Maraknya Kasus Perundungan, Wajah Dunia Pendidikan Saat Ini

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Miris rasanya setiap hari membaca berita peristiwa perundungan terjadi di dunia pendidikan. Masih dekat dengan ingatan peristiwa guru membotaki siswa yang tidak memakai ciput jilbab di Lamongan, kita sudah terhenyak dengan kasus perundungan sesama siswa di sebuah sekolah di Kabupaten Cilacap. Komentar sumir sempat terucap kala media mengutip omongan kepala sekolah yang menyampaikan jika pelaku adalah anak berprestasi silat dan bela diri di sekolah. Komentar yang dinilai membela kepada si pelaku.

Beberapa bulan lalu tepatnya pada Juni 2023 masyarakat juga dikagetkan dengan peristiwa pembakaran sekolah yang dilakukan oleh seorang siswa di Temanggung.  Latar belakang sebagai korban perundungan juga mewarnai perbuatan kriminal tersebut. Selain sering di-bully oleh guru, karya tidak dihargai dengan disobek-sobek di depan di anak, pelaku juga pernah menjadi korban pengeroyokan teman-teman sekolahnya.

Dikutip dari laman Tempo, selama Januari hingga Juli 2023, Federasi Serikat Guru Indonesia (FDGI) mencatat ada 16 kasus perundungan yang terjadi di sekolah.

Padahal kita telah memiliki payung hukum yakni Undang-undang nomor 23 tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi (UU PLP) yang berguna dan diperlukan untuk membantu peran sekolah dalam pendampingan, konseling, dan pengenalan jiwa setiap anak.

Ada lagi Permendikbud nomor 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan yang disitu dicantumkan mengenai tindakan pencegahan kekerasan pada satuan pendidikan. Terdapat pada Bab IV Pasal 8 ; Satuan Pendidikan wajib membentuk tim pencegahan tindak kekerasan dengan keputusan kepala sekolah terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan siswa dan perwakilan orangtua/wali.

 

Penyebab Perundungan Pada Anak

Pakar Psikologi Anak UNESA, Riza Noviana  Khoirunnisa, S.Psi, M.SI seperti dikutip di web Unesa, menyatakan, fenomena bullying atau perundungan menular dengan cepat dan menimbulkan banyak kasus. Ini terlihat dari fenomena yang angkanya semakin meninggi.

Ada banyak faktor penyebab namun yang sering ditemukan adalah adanya ketidakseimbangan antara pelaku dan korban. Bisa berupa ukuran badan, fisik, kepandaian komunikasi, gender hingga status sosial. Selain itu juga adanya penyalahgunaan ketidakseimbangan kekuatan untuk kepentingan pelaku dengan cara menganggu atau mengucilkan korban.

Kurangnya perhatian terhadap aksi bullying ini ini juga menyumbang semakin tinggi angkanya. Kurangnya perhatian ini bisa disebakan efek bullying yang tidak kentara secara langsung dan seketika. Juga tidak terendus karena banyak korban yang tidak melapor entah karena takut, malu atau diancam oleh pelaku dan alasan lainnya.

Padahal ejekan atau obrolan yang mungkin dinilai normal, secara verbal berakibat fatal dan berbahaya bagi anak. Biasanya orangtua dan guru menganggap teguran sudah cukup untuk menghentikan candaan tersebut padahal sebenarnya ada luka psikis dan emosional yang lebih dalam yang menyakitkan serta berefek panjang bagi korban. Normalisasi atas tindakan ejekan/obrolan hinaan ini yang semestinya kita hilangkan.  Solusi dari ini adalah menambal kesenjangan pengetahuan terkait bullying baik kepada orangtua maupun guru.

Dampak perundungan akan menjadi trauma panjang yang akan berpengaruh pada penyesuaian diri di anak dengan lingkungannya. Beberapa penelitian menunjukan korelasi prestasi akademik atau putus sekolah kaitannya dengan akibat bullying. Ada pula anak yang dulunya korban kemudian menjadi pelaku.

Lalu bagaimana solusinya? Sekolah harus punya program pencegahan dan intervensi serta sosialisasi yang efektif. Bila perlu bentuklah satgas. Juga diperlukan sinergitas antara pihak sekolah dan orangtua dengan memperkuat komunikasi yang aktif untuk mengetahui detail informasi perkembangan sekolah dan anak mereka. (ast)