Bukankah Lembaga Pendidikan Harusnya Jadi Ruang Aman Bagi Semua?

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Direktur Eksekutif INFID, Iwan Mistohizzaman dalam webinar “Bukankah Lembaga  Pendidkan Harusnya Jadi Ruang Aman Bagi Semua?”yang disiarkan oleh INFID TV terkait peristiwa perundungan yakni kasus pembotakan siswa sekolah di Lamongan menyatakan meski kasus  ditindaklanjuti sekolah dan dinas pendidikan secara kekeluargaan, tetapi potensi tindakan yang sama tetap ada. Pihaknya  ingin mendorong pendidikan yang inklusif. Pesan pendidikan nasional saat ini ada tiga hal yakni terkait bullying, intoleransi dan kekerasan seksual.  Tentu ada hal lain bersifat kebijakan oleh para pemangku kepentingan.

Lalu bagaimana pengalaman kasus jilbab?

Widiya Hastuti, seorang penyintas kasus perundungan jilbab yang memiliki latar belakang tinggal di Aceh yang memiliki aturan hukum Kanon bahwa semua perempuan Aceh harus berjilbab. tidak hanya lingkup akademis. Di SMA harus rok panjang, baju panjang dan wajib krah cina, tidak boleh kancing terbuka dan baju hem atasan harus di bawah bokong, wajib ciput dengan dua pin, dada harus dipin, pakai legging dan kaos kaki panjang.

Namun tetap ada saja ada teman Widiya yang mengurang-mengurangi aturan itu. Sanksinya di Aceh, kalau rambutnya keluar dari jilbab maka dipotong, ada poni kelihatan lalu digunting. Rok tidak boleh ada belahannya, kalau ada belahan maka akan lebih di belahan lebih tinggi. mirisnya ia tidak tahu kalau hukuman atas pelanggaran aturan itu adalah  kekerasan. Maka  sanksinya ia ditegur orang tua karena orang tua ditekan oleh  lingkungan.

Widiya baru sadar bahwa itu tidak salahnya semuanya. Ia  akhirnya melepas jilbab lalu ia tahu bahwa ia dan kawan-kawannya  korban kekerasan. Namun kalau bercerita ke orang- orang tanggapannya, "ya wajar kamu kan di Aceh. "

Widiya berpikir dampaknya luas, misalnya  kalau ada gempa maka ia  dan kawan-kawan akan mencari jilbab dulu daripada keluar rumah.

Bagaimana guru menangani masalah seperti yang terjadi di Lamongan?  apakah ada perspektif guru yang menghakimi dan menormalisasi ini?

Anis Farikhatin, seorang guru di Yogyakarta,  mengatakan dalam pengajaran  pendidikan agama dan ekspresi keragamaan di sekolah selama ini  berangkat dari cara pandang yang fiqih oriented. Di sisi lain cara pandangnya bias gender jadi melihat perempuan sebagai sumber fitnah. Sebagai sebatas makhluk biologis maka dia harus rapi, dirapatkan, harus dibatasi geraknya. Itu menjadi suatu kebiasaan turun-menurun, masuk di kepala dan jadi sesuatu yang biasa, "memang begitulah harusnya perempuan".

Yang juga terjadi di sekolah negeri, perspektif bias gender yang melihat perempuan sebagai makhluk seksual  bukan spiritual dimanapun keberadaanya : mau pakai jilbab, ya dianggap sebagai objek seksual karena di mata laki-laki kesalahan dan pelecehan yang terjadi banyak ditimpakan kepada perempuan. Tentu cara pandang seperti itu sangat bermasalah. Celakanya tidak semua orang memiliki cara pandang yang sama. Jadi ketika ada yang speak-up dianggap lebay, caper.  Hal sama terjadi juga di sebuah SMA di Jogja beberapa waktu lalu.

Kedua, tidak dibedakan bagaimana beragama di ranah publik dan beragama di ranah privat. Seringnya para guru itu lupa bahwa itu ruang publik. sekolah negeri lagi alias  sekolah milik pemerintah. Kalau ada sekolah negeri melakukan kebijakan berseragam jilbab itu akan menghilangkan hak dari warga negara dan yang terdiskriminasi adalah yang beda agama. Rupanya  semangat dakwah mengalahkan semangat keadilan yang menjadikan Indonesia adalah ruang bersama., suku agama, dan etnis.

Beberapa dari kasus, banyak korban yang tidak menyadari sebagai korban lalu kepercayaan dirinya turun karena sering diolok-olok di depan publik atau teman main. Lalu bagaimana responnya setelah mengetahui kasus ini dan apa beda kasus ini dengan yang lain?

 

Tanggapan Psikolog

Ifa Hanifah Misbach, psikolog, menanggapi kasus Lamongan, menurutnya patronnya berulang yakni  korban diminta berdamai. Menurutnya dari puluhan wawancara kasus itu, para orangtua  berdamai dengan terpaksa terhadap pelaku karena pelaku punya figur otoritas. Keputusan ini tidak menghormati anak dan dunia pendidikan. Belum  memahami The Best Interest. "Damai itu kesannya baik ya, tetapi itu tidak memberikan korban hak atas kejadian, karena langkah damai ini merugikan anak. Mereka masih trauma karena pelakunya masih berada di sekolah. Mereka masih kecil tetapi diperlakukan sewenang-wenang oleh orang dewasa dan mereka dipaksa menyaksikan ketidakadilan. Seharusnya memang kepala sekolah dan guru SMP  negeri ini tidak datang ke sekolah dulu diganti guru PL sampai investigasi selesai,"terang Ifa.

Ada lagi kasus, di  3,5 km dari Lamongan ada tiga anak perempuan yang diraba kakinya oleh kepala sekolah dengan alasan rok mereka terlalu pendek dan anak-anak itu jadi trauma karena mereka harus berhadapan dengan figur otoritas itu setiap hari, yang pegang aturan di sekolah. Mereka tidak nyaman dan kepala sekolahnya laki-laki.

Bapak si anak sampai marah tetapi tidak setiap orangtua di Indonesia itu punya keberanian untuk protes. Ifa  melihat kasus Lamongan ini yang sebelumnya belum pernah lihat yakni nyaris digunduli. Menurutnya ini  sudah kejam sekali. "Menyentuh tubuh dan apalagi ini dilakukan perempuan ke perempuan dan ngilunya itu sampai kerasa,"ungkap Ifa.

Ini menambah daftar panjang bahwa telah terjadi relasi kekerasan itu begitu lama. Ifa men-disclaimer seakan anti jilbab, padahal tidak sama sekali. Justru yang disoroti pemaksaannya, ketika perempuan kehilangan kuasa atas tubuhnya ini tentang perlindungan dan intimidasinya.  Ini tentang perempuan yang tidak memiliki hak otonomi atas tubuhnya.

Apa yang ditemukan dari korban? tekanan psikologisnya dari yang halus seperti dihimbau, dinasihati, termasuk sanksi penggundulan yang terjadi belum lama ini paling sewenang-wenang dan praktik pengurangan poin/nilai guru mapel agama Islam tapi meluas ke mapel lain.

Ifa memiliki forum pemaksaan jilbab dan pihaknya  sering menyaksikan anak perempuan muslim mau melepaskan jilbab atau memilih melepaskan jilbab, itu akan mendapat  berbagai stereotipe negatif. Pihaknya  heran sikap ketersinggungan itu muncul dari otoritas di masing-masing lingkungan. Si Anak lalu diberikan stigma sebagai perempuan pendosa, melawan perintah kitab suci.  Para korban ini umumnya bergelut dengan kecemasan sejak kecil karena berhadapan dengan stigma sosial negatif misalnya gangguan kecemasan tentang bagaimana dia dikatakan kalau tidak mengenakan jilbab identik dengan tidak memiliki moralnya yang baik,  disebut sebagai  perempuan yang tidak salihah.

Padahal ini berasal dari keyakinan hadis palsu. Katanya kalau anak perempuan tidak memakai jilbab akan menyeret ayahnya, suaminya kelak, anak laki-laki, masuk neraka padahal Islam sendiri mengakui keleluasan multitafsir yang tidak bersifat tunggal di dalam pemaknaan aurat. Ifa melihat para pelaku ini meyakini hadis palsu ini dan sering dipakai praktiknya di dunia pendidikan. Jadi harga diri korban ini dihancurkan dalam segala arah dan yang ia menemukan adanya bullying verbail. dipermalukan di ruang oleh guru dengan alat peraga atau di lapangan oleh kepala sekolah di hadapan ribuan siswa dan dia merasa tidak ada yang bela.

Dan itu dialami oleh para anak perempuan sejak di usia SMP yang sedang rawan pencarian jati diri. Juga ketika tahun ajaran baru,mereka bisa diintimidasi oleh kakak-kakak di jam istirahat di kantin dan perpustakaan oleh perintah guru. Terjadi pembiaran oleh pihak sekolah dan menjadikan depresi. Yang tidak berjilbab ditarik dimasukkan ruang. Kehidupan medsosnya dipantau apakah sudah memakai jilbab.

Kemudian pemaksaan sistemik melalui pembelian seragam yang jilbab ada disitu di awal masa orientasi siswa. Pekerjaan Rumah besar yang ada di depan adalah  teror mental bagi korban yang tidak memakai jilbab akan menyeret anggota keluarga laki-laki itu lalu  bagaimana mengkonter yang ini. Ifa  berharap INFID  mengadvokasi guru-guru pengawas karena narasi mencekam ini akan juga mengancam  anak-anak yang sudah lulus SD.

Di sini Ifa  melihat para korban mengalami konflik dengan tubuh karena merasa tidak memenuhi standar moral sebagai perempuan yang baik. Dalam kajian psikologis begini : kalau kecemasan itu menjalar ke tubuh itu dinamakan body dismorfix disorder, adalah gangguan kesehatan mental dimana penderita tidak berhenti memikirkan kekurangan tubuhnya jadi cemas dengan penampilan tubuhnya,  lalu menghindari situasi sosial. Lebih tidak  seperti pada kecemasan karena cacat bawaan (misal saya tidak suka hidung saya pesek),  kulit hitam.

Tetapi body dismorfix disorder dalam hal pemaksaan jilbab itu berbeda. Ifa belum menemukan terminologinya karena ini relatif baru tapi kecemasan yang ia temukan lebih kompleks. kalau dismorfix disorder kecemasannya lebih pada persepsi tetapi kalau pemaksaan jilbab, identitas tubuh digantikan lapisan identitas moral.

Lalu dari mana akar masalahnya? Mereka  para penyintas sudah teriak-teriak ke Kemendagri mengapa tidak bisa  mencabut perda diskrimintatif khususnya wajib jilbab? bukan masalah wajib jilbabya tetapi pemaksaannya itu.  Ada skenario apakah di balik pemaksaan jilbab itu? ideologi apa yang hendak dibawa? akan menyeragamkan seluruh Indonesia?

Menurut Ifa ini sistemik. jadi dunia pendidikan hasil dari akibat perda. Kalau ia sebagai  guru,  buatnya bukan mendikbud tapi gubernur, walikota atau bupati karena sebagai ASN, ia terikat perbup/perwali atau pergub.

Kalau mereka melakukan aturan wajib jilbab itu menetes ke salah satu dinas yakni dinas pendidikan yang memiliki keluarga banyak ada MPPS, MPPS Swasta, negeri, dan biasanya akan jatuh ke pengawas yang tugasnya mengawasi sekolah dan masuklah ke surat edaran kemudian diadopsi jadi peraturan sekolah. Yang pihaknya  lihat sekarang perda di bawah aturan guru perempuan muslim lalu di sekolah negeri terjadi ini. Sisi muslim itu pemaksaan melalui kompetensi dasar, mata pelajaran agama Islam. Ini bisa dilihat di kurikulum 13.

Bayangkan ini sudah sangat letter lux tekstual  ditulis. Sungguh tidak fair bagi anak. "saya punya rapor sebagai guru agama Islam kalau saya tidak menjilbabkan siswi saya saya akan dapat kondite jelek sebagai guru PAI. ini tidak fair."

Dan semua tahu pakaian yang bagus itu adalah taqwa jadi memahami ayat jilbab itu tidak harus tekstual tetapi harus kontekstual.  Al-A'raf ayat 26 pakaian yang baik adalah taqwa. Jadi ada ayat ini, tetapi mengapa jatuhnya ke pakaian? Permendikbud 45 tahun 2014 lampiran harus pakai jilbab. Saat ini  sangat susah orangtua menemukan seragam selutut, semuanya panjang.

Dari 73 perda diskriminatif itu terjadi kontrol tubuh perempuan,  kemudian Permendikbud 45 tahun 2014 walaupun sudah Permendikbud nomor 30 tahun 2021/

Ifa berpikir, merdeka belajar juga aman dari pemaksaan jilbab, ternyata tidak ternyata  ada kelompok yang  pintar menyusupka.  "Coba bayangkan disisipkan di hal 722 dari 1076. Dan walaupun sudah dilaporkan oleh masyarakat sipil ke Kemendibud tapi harus dikawal terus oleh guru PAI kan mengajar juga di sekolah negeri. Tetapi jika ini dicabut namun selama perdanya tidak dicabut maka ini akan sangat sulit,"terangnya, 

Tidak ada sanksi dari Kemendagri terhadap daerah-daerah yang memberlakukan perda diskriminatif. Tiap kali ada pertemuan selalu dikembalikan seperti tidak bisa untuk mencabut.

Perundungan yang terjadi seperti kasus  pembotakan dan seperti yang dialami Widiya sampai Widiya tidak tahu haknya, dan tidak tahu kalau sudah jadi korban, maka menurut Ifa harus berhati-hati sebab sudah dibuat amnesia oleh budaya sendiri. Ia mengkhawatirkan hal-hal buruk,  nasib perempuan berakhir mengerikan seperti di Iran, Irak dan Afghanistan. "Jangan kita memilih diam, takut ada sungkan. Saya mengira 20 tahun dari sekarang tidak akan terjadi generasi emas,"pungkasnya.

 

Peran Masyarakat Sipil

Rina Tiarawaty, pendamping korban, narasumber lainnya dalam webinar mengatakan ada berbagai upaya kampanye di media sosial seperti Facebook. Lalu strategi apa yang digunakan untuk mengkampanyekan bahwa kasus-kasus ini perlu ditangani serius oleh pemerintah, hingga sampai mengkonter narasi yang dibuat oleh kelompok yang berseberangan?

Rina yang saat ini sangat konsen dengan isu  pemaksaan jilbab ini menambahkan bahwa ia membikin media sosial khusus tentang pemaksaan jilbab ini  lalu ia harus  lari ke media-media  yang lain seperti tiktok yang cakupannya lebih besar.

Ia  melihat titik awal dari mengapa  jilbab ini dijadikan tafsir tunggal, sehingga yang dibikin di sini selalu dibilang bahwa jilbab itu adalah pilihan, bisa ya atau tidak dan tidak harus saling memaksa. Tidak itu bukan belum. Artinya jika ada orang-orang yang memilih untuk tidak. Ia bukan orang yang harus diedukasi. Rina melihat bahwa melalui media sosial ia bisa masuk ke orang-orang Indonesia sehingga "oh yang  mempertanyakan setiap hari kapan pakai jilbab itu namanya  kekerasan. oh kalau orang itu tidak pakai jilbab maka tidak pantas ditanyakan." Ia juga  melakukan kampanye baju sopan, yakni baju yang tanpa jilbab pun ya tetap tampak sopan. Ia melihat di Indonesia ada yang tahu dan concern bahwa ini suatu  masalah. Banyak yang sudah mengerti bahwa tafsir tunggal itu penyebab awalnya tetapi mereka tidak berani ngomong.  Mereka tidak berani karena walaupun seperti dia bolak-balik ngomong bahwa yang ia lakukan adalah antipaksa jilbab bukan anti jilbab. Tetapi tetap saja bagi orang-orang dengan narasi berbeda akan tetap tarik simpul terus bahwa ia anti jilbab.

 "Kalau menurut saya, kita tetap strong bahwa kita anti paksaannya. Kita juga setiap kali ada orang yang datang, di medsos ada yang abadi, ada yang pemaksa. Saya merasa jika banyak orang yang ngomong di medsos tentang "hai kamu jangan paksa" Yang saya bicarakan bukan  masalah sensitif tapi ini masalah perempuan.  Kita harus berani untuk counter. kita nggrundek di dalam tapi tidak berani counter. kita melipir-melipir gitu. sekarang sudah tidak saatnya melipir lagi mencounter dengan narasi-narasi kita. Misal Jilbab adalah Pilihan. Tidak itu bukan Belum, " terangnya.

Jadi narasi di Indonesia  adalah baju kita sejak dulu sudah sopan dan Indonesia sejak dulu baik-baik saja. karena ada narasi dari mereka (yang melakukan pemaksaan jilbab) bahwa kesopanan berubah. Padahal baju kita sejak dulu sudah sopan. Pemaksaan jilbab bisa jadi kriminalisasi bagi perempuan.

Narasi Widiya tentang teman-temannya yang melakukan resistensi  dengan tidak menggunakan Ciput, kaos kaki pendek dan tidak pakai minset.

Sedangkan ada tipe dua guru yakni menentang mereka dan ada yang diam saja. B ntuk penentangannya macam macam. ada yang bawa gunting ke sana-ke mari, ada yang dinasihati, atau belakangan ketika mereka hampir tamat mereka dipermalukan,  disuruh  di pesimpangan dan orang lain disuruh menilai mereka.  Itu  sangat mempermalukan. Di rumah sendiri ibunda Widiya  membebaskannya tidak pakai jilbab tapi dia tidak berani untuk membeaskan tidak pakai jilbab. "kami nggak sadar ini bahwa hak saya tidak pakai jilbab,"tukasnya.

Lantas ada pertanyaan bagaimana dinamika ini bermunculan mulai dari sekolah? apakah isu pemaksaan jilbab ini dianggap suatu permasalahan atau penormalan di wacana lingkungan sekolah dan bagaimana hal ini dibicarakan di sekolah.

Anis Farikhatin menjawab bahwa kebanyakan yang cara pandangnya ekstrem itu justru bukan dari guru agama. Ada banyak faktor luar dan kalau berbicara pemaksaan, bisa dipahami dari kondisi sekolah dalam hal jilbab. Yang pertama soal bagaimana guru agamanya sendiri yang seharusnya dikritik. Menurutnya kita harus menghormati surat An-Nur tentang jilbab. Ayat ini yang dijadikan pembenar. bahwa jilbab harus dikenakan oleh perempuan yang mengaku muslim. kenapa susah dicabut karena. didukung dengan tafsir dan budaya patriarki akut. perpjan sebagai second dan sebagai objek. untuk keluar dari kesadaran bahwa perempuan punya hak dan setara itu susah.

Di sekolah tidak banyak ruang yang digunakan guru untuk mengembangkan kompetensi kapan dia jadi konselor, gasislitataor, mentor, pengembangan budaya menyentuh hati tidak ada. Guru dibebani tanggung jawab administrasi dan kebijakan yang menjauhkan dari semangat refleksi dan mengembangkan diri. Didorong hanya untuk kebijakan mengarah pragmatisme. dalam sebuah kebijakan sangat tergantung siapa yang membikin dan kepentingan apa. Seringkali kurikulum dianggap tidak penting dan ada yang paling penting yakni project.

Semua program mencoba diterapkan tetapi kondisi sekolah tidak siap dengan itu sehingga berdesakan dan guru yang lebih banyak disibukkan instrumental dan abai terhadap substansial. Guru lebih banyak dianggap sebagai sosok pengajar daripada pendidik.  Harapannya banyak dari sekolah itu harus perlu konsep merdeka belajar supaya agak memberikan harapan.  (ast)