Peran LPSK dalam Pemenuhan Hak PRT Korban Kekerasan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berdiri pada 8 Agustus 2008 dan dibentuk berdasarkan UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU nomor 13 tahun 2006 diubah sebagian melalui Undang-undang nomor 31 tahun 2014. Tugas LPSK adalah memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, dapat diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai (pasal 8 (ayat 1 ) UU Perundungan Saksi dan Korban. 2. Memfasilitasi hak pemulihan bagi korban kejahatan (bantuan medis, psikologi, rehabilitasi psiko sosial, fasilitasi kompensasi dan restitusi).

Livia Istania Iskandar, Wakil Ketua LPSK yang menjadi narasumber pada webinar yang diselenggarakan oleh LBH Apik Jakarta terkait pemenuhan hak Pekerja Rumah Tangga menyampaikan apa yang sudah dilakukan LPSK terkait pemenuhan hak  PRT korban kekerasan adalah :

Apa saja Hak Saksi dan Korban :

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.

4. mendapat penerjemah.

5. bebas dari pertanyaan yang menjerat.

6.Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus.

7. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan.

8. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan.

9. Dirahasiakan identitasnya.

10. Mendapat identitas baru.

11. Mendapat tempat kediaman sementara.

12. Mendapat tempat kediaman baru.

13. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhannya.

14. Mendapat nasihat hukum

15. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir dan/atau

16. Mendapat pendampingan.

 

Program Perlindungan LPSK

Perlindungan fisik (rumah aman, pengamanan melekat, pengawasan, identitas baru, fasilitas kediaman)

Pemenuhan Hak Prosedural (pendampingan, pemberian keterangan tanpa tekanan, penerjemah bahasa, dan nasihat hukum).

Informasi ( perkembangan penanganan, putusan pengadilan dan status hukum pidana).

fasilitasi ganti rugi (kompensasi dan restitusi)

Pemanuhan hak saksi pelaku (hak prosedural dan penghargaan atas kesaksian)

batuan ( media, poskologis, rehabilitasi psiko sosial dan santunan).

Hak atas pembiayaan

Perlindungan Hukum

 Livia Iskandar menyebutkan ada satu best practice di tahun 2018 kerja sama LPSK, LBH APIK, Jala PRT yang restitusiya bisa  dibelikan rumah dan sampai sekarang rumah tersebut mendapat pemasukan bagi terlindung LPSK tersebut.

Subjek perlindungan

a. Saksi adalah orang-orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri (pasal 1 angka 1).

b. saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama (pasal 1 angka 2)

c. korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (pasal 1 angka 3).

d. pelapor adalah orang yang memberikan laporan informasi atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi. (pasal 1 angka 4).

e. ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. (pasal 5 ayat 3)

f. Orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana. (pasal 5 ayat (3))

g. Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, orang yang mempunyai hubungan perkawinan atau orang yang memiliki tanggungan saksi atau korban.

Syarat Pemberian Perlindungan ada pada Pasal 28 Ayat (1), (2), (3), UU 31 tahun  2014.

Jumlah Terlindungi dan Program Perlindungan tahun 2021-2022.

Jenis tindak pidana nomor urutan 1 adalah pelanggaran HAM berat, korupsi, terorisme, TPPO, Narkotika dan psikotropika, kekerasan seksual, penganiayaan berat, penyiksaan, tindak pidana lainnya, KDRT, kekerasan terhadap anak.

Jenis program yang paling banyak diakses : fasilitasi restitusi, pemenuhan hak prosedural, fasilitasi kompensasi, bantuan medis, bantuan psikologis, perlindungan fisik,rehabilitasi psikososial.

KORBAN N

Korban N (umur 23 tahun) bekerja sebagai PRT kurang lebih selama 5 tahun di rumah pasangan IES dan IS. Korban mulai bekerja tahun 2011. Selama 5 tahun bekerja korban hanya satu kali pulang ke rumah ayahnya pada ketika lebaran dan hanya menerima upah 1 kali (sebesar 500 ribu) saat pulang tersebut. Kekerasan yang dialami korban tergolong sadis dan merendahkan martabat kemanusiaan.

Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami, antara lain :

1. Pemukulan pada bagian kepala dengan palu.

2. Tubuh disiram air panas.

3. Dipaksa minum air panas dan makan lombok.

4. Lidah dijejali sendok yang dipanaskan dengan api.

5. Tubuh diikat dan digantung terbalik dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah selama berjam-jam tanpa diberi makan.

6. Ditampar, ditonjok dan dipukul serta diinjak.

 

Berdasarkan surat LPSK perihal pengajuan pemberian  restitusi yang ditujukan kepada kepala Kajari Bale Bandung diajukan restitusi sebesar 307.950.000. Berdasarkan kemampuan pelaku dapat membayar restitusi kepada korban sebesar 150.000.000. Pada 27 Maret 2017 terdakwa dihukum 9 bulan penjara.

LPSK memfasilitasi proses reintegrasi sosial dan pemulihan psikis korban dengan bekerja bersama LBH Apik dan RPTC Kemensos. Korban membeli rumah dari pembayaran restitusi. Saat ini N tinggal di rumah tersebut, melanjutkan hidup dan aktif di kelompok penyintas korban kekerasan terhadap perempuan.

 

KDRT yang dilakukan oleh Pejabat Negara

Korban TPH bekerja sebagai baby sitter di apartemen pelaku. Pelaku adalah anggota DPR. Pelaku sempat melakukan intimidasi kepada korban dengan menggunakan kedudukannya dan status sosialnya (sebagai anak mantan pejabat tinggi negara). Selama bekerja, korban mengalami kekerasan dan penganiayaan yang mengakibatkan luka memar dan infeksi penyakit dalam serta gangguan psikis akibat trauma atas tindak kekerasan yang dialaminya.

Berdasarkan putusan pengadilan negeri Jakarta nomor 655/Pid.B/PN.JKT.PST tahun 2016, pelaku dihukum 1 tahun 6 bulan.

Pelaku memberikan ganti kerugian kepada korban, masing-masing :

1. Korban T sebesar 150.000.000

2. Korban ES 50.000.000

3. Korban R 50.000.000

(Saksi ES dan R sebenarnya juga mendapatkan tindak kekerasan dari pelaku)

 

Korban SK

Korban SK merupakan PRT yang mendapatkan kekerasan maupun perlakukan antara lain yang merendahkan martabat kemanusiaan dan kekerasan seksual.

Perbuatan tersebut dilakukan oleh majikan perempuan, majikan laki-laki, anak majikan dan PRT lainnya. Bentuk kekerasan yang dialami yaitu dirantai di kandang anjing, diborgol dan diminta memakan kotoran anjing, kaki korban direndam air panas bersuhu tinggi dan bergaram.

Akibat tindak pidana yang dialami, korban mengalami luka bakar dan lebam di seluruh tubuh dan dalam perkembangannya korban juga mengaku mendapatkan kekerasan seksual.

Perlindungan LPSK : mendampingi korban saat memberikan keterangan sebagai saksi korban sejak tahap penyidikan sampai dengan. persidangan.

Memberikan bantuan medis untuk mengobati luka-luka korban.

Melakukan penghitungan restitusi sebesar 275.042.000, yang diajukan oleh korban/keluarga sejumlah 69.865.700.

 

Alur Prosedur Permohonan Perlindungan :

 

Diajukan oleh ; 1. saksi. 2. korban. 3. pelapor.4.saksi pelaku. 5.ahli.

itu bisa ; diri sendiri, keluarga, pendamping/kuasa hukum,penegak hukum,pejabat/instansi berwenang,pengampu.

Dengan datang langsung ke Kantor LPSK

atau dengan sarana lainnya : 1. jasa pengiriman, faksimili, surat elektronik, laman resmi LPSK, aplikasi telepon selular.

Kemudian ditindaklanjuti di Biro Penelahan dan Permohonan. 1. nama lengkap pemohon,2. no telp/email. 3. alamat domisili, 4. uraian peristiwa pidana, ancaman, laporan APH, 5. informasi terkait permohonan.

Setelah itu Penelaahan Permohonan Pemeriksaan Persyaratan Formal dan Material. Persyaratan formal : 1. surat permohonan tertulis. 2. fotokopi identitas/KK. 3. Asli surat kuasa (jika diajukan kuasa hukum/pendamping).4. Surat izin dari orangtua/wali (pemohon anak diajukan bukan oleh ortu/wali). 5 Surat keterangan/dokumen instansi yang menerangkan status/korban/pelapor/saksi pelaku/ahli.  6 surat resmi dari pejabat berwenang (diajukan instansi/aph). 7. kronologi uraian peristiwa tindak pidana.

Setelah 7 hari pemeriksaan dan memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi Pemenuhan Syarat Material berupa : 1. sifat penting keterangan. 2. bentuk dan tingkat ancaman. 3. kondisi medis dan psikologis. 4. rekam jejak tindak pidana. 5. tindak pidana yang menjadi perkara. 6. saksi pelaku : bukan pelaku utama dan kesediaan bekerja sama serta mengembalikan aset hasil kejahatan.

Ini prosesnya 30 hari kerja dan dapat diperpanjang melalui keputusan pimpinan LPSK. Baru kemudian ke Risalah Permohonan Perlindungan, baru kemudian dilakukan. Sidang Mahkamah Pimpinan LPSK yang mengeluarkan. keputusan : diterima, ditolak atau rekomendasi.

 

Bagaimana Tanggapan Anggota DPR RI Mengapa RUU PPRT Tidak Segera Dibahas dan Sahkan

Anggota DPR RI, Luluk Nur Hamidah dalam webinar menanggapi apa yang mendasari para elite dan pimpinan di DPR untuk tidak segera membahas RUU PPRT maka ini menjadi persoalan atau ketidaktahuan yang sebenarnya adalah rancangan UU tidak bisa diabaikan. Ia menambahkan bahwa pasti nuansa politik dan politik undang-undang sangat dominan memberikan pengaruh apakah RUU ini berjalan dengan baik atau tidak. Ketika para pimpinan di DPR melihat bahwa isu ini tidak memberikan manfaat secara elektoral terlalu signifikan terhadap keberadaan partai politik dan personal pada mereka maka ini bisa menjadi salah satu hambatan yang membuat agenda untuk menggolkan RUU ini bisa tercapai.

Cara apa pun nyaris sudah  dilakukan. Terakhir adalah rapat paripurna dan sudah melakukan interupsi untuk menjadi pengingat bagi pimpinan DPR kebetulan kader ada 4 orang dan ketua DPR ada karena mereka baru saja menyelesaikan UU Desa yang itu berjalan sangat lancar dan secara politik kelihatan gegap gempita ketika  DPR dan partai politik yang di sana dalam mengesahkan UU ini. ini tak sebanding dengan RUU PPRT.

“Maka bisa kita disimpulkan secara sederhana, ketika ada kepentingan yang kemudian bisa dijamin adanya UU tertentu maka itu yang memudahkan proses-proses di DPR tapi manakala hitung-hitung kalkulasi cost and benefit jika itu dipakai tidak terlalu menguntungkan dan tidak merugikan jadi impas. Maka ya tidak terlalu ada dorongan yang sangat kuat untuk segera mengesahkan itu,:”terang Luluk.

Menurut Luluk sebenarnya yang bukan sekadar elektoral misalnya kalkulasi soal humanitarian dan prinsip-prinsip HAM yang harus dimunculkan dalam sejuta proses penyusunan pembahasan semua RUU. Ketika semangat HAM yang dikedepankan maka bisa mengabaikan kalkulasi-kalkulasi yang sifatnya keuntungan elektoral yang sifatnya jangka pendek.

Juga ketika semua pihak mau ngotot mengawal RUU ini tapi tidak ada public punishment kepada fraksi-fraksi yang nyata-nyata tidak sebangun dengan gerakan yang ingin menggolkan RUU ini lalu apakah ini cukup fair? Fraksi-fraksi yang sudah menyetujui di Baleg sehingga bisa ditetapkan RUU inisiatif tidak terlalu juga untuk menginisiasi dan mengajak pimpinan DPR karena reward yang didapatkan apa?

“Politik selalu ada kalkulasi. Sedangkan di teman-teman kan tugas kita selesai. Proses kesulitannya selalu di ujung yakni di Baleg. lalu bagaimana kita membawa RUU ini sehingga jadi inisiatif DPR kan  sudah 19 tahun. Kan ini sudah inisiatif, sudah surprise dan DIM diberikan DPR maka ini jadi keputusan politik tinggi di DPR yang hanya segelintir orang itu,” jelas Luluk.

Luluk menambahkan apakah masyarakat memahami para pegiat ini melihat situasi ini secara terbuka dan fair misalnya membuat penilaian sehingga yang lain juga merasa mendapatkan reward?  Tapi kalau misal itu tidak ada maka mirip pada perjuangan pengesahan RUU TPKS, mana diketahui pejuang sebenarnya dan mana yang tidak.

Luluk sempat berpikir bagaimana mengunggah ke media sosial fraksi-fraksi mana yang tidak mendukung RUU PPRT ini. Lalu apakah ini cukup menghukum mereka dengan cara sepertin ini?  Menurutnya mungkin bisa dimulai dengan webinar, demo kecil, dan seminar online.

“Penting untuk membangun jejaring lebih kuat seperti pengalaman mengawal RUU TPKS menjadi UU TPKS , dengan jaringan gerakan perempuan dan lintas sektor,”pungkasnya. (Ast)