenggarakan pada tahun 1996, dan kehadiran pemimpin saat itu disadari tidak langsung mudah. Perempuan adat lalu berorganisasi supaya terlihat visibilitasnya.

Maulani Rotinsulu, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) memiliki cerita lain sebab ia berkisah tentang bagaimana perempuan disabilitas mengalami stigma ganda dan kekerasan berbasis gender yang paling rentan adalah perempuan disabilitas. Mereka banyak mendapat tekanan dalam keluarga. Kurangnya pemahaman dan aksesibilitas jadi faktor. Tekanan  dirasakan oleh keluarga. Dan di sini dibutuhkan peran serta organisasi.

Maulani juga bercerita tentang aksesibilitas teman Tuli dalam akses pembelajaran yang membutuhkan Juru Bahasa Isyarat (JBI). Terlepas dari tantangan umum seperti anggaran dan layanan serta lambatnya perubahan mindset implementatornya. Atau terlambat menemukenali siapa saja yang masuk penyandang disabilitas.  Ragam difabel masih terbantu secara individual. Menurut HWDI saat ini yang  urgen dilakukan adalah  membangun pemahaman stakeholder bagaimana mereka melakukan  pendekatan inkusif dan masih dibutuhkan tindakan afirmatif untuk mengejar ketertinggalan serta mengejar pembangunan. “Kita tertinggal dalam kemampuan mengakses. Juga fasilitas pemerintah tidak bisa menjangkau, sehingga berbagai sektor pembangunan terganggu,” pungkasnya. (Astuti).