Magdalena Sitorus : Buku Ini Adalah Gerakan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Magdalena Sitorus dalam siaran X Space konde.co pada Jumat (29/9) dipandu oleh Ika Ariyani, jurnalis konde.co menceritakan tentang pengalaman perempuan penyintas 65 yang berbeda dengan laki-laki korban. Perempuan secara global adalah kelompok rentan yakni anak dan perempuan mau di wilayah domestik, konflik, dan bencana. Sebagai kelompok, perempuan adalah rentan dan paling rentan. Kaitannya dalam peristiwa 65, perempuan rentan mengalami kekerasan dan perkosaan.

Saat ini Magdalena Sitorus, Purna Komisioner Komnas Perempuan tengah berkhidmat menulis tentang  Nanga Nanga dengan tokoh seorang Gerwani yang sekarang berumur  84 tahun. Lalu ada cerita di sebuah wilayah khusus perempuan seluas 1000 hektar. Perempuan rentan diperkosa sebab ada budaya patriarki dan pengalaman mereka sulit sekali. Mereka yang pernah menjadi korban perkosaan saat ini sulit sekal keluar dari traumai karena membekas. Tetapi daya ketahanan mental mereka luar biasa karena daya tahan karena sejak kecil sudah disiapkan dan  sampai tahun 2023 budaya patriarki masih ada.

Magdalena Sitorus telah menulis empat buku tentang para perempuan penyintas 65 yakni Onak & Tari di Bukit Duri, Taburan Kebaikan di Antara Kejahatan, Jiwa-Jiwa Bermartabat dan Lima Puan dalam Pusaran Kelana.

 

Keppres  nomor 17 tahun 2022  dan Stigma PKI

Perempuan korban mengalami rentan kekerasan seksual, sebab mereka harus melindungi ketubuhan mereka dari para petugas laki laki. Seperti itulah yang menjadi keprihatinan apalagi dikaitkan dengan peristiwa-peristwa kekerasan seksual pada saat sekarang hingga melahirkan UU TPKS, sebagian besar aparat penegak hukum tidak berperspektif kepada korban.

Saat ini menurut Magdalena, ada kelompok paduan suara Dialita yang anggotanya para perempuan penyintas 65. Mereka masih merasakan trauma luar biasa tapi mereka bisa move on dan mereka terus berjalan.

Seperti dituturkannya dalam kanal X Space, sewaktu kepemimpinan Presiden Jokowi memasuki periode kedua, mereka masih trauma, takut ditangkap. Termasuk perempuan dari Kendari  yang dituliskan sejarahnya. Bahkan si Ibu  meminta buku itu jika sudah jadi jangan disebarkan. Demikian rentan perempuan korban kekerasan.  Begitu juga penyintas yang saat ini  tinggal di Jerman, tiga kali maju mundur dan sampai sekarang mandek. Mereka masih bergerak dengan berkegiatan.

Juga ada sebuah  realita penyintas di Gunung Kidul yang hidup seorang diri karena keluarga tidak mau menerima lalu ada mahasiswa yang melakukan pendampingan dengan program one week one mother.

Menurut Magdalena lagi, hal paling berat dirasakan oleh para  penyintas  itu stigma sebab kata “PKI” jadi momok. Ini dikarenakan keberhasilan propaganda oleh Order Baru. Stigma itu bahkan dilekatkan kepada keluarga korban.

Terkait Keppres nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan tim penyelesaian non yudikatif pelanggaran HAM berat masa lalu, ia masih menilai baik. Diselesaikan non yudisial dulu supaya kesejahteraan mereka dipulihkan termasuk mengembalikan hak-hak pemulihan seperti : 1. pendataan. 2 LPSK yang diisetujui oleh Komnas HAM. Namun begitu butuh juga  Inpres yang sampai ke daerah-daerah sebab dari Keppres itu masih banyak yang harus dilakukan dan harus dikawal. “Keppres ini sebuah kemajuan tapi ya disertai catatan ,sejauh mana sih implementasinya .” (ast)