Indonesia Darurat Kekerasan, Lemahnya Penegakan Hukum Tanggung Jawab Pemerintah

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Forum Pengada Layanan (FPL), Perempuan Mahardhika, Jala PRT dan Konde.co pada Jumat (22/9) menyelenggarakan konferensi pers. Dimulai dengan prolog bahwa beberapa waktu belakangan masyarakat dihebohkan dengan berita ko kematian Mega, seorang perempuan yang meninggal karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh suami. Kemudian pemberitaan menyoroti kinerja kepolisian karena sebelum terjadi kejadian pembunuhan tersebut, Mega pernah melaporkan kasus KDRT yang dialaminya di kepolisian tetapi penanganannya terhenti. Mega menambah rentetan panjang kasus KDRT yang terjadi di Indonesia.

Pada Catahu 2022 kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan 68% atau 2.098 adalah kasus KDRT sedangkan Kementerian PPPA mencatat terjadi 11 ribu kasus KDRT. Dari keselurahan kasus yang terdata, perempuan paling banyak menjadi korban Tentu ini menjadi pukulan besar bagi kita semua.

19 tahun UU PKDRT telah ada di Indonesia tetapi kekerasan perempuan semakin banyak terjadi. Apalagi yang menimpa perempuan pekerja di mana situasi kerja yang menimpa. Perlindungan perempuan sebagai syarat yang sebesar-besarnya dari kerja-kerja perempuan baik domestik dan pekerjaan lainnya.

Pekerja yang mendapat kekerasan tidak mendapatkan keadilan baik menggunakan UU PKDRT maupun tidak.

Walaupun sudah ada UU PKDRT tapi angka kekerasan makin tinggi dan tidak ada perbaikan atau implementasi dari UU PKDRT.

KDRT tidak hanya fisik tapi psikis. penelantaran ekonomi dan kekerasan seksual dan ini saling berkaitan ketika ia mendapatkan kekerasan fisik ia juga mengalami kekerasan psikis juga dan penelantaran termasuk ada pemaksaan seksual juga. Jaringan ini akan mendorong implementasi UU PKDRT ini maksimal, apalagi jika diingat 2019 Kementerian PPPA dan Komnas perempuan membuat monev.

Pekerja Perempuan Belum Terlindungi KDRT

Pada tahun 2000 Perempuan Mahardhika melakukan studi pengalaman KDRT pada buruh perempuan dengan melakukan wawancara kepada 28 buruh perempuan korban KDRT yang bekerja di sektor garmen. Dari penelitian tersebut terdapat sejumlah temuan penting antara lain :

Pertama : sulitnya korban melepaskan diri dari KDRT dan bertahan dalam KDRT dengan alasan ketidaktahuan tentang UU PKDRT tidak berani melapor karena kuatnya Perspektif suami adalah kepala keluarga. Dari minimnya dukungan dari keluarga, masyarakat, tempat kerja, dan sosial.

Korban KDRT sangat berdampak bagi pekerjaan seperti kehilangan konsentrasi kerja, mengalami kecelakaan kerja, produktivitas menurun, hilangnya kemampuan kerja bahkan sampai kehilangan pekerjaan.

Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada dukungan dari perusahaan bagi daya tahan buruh perempuan dalam menghadapi KDRT bahkan perusahaan mengambil keuntungan dan ketidakberdayaan buruh perempuan.

Sistem kerja yang tidak ramah perempuan sarat dengan kekerasan, sarat eksploitasi, menjadikan isu KDRT diabaikan dalam dunia kerja padahal dampaknya terhadap pekerjaan buruh perempuan di tempat kerja terang benderang. mengabaikan isu KDRT untuk masuk dalam skema perlindungan buruh perempuan akan semakin mempersulit perempuan lepas dari jeratan KDRT.

Pekerja Rumah Tangga Rentan KDRT

Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Rumah Tangga, PRT merupakan salah satu subjek hukum dari UU tersebut karena rumah tangga sebagaimana dalam UU PKDRT adalah semua orang yang berada di dalam rumah tersebut tidak mengecualikan hak-hak PRT sebagai pekerja yang bekerja di urusan rumah tangga domestik.

Kondisi ini jelas memberi ruang bagi pelanggaran hak-hak pekerja rumah tangga dalam kondisi kerja terselubung.

Berdasarkan data Jala PRT, dalam penanganan kasus PRT terdapat 2.641 kasus PRT di tahun 2018-2023 yang mayoritas kekerasan psikis, fisik dan ekonomi dalam sekian rupa seperti kasus upah tak dibayar (2-11 bulan gaji tak dibayar), dipecat, atau dipotong upah oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja PRT tidak dapat mengklaim Jamkes ketika sakit, tidak ada kenaikan upah mesti telah bekerja bertahun-tahun. Sudah bekerja 3 tahun tidak ada pesangon. Publik dan APH masih mengecualikan bentuk kekerasan pelanggaran UU PKDRT kurang terbangun kesadaran masyarakat terhadap kekerasan terhadap PRT.

Penanganan kasus KDRT masih menemui banyak hambatan. Tahun 2022 FPL lakukan pendampingan kasus KDRT berupa kekerasan psikis 1.248, fisik 526, kekerasan seksual 855.

Hambatan UU PKDRT

-Perlunya perkawinan yang dicatatkan, sulit diterapkan pada perkawinan yang tidak dicatat.
-Kurangnya kebijakan operasional sehingga ada beda tafsir terkait UU PKDRT.
-Proses pembuktian juga masih pelik.

19 Tahun adalah Alasan Bagi Pemerintah untuk Sungguh Implementasikan UU PKDRT. Maka dari itu menuntut pemerintah ;
1. Informasi dan sosialisasi UU PKDRT pada masyarakat.
2. Memastikan aparat hukum menggunakan UU PKDRT
3. Ajak publikasi dan media untuk stop penghapusan KDRT.
4. Mengintegrasikan Kementeriam PPPA, Kemenaker, Kemenkes, Kemenkumham, Kepolisian dalam jaringan kerja pencegahan dan perlindungan dari KDRT.
5. Memasukkan KDRT dalam upaya perlindungan buruh perempuan dalam kesehatan dan keselamatan kerja (K3). (ast)