Konferensi Pers: Respon Komnas HAM Terkait Eskalasi Konflik Agraria di Indonesia

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada konferensi pers Jumat (16/9) yang dihelat oleh Komnas HAM, Gatot Ristanto  menyatakan bahwa  pada  periode Januari - Agustus terjadi lonjakan laporan  cukup signifikan yakni 692 aduan, setara dengan  4 aduan  per hari. Secara kumulatif ada 1.532 aduan yang masuk ke Komnas HAM.  Pihaknya sudah membentuk tim pengkajian penyelesaian konflik-konflik agraria dan tim tersebut sudah melakukan langkah-langkah terkait dengan 5 tipe.

Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM  menyampaikan bahwa kasus  Pulau Rempang adalah bagian panjang dari peristiwa kekerasan yang terus terjadi dalam penyelesaian konflik agraria  dalam kurun waktu yang sangat lama.

Kalau melihat 692 kasus sepanjang 8 bulan terakhir ini artinya setiap hari kurang lebih 4 kasus yang diterima di hari kerja. Terkait dengan konflik agraria terutama adalah kasus-kasus yang terjadi di sektor lahan atau pertanian, perkebunan, infrastruktur juga perumahan jumlahnya mendominasi.  Mayoritas terjadi kekerasan kemudian pemaksaan penggusuran dan situasi yang mengandung dimensi kriminalisasi terhadap warga baik itu yang mempertahankan tanahnya maupun mereka yang melakukan pengaduan ke berbagai pihak untuk mencari keadilan, apakah ke Komnas HAM maupun berbagai instansi yang relevan.

Yang juga tidak bergeser selama beberapa tahun, Anis yang  pernah menangani kasus konflik agraria adalah 5 wilayah yang masih mendominasi laporan terhadap kasus ini yakni Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Kasus-kasus ini mayoritas terjadi salah satunya karena terkait dengan Program Strategi Nasional (PSN).

Bahwa di satu sistem, satu sisi pembangunan ini penting untuk satu instrumen meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi tidak bisa dipungkiri dalam setiap terjadi pembangunan apakah itu PSN atau tidak, selalu dibarengi dengan persoalan konflik agraria dan ada dimensi kekerasan terhadap warga. Mereka terutama terkait dengan pengelolaan tanah adat biasanya mereka sudah lama tinggal di situ. Seperti yang terjadi di Pulau Rempang,  Batam.

Bagaimana sesungguhnya kebijakan yang ada dan  kemudian terjadi  tumpang tindih serta  bagaimana para pihak menjalankan peran-peran itu. Mengapa kasus-kasus itu terus berulang?  Dan bagaimana serta  peran apa ke depan yang akan didorong oleh Komnas HAM dalam penyelesaian kasus konflik agraria ini  sehingga tidak selalu berujung kepada kekerasan terhadap warga?

Saurlin P. Siagian, Komisioner Komnas HAM menyampaikan bahwa ada rapat-rapat khusus Komnas HAM selama dua minggu ini  bahwa  tim kajian mereka bertemu dan kemudian menghasilkan sebuah dokumen laporan disebut laporan khusus karena tim agraria sebenarnya diminta untuk membuat laporan dalam konteks jangka panjang.

Tetapi karena situasinya sedang dikatakan eskalatif, Komnas HAM kemudian diminta untuk segera membuat sebuah posisi Komnas HAM yakni Respon Komnas Terkait Eskalasi Konflik Agraria. Highlightnya  adalah penting reformasi kebijakan dan kolaborasi 10 Kementerian dan lembaga yang dalam laporannya disebutkan secara spesifik. Ada tiga bagian. pertama adalah data eskalasi yang masuk Komnas HAM yang kedua adalah seperti apa data itu dan kaitannya dengan kebijakan dan aktor aktornya. Ketiga adalah rekomendasi.

Saurli menambahkan  yang diadukan pertama kali ada korporasi yang sangat penting dalam pelanggaran ini. Komnas HAM  sengaja membuat analisis ini supaya kelihatan semua bahwa konflik agraria terus terjadi dan seperti tidak ada obatnya.

Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan dalam konferensi pers antara lain : a. dari data konflik agraria yang terjadi dalam delapan bulan terakhir, Komnas HAM menyimpulkan adanya eskalasi masih konflik di berbagai lokasi di Indonesia yang mencapai 692 setara 4 kasus sehari itu empat teratas hak asasi yang paling banyak diduga dilanggar adalah hak atas kesejahteraan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, dan hak untuk hidup serta sebanyak 86,7 persen menyangkut hak atas kesejahteraan.

Dalam konteks klasifikasi pengadu, dari empat kelompok teratas (masyarakat, individu, kelompok adat dan organisasi), peringkat pertama ditempati oleh kelompok  masyarakat yakni sebesar 53%. Sementara dalam hal teradu, empat tertinggi ditempati oleh Korporasi (30,6%), pemerintah daerah (17,6%), dan kepolisian (7,4%). Dalam hal korporasi dilaporkan sebagai pihak yang diberikan izin oleh pemerintah, menunjukkan masifnya pemberian izin yang tidak memperhatikan keberadaan masyarakat di lokasi izin.

Komnas HAM menilai konflik agraria yang masuk ke Komnas HAM terkait dengan kebijakan dan keputusan pemerintah baik dalam skala nasional maupun sektoral, termasuk daerah, yang pada akhirnya masih belum menghadirkan keadilan bagi warga masyarakat. Aduan konflik agraria semakin menumpuk di Komnas HAM, karena resolusi yang ada tidak memadai, karena selain kebijakan, juga absennya koordinasi bermakna dan efektif lintas kementerian dan tingginya ego sektoral.

Dari konteks aduan, empat tertinggi yakni sektor lahan/pertanahan perkebunan,infrastruktur dan perumahan, 70% merupakan konflik lahan. Dan kasus-kasus tersebut dilihat terkait erat satu sektor dengan sektor lainnya.

Sederetan konflik yang terjadi dalam delapan bulan terakhir secara masif terkait dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) misalnya yang terkini adalah konflik di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepri. Selain dalam data statistik potret kasus yang diangkat menunjukkan eskalasi terjadi manakala suatu proyek dimasukkan dalam PSN.

 

Rekomendasi

Dalam rangka menangani konflik agraria serta menghasilkan solusi permanen dan berkelanjutan, Komnas HAM sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. menyampaikan rekomendasi sebagai berikut :

a. Presiden agar mencabut, meninjau ulang, dan atau merevisi regulasi dan kebijakan pemerintah termasuk kementerian terkait sumber daya alam, yang nyata-nyata tidak berpihak kepada warga masyarakat, mengabaikan hak asasi, dan atau secara sengaja mengambil hak-hak warga.

b. Kemenko Polhukham (1), Kemenko Maritim dan Investasi (2), dan Kemenko Perekonomian (3), agar mengkoordinasikan lintas sektor terkait penyelesaian konflik agraria, utamanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kahutanan (4),  Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN (5), Kementerian BUMN (6), Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal (7), Kementerian Kelautan dan Perikanan (8), Kementerian Keuangan (9), dan Polri (10).

c. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera menuntaskan reformasi kehutanan, dengan utamanya memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat melalui percepatan pengakuan tata kelola hutan berbasis masyarakat seluas 12,7 juta hektar

d. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN untuk segera melaksanakan percepatan penyelesaian konflik agraria pada sisa waktu pemerintahan Joko Widodo yang menargetkan redistribusi tanah sebanyak 9 juta hektare.

e. Kementerian BUMN untuk melakukan identifikasi terhadap warga petani, masyarakat lokal dan masyarakat adat yang berada di dalam konsesi BUMN dalam rangka kepastian hukum kepada warga.

f. Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal,

Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk berkolaborasi dalam rangka kepastian hukum bagi warga dengan ragam praktik tatakelola lokal (tenurial) yang dimiliki masyarakat lokal dan masyarakat adat.

g. Kementerian Keuangan untuk memastikan kerja sama  yang efektif untuk melakukan revisi terhadap status Barang Milik Negara (BMN) dan beban keuangan serta perpajakan padanya.

h. Polri untuk mengutamakan 'restorative justice' atas kasus konflik agraria yang melibatkan petani, masyarakat lokal, dan masyarakat adat di Indonesia, dan menghindari penggunaan kekuatan berlebihan dalam menangani konflik agraria.

i. Dalam konteks kasus-kasus yang dilaporkan masyarakat kepada Komnas HAM, Komnas HAM mendorong pembentukan tim kerja lintas K/L - melibatkan Komnas HAM- sehingga terjadi sinergitas yang cepat dalam penyelesaian konflik agraria yang masuk dalam pintu aduan Komnas HAM.

j. Kementerian dan Lembaga Negara termasuk pemerintah daerah agar merujuk dan mengacu pada panduan yang diterbitkan Komnas HAM dalam menangani konflik agraria, di antaranya Standar Norma dan Pengaturan tentang HAM atas Tanah dan Sumberdaya Alam, Kertas Kebijakan Pembangunan IKN dalam Perspektif Kota HAM dan Panduan Pembangunan Proyek Strategis Nasional berbasis HAM. (Ast)