Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang

Miris rasanya setiap hari membaca berita peristiwa perundungan terjadi di dunia pendidikan. Masih dekat dengan ingatan peristiwa guru membotaki siswa yang tidak memakai ciput jilbab di Lamongan, kita sudah terhenyak dengan kasus perundungan sesama siswa di sebuah sekolah di Kabupaten Cilacap. Komentar sumir sempat terucap kala media mengutip omongan kepala sekolah yang menyampaikan jika pelaku adalah anak berprestasi silat dan bela diri di sekolah. Komentar yang dinilai membela kepada si pelaku.



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Magdalena Sitorus dalam siaran X Space konde.co pada Jumat (29/9) dipandu oleh Ika Ariyani, jurnalis konde.co menceritakan tentang pengalaman perempuan penyintas 65 yang berbeda dengan laki-laki korban. Perempuan secara global adalah kelompok rentan yakni anak dan perempuan mau di wilayah domestik, konflik, dan bencana. Sebagai kelompok, perempuan adalah rentan dan paling rentan. Kaitannya dalam peristiwa 65, perempuan rentan mengalami kekerasan dan perkosaan.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

AJI Indonesia atas dukungan USAID MEDIA dan Internews, bekerjasama dengan Lembaga Isu Perburuhan Sedane (LIPS) telah selesai melakukan riset  Pemetaan Upah dan Kondisi Kerja Jurnalis Lepas di Indonesia   Hasil Riset tersebut diluncurkan dalam webinar bertajuk Mendorong Kesejahteraan Jurnalis Lepas di Tanah Air, pada Kamis, 21 September 2023.

Ketua umum AJI Indonesia, Sasmito mengatakan bahwa keamanan ekonomi juga menjadi indikator keamanan jurnalis selain fisik dan dan ancaman regulasi. “Jika keamanan ekonomi tidak terjaga maka jurnalis menjadi rentan bekerja secara tidak profesional. Akibatnya informasi yang dihasilkan pun tidak berkualitas dan publik menjadi rugi,” ucap Sasmito.

Sasmito juga mengatakan, dari segi regulasi di UU cipta kerja dan turunannya, Jurnalis tidak bisa masuk sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak karena jurnalis adalah pekerjaan yang terus menerus. Selama perusahaan media berdiri jurnalis terus memproduksi berita. “Tapi kenyataannya hampir sebagian besar media nasional memberlakukan kontrak terutama untuk jurnalis di daerah. Kita perlu strategi yang baru untuk advokasi agar kesejahteraan jurnalis dapat lebih baik lagi”, kata Sasmito.

Jurnalis lepas dengan kata lain freelance, kontributor, atau stringer, tidak boleh mendapatkan upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Bahkan Undang-Undang Cipta Kerja mengatur sanksi pidana terkait hal ini yakni dalam pasal 185 apabila perusahaan melanggar pasal tersebut.

Erwien Djayoesman, MEL & Capacity Building Manager Internews juga menegaskan bahwa jurnalis lepas memiliki peran penting. Upah dan kesejahteraan jurnalis adalah bagian yang integral dari kebangkitan industri media dalam menyediakan informasi yg valid dan berkualitas. “Penelitian soal upah dan nilai berita ini penting untuk kita dapat melihat realitas yang dihadapi dan dapat menjadi landasan pemerintah, media serta organisasi seperti AJI untuk mengambil tindakan terkait isu-isu yang dihadapi oleh jurnalis lepas,” ucap Erwien.

Berdasarkan riset yang dilakukan, menunjukkan bahwa Jurnalis lepas tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan upah yang diterima para jurnalis lepas hanya dapat menutup seperempat dari kebutuhan hidup layak.

Lebih dari 50 persen pekerja lepas tidak menyebut durasi kontrak, dan hanya 43 persen yang menerima salinan kontrak. Ini artinya, jurnalis lepas rentan karena tidak punya bukti jika perusahaan media bertindak sewenang-wenang.

Tidak hanya itu, sebagian dari mereka tidak menerima premi asuransi, tidak dapat uang makan, tidak memiliki tunjangan jabatan, tidak diberi tunjangan transportasi, tidak diperhitungkan uang lembur, dan tidak mendapat tunjangan masa kerja.

“Kondisi ini menunjukkan rata-rata Jurnalis freelance sengaja diabaikan, tidak dianggap, tapi karyanya dimanfaatkan untuk kepentingan industri media dikonsumsi publik,” ujar Koordinator bidang ketenagakerjaan AJI Indonesia, Edi Faisol.

Sarina salah satu pekerja lepas dari Lhokseumawe mengakui bahwa perusahaan tempat ia bekerja pun belum memberikan hak pekerja dengan layak. “Tidak menyediakan cuti, namun jika mau izin libur diperbolehkan. Ketika libur diizinkan, gaji kami tidak dibayar,” ucapnya.

Terkait dengan kontrak kerja, Sarina dan rekan-rekannya juga tidak mendapatkan kontrak kerja namun pekerjaan yang mereka kerjakan layaknya pekerja tetap. “Upah kami di bawah UMP. Paling banyak Rp2,2 juta dan paling sedikit Rp1 juta dengan bekerja sampai tengah malam,” kata Sarina.

Riset AJI mengkonfirmasi bahwa banyak kerentanan terhadap jurnalis lepas dan salah satu langkah utama yang dapat dilakukan dalam menghadapi masalah terhadap jurnalis lepas adalah dengan berserikat. “Jurnalis lepas tidak perlu merasa sendirian jika ada kasus pelanggaran hak ketenagakerjaan. Kami mengajak teman-teman untuk  berserikat agar jika ada masalah dapat dihadapi bersama dan mengubah kondisi jurnalis lepas Indonesia menjadi lebih baik,” ucap Nuraini Koordinator SINDIKASI. (ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Forum Pengada Layanan (FPL), Perempuan Mahardhika, Jala PRT dan Konde.co pada Jumat (22/9) menyelenggarakan konferensi pers. Dimulai dengan prolog bahwa beberapa waktu belakangan masyarakat dihebohkan dengan berita ko kematian Mega, seorang perempuan yang meninggal karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh suami. Kemudian pemberitaan menyoroti kinerja kepolisian karena sebelum terjadi kejadian pembunuhan tersebut, Mega pernah melaporkan kasus KDRT yang dialaminya di kepolisian tetapi penanganannya terhenti. Mega menambah rentetan panjang kasus KDRT yang terjadi di Indonesia.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Komnas  HAM  merekomendasikan  Menteri Ketenagakerjaan RI  untuk  tidak memperpanjang  Peraturan  Menteri  Tenaga  Kerja  Nomor  5  Tahun  2023  (Permenaker

5/2023)  dan  tidak  menerbitkan  peraturan  serupa  di  kemudian  hari.  Rekomendasi  ini

merujuk pada hasil kajian Komnas HAM atas dampak Permenaker 5/2023 terhadap kehidupan buruh.