Ada Kekosongan Hukum untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Lita Anggraini dari Jala PRT dalam webinar yang dihelat oleh LBH Apik Jakarta dan disiarkan di kanal YouTube-nya secara live menyatakan situasi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia bekerja dalam situasi perbudakan moderen. Ada berbagai kebijakan misalnya Undang-Undang PKDRT, Undang-undang Ketenagakerjaan Omnibuslaw, KUHP, SJSN BPJS tetapi semua tidak mengakomodir PRT sebagai pekerja sehingga sebagai tenaga kerja tidak punya payung hukum secara spesifik.

Peraturan Kemenaker tidak bisa diimplementasikan dalam masyarakat Indonesia yang patriarkis, bias gender dan bias kelas, bahwa pekerja dalam konteks sebagai warga negara dianggap sebagai pekerja kelas dua. Pembagian kerja seksual yang dalam masyarakat patriarki juga membuat stigma . Satu bias berlapis yang menunjukkan sebagai situasi yang dianggap umum, padahal seharusnya tidak bisa ditolerir. 

Berbagai bentuk pelecehan dan kekerasan dianggap wajar. Kalau ada kasus seperti yang menimpa PRT Khotimah, sedikit orang yang marah. Menurut Lita, itu menandakan bahwa kita tidak ada sensitivitas terhadap pekerja rumah tangga. Misalnya dalam hal situasi pekerja, bahwa PRT bekerja tanpa batas dengan jam kerja yang tidak ada istirahat. tidak ada istirahat dan tidak ada libur, hal itu yang dianggap wajar. “-ni yang dianggap sebagai pelanggaran, perbudakan moderen kemudian pelecehan-pelecehan, termasuk mem-bully PRT bahkan anak PRT, “terang Lita.  

Lebih buruk lagi PRT dituntut untuk bisa bekerja apa saja. Sedangkan negara tidak hadir untuk memberikan perlindungan, mengatur hubungan dan situasi kerja antara warga negara, antar warga menengah dan kelas paling bawah, vis a vis antara perempuan kelas menengah dan kelas paling bawah. Kemudian terjadi ketika ada pelanggaran-pelanggaran itu dikatakan, “ya sudah itu sebagai satu nasib.”

Soal kekerasan-kekerasan yang disebut di atas  setiap hari terjadi dan masyarakat tidak bisa mencampuri sebab dianggap sebagai masalah privat. Ada PRT yang tidak dibayar 1 bulan, 2 bulan 3 bulan ketika melaporkan kepada Disnaker maka tidak dianggap. Ini karena : 1. tidak ada UU, 2. Dalam berbagai kekerasan  ketika terjadi kasus kekerasan fisik yakni penyekapan dan bahkan semakin parah, aparat hukum memproses ini hanya berdasar UU PKDRT. Juru mediasj yang tidak membuat para pelaku mendapatkan sanksi jadi preseden buruk bagi PRT.  Kekerasan berlapis yang menimpa  PRT baik situasi dan kondisinya berulang dan fatalis, masyarakat masih banyak yang menganggap biasa dan tidak dipersoalkan.

Kasus kekerasan yang menimpa PRT SK dan  N tidak terangkat.  Di kasus SK pelaku hanya dihukum 4 tahun lalu bagaimana dengan restitusinya? SK yang difabel tidak bisa bekerja. Waktu itu Jala PRT menghitung upahnya kali 12 bulan x 33 tahun tetapi aparat hukum mengatakan untuk apa uang sebanyak itu untuk SK. Dibandingkan kasus-kasus yang lain yang kelas menengah mencuat. Sehingga timbul pertanyaan apa ini karena PRT maka dipinggirkan? Hal ini semakin menggambarkan betapa penting lahir UU PPRT untuk mengubah mindset dan posisi masyarakat, mendudukkan PRT sebagai warga yang sama.

Pentingnya juga pengawasan karena ada kasus yang sampai 5 tahun dan  9 tahun. Ada yang berbulan-bulan nda tidak ada tindakan pencegahan sebab  ini penting juga karena terkait TPPO. Setiap hari Jala PRT menerima laporan kasus TPPO. “Sementara PRT disandera, UU-nya juga disandera,” tegas Lita. Ia  menggambarkan betapa negara kita terutama wakil rakyat yang saat ini sedang sibuk berpolitik hingga melupakan konstituennya yang seharusnya menyangkut hajat hidup sebab jumlah besar PRT juga menggambarkanperbudakan moderen.

Iche Robin dari Kementerian PPPA yang menjadi narasumber, terkait dengan PPRT, maka seharusnya dilihat perkerjaan itu apa? Yaitu pekerjaan itu untuk memenuhi. kebutuhan hidup bagi dirinya, keluarganya dan sarana aktualisasi diri, pekerjaan dan HAM. Sedangkan hak atas pekerjaan tercermin dalam pasal 27 ayat 2 UUD 45. di situ menyebutkan bahwa setiap WNI berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk kemanusiaan. Lapangan kerja sepi menyebabkan PRT jumlahnya meningkat meski PRT itu bukan pilihan dan PRT berhak pendapat pengakuan sesuai harkat dan martabat kemanusiaan.

Iche menambahkan perlunya RUU PPRT bagi pekerja rumah tangga itu karena tidka hanya membahas  pekerjaan namun juga pelatihan dan perlindungan PRT termasuk terhadap pemberi kerja untuk kesinambungan dan pemenuhan hak dalam bekerja antara PRT dan pemberi kerja. Itulah mengapa diperlukan sebuah aturan dalam bentuk undang-undang. Dalam Sakernas 2008 jumlah PRT diperkirakan 714 ribu orang bekerja. Sedangkan ILO 2003 memperkirakan PRT di Indonesia 2,5 hingga 3 juta :  96% di perkotaan, 83% di Jawa 28% di DKI, 19% di Jabar, 16% di Jatim sedangkan Sumatera Utara, Lampung, Bali berkisar 2-3%. rumah tangga memiliki 1 orang PRT 76,9%, 2 orang 19,4%, lebih dari 3 orang 4,8%. kurang usia 18 tahun 20% PRT.

Pengaturan PRT diperlukan untuk mengatasi persoalan pada PRT dan pemberi kerja. Di sisi lain banyak sekali hal-hal yang merugikan PRT seperti gaji tidak dibayar, upah rendah, tidak sesuai, tidak ada istirahat, kekerasan fisik dan non fisik dan bentuk eksploitasi terhadap PRT. Yang paling merugikan PRT dan pemberi kerja adalah bekerja tidak sesuai lalu minta pulang dan PRT memutuskan kerja sepihak dan pastinya merugikan pemberi kerja. (ast)