Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Siaran Pers STH Indonesia Jentera dan Perhimpunan Jiwa Sehat

Pengakuan kapasitas hukum penyandang disabilitas piskososial atau seseorang dengan gangguan jiwa kerap terabaikan. Hal itu menghasilkan stigma negatif sampai tindakan diskriminatif, sebut saja tindakan perundungan, pemasungan, sampai kehilangan harta benda karena proses pengampuan yang mengambil alih pengambilan keputusan atas diri penyandang disabilitas psikososial kepada orang lain tanpa persetujuan. Praktik-praktik itu harus dihilangkan dengan memperkuat jaminan hukum, khususnya dalam pelindungan hak kesamaan di hadapan hukum, serta membangun kesadaran masyarakat untuk senantiasa memberikan dukungan penuh kepada penyandang disabilitas psikososial untuk dapat mengambil keputusan secara mandiri atas dirinya sendiri.

Dalam diskusi yang diadakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Perhimpunan Jiwa Sehat, Fajri Nursyamsi menyampaikan bahwa penyandang disabilitas psikososial adalah bagian dari warga negara yang memiliki hak yang sama. Dalam hal itu, negara memiliki tugas untuk memastikan pelindungan penghormatan, dan pemenuhannya. Fajri juga menekankan bahwa UUD 1945 sudah menjamin kesamaan kesempatan dan hak di hadapan hukum bagi setiap orang, termasuk penyandang disabilitas psikososial, termasuk hak dalam pelindungan harta benda pribadi untuk tidak diambil alih oleh orang lain. Namun begitu, masih ada berbagai peraturan perundang-undangan yang memandang penyandang disabilitas psikososial secara diskriminatif, misalnya ketentuan mengenai syarat sehat jasmani dan rohani untuk menjadi calon angota DPD, DPR, dan DPRD yang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; dan ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang memungkinkan pemberi kerja memberhentikan pegawainya dengan alasan disabilitas.

Dalam perspektif hak asasi manusia, Asfinawati menyampaikan bahwa penyandang disabilitas psikosial merupakan subyek hukum, sehingga penyandang disabilitas psikososial tidak boleh didiskriminasi sebagai subyek hukum, tidak boleh didiskriminasi oleh hukum, dan tidak boleh didiskriminasi di depan pengadilan atau badan-badan lain. Hak persamaan di hadapan hukum merupakan sifat dasar, sehingga tidak boleh didiskriminasi dengan alasan apapun. Asfin menutup dengan memaparkan kewajiban negara dalam menghormati dan menjamin hak asasi manusia, secara prinsip dasar negara tidak boleh melakukan pembedaan apapun berdasarkan alasan apapun, disamping itu negara juga harus menjamin pemenuhan hak dalam sebuah legislasi dan berbagai kebijakan, dan negara harus bisa menjamin pelaksanaan putusan atau keputusan atas pemulihan hak asasi manusia.

Yeni Rosdianti kemudian menegaskan bahwa Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) telah menjamin bahwa negara-negara pihak harus mengakui bahwa penyandang disabilitas menikmati kapasitas hukum atas dasar kesetaraan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan. secara historis diungkapkan bahwa penyandang disabilitas telah ditolak haknya atas kapasitas hukum di banyak bidang dengan cara yang diskriminatif, termasuk penyandang disabilitas psikososial. Yeni menegaskan bahwa praktik-praktik ini harus dihapuskan untuk memastikan bahwa kapasitas hukum harus diberikan kembali kepada penyandang disabilitas atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Yeni menyampaikan bahwa negara harus memberikan akses terhadap dukungan dalam pelaksanaan kapasitas hukum penyandang disabilitas psikososial, dukungan tersebut dapat berbentuk formal maupun informal dengan menghargai perbedaan. Dukungan ini juga harus tersedia bagi semua penyandang disabilitas termasuk penyandang disabilitas psikososial. Yeni memberikan catatan bahwa dukungan yang akan diberikan tidak dikaitkan dengan penilaian kapasitas mental sebab akan mengakibatkan penyandang disabilitas dinilai tidak memiliki kepasitas hukum.

Dalam diskusi ini Ati Maulin menyatakan bahwa penyadang disabilitas psikososial termasuk ke dalam disabilitas yang tidak kasat mata yang bisa pulih dan tetap memiliki kapasitas berpikir yang baik serta bisa melakukan aktivitas seperti biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ati Maulin mengungkapkan berbagai permasalahan yang masih menimpa kepada penyandang disabilitas psikosial diantaranya stigma terhadap penyadang disabilitas psikososial masih dipukul rata, penyandang disabilitas psikosial dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk bekerja, penyandang disabilitas psikososial dianggap tidak mampu mengelola keuangan, dan adanya masalah pemantian berdasarkan keputusan keluarga bukan kondisi orang yang dipantikan.  Ati Maulin menutup paparan dengan menyatakan bahwa dalam beberapa kasus seharusnya pengambil keputusan harus mendukung dan mengupayakan agar penyandang disabilitas psikososial bisa mengambil keputusannya sendiri.

Dari diskusi itu diharapkan dapat terinformasikan dengan baik bagaimana masyarakat perlu bertindak dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas psikososial. Selain itu, Pemerintah dan pemerintah daerah juga perlu memastikan apa yang sudah baik sebagai jaminan dalam UUD 1945 dijadikan jiwa dan prinsip dalam menghasilkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dengan begitu, praktik pemasungan, pengurungan di panti, sampai pengambilan alihan harta benda secara sepihak tidak terjadi lagi terhadap para penyandang disabilitas psikososial seperti layaknya warga negara dan manusia lainnya.

 

Narahubung:

- Fajri Nursyamsi (STHI Jentera) 0818100917

- Richard F. Kennedy (PJS) 085790509333



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Data tentang kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di kota Surakarta pada tiga tahun terakhir mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini dikemukakan oleh Siti Dariyatini, Kepala UPT Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Kota Surakarta (PTPAS) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) pada dialog interaktif Pro 1 RRI Surakarta, Jumat (26/8). Pada acara dialog yang bertema tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut menghadirkan pula Haryati Panca Putri, Direktur Pelaksana Yayasan YAPHI.

Data kekerasan yang ditangani oleh UPT PTPAS disampaikan oleh Siti Dariyatini pada 3 tahun terakhir yakni pada 2020 ada 54 kasus, tahun 2021 sebanyak 79 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 53 kasus menimpa anak, serta data terbaru tahun 2022 (hingga Agustus) adalah 72 kasus. Data itu terkumpul salah satunya berasal dari satgas atau Pos Pelayanan Terpadu (PPT) yang ada di kelurahan-kelurahan.

Untuk kasus  kekerasan terhadap perempuan dan anak paling banyak adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).  Pelaku KDRT biasanya orang dekat atau keluarga. Angka tertinggi kedua adalah kekerasan berbasis online. Kekerasan yang dilakukan berawal dari online lebih mengarah pada kekerasan seksual.

Data kekerasan terhadap perempuan dan anak juga bisa dibaca pada aplikasi SIMFONI yang dimiliki oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Namun menurut Siti Dariyatini, beberapa waktu terakhir, aplikasi sedang ada masalah.

Haryati Panca Putri mengutip data SIMFONI hingga Agustus di tahun 2022 di Surakarta hanya ada 17 kasus, yang jelas dipertanyakan validasinya sebab aplikasi saat ini sedang bermasalah. Di kabupaten Boyolali 28 kasus, Kabupaten Sukoharjo 44 kasus , dan Kabupaten Wonogiri sebanyak 21 kasus. Angka kekerasan secara nasional ada 14.000. Sedangkan data statistik Jateng 1.300 kasus. Haryati menyatakan bahwa meningkatnya kasus kekerasan ini sangat luar biasa.

Yayasan YAPHI sendiri pada tahun 2021 menangani 3 kasus, dan kasus KDRT yang berakhir dengan perceraian sebanyak 13 kasus, dan kekerasan seksual pada anak 1 kasus. Dan pada tahun 2022 hingga Agustus ini menangani kasus 3 anak. JIka di Surakarta saat ini ada 36 lembaga, jika dikumpulkan, seperti fenomena gunung es. Dalam.pendampingan kasus yang  pertama dilakukan adalah investigasi, pemetaan kebutuhan, berupa apa saja yang dibutuhkan korban. Juga akses hak korban berupa pembelaan, pendampingan psikologi, kesehatan, pendidikan, dan reintegrasi. Reintegrasi pada korban adalah bagaimana korban kembali dan dihargai.

Menjawab pertanyaan Arfin Muhammad, Host pada dialog interakif  terkait pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempan dan anak, Haryati mengatakan bahwa mayorias adalah karena alasan: ekonomi, budaya, sosial, keterbukaan informasi, dan hambatan komunikasi. Menariknya, fenomena kekerasan terhadap perempuan ini juga saat ini banyak dijumpai pada kasus Kekerasan dalam Pacaran (KDP).

Untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Yayasan YAPHI selama ini melakukan satu proses penguatan pada korban supaya peristiwa tidak terulang. Keberanian dari korban untuk berbicara dan menghubungi pengada layanan atau lembaga pendampingan hukum menjadi poin tersendiri karena hal itu artinya ada peningkatan kesadaran.

Saat ini sering djumpai masih adanya aparat penegak hukum dan masyarakat awam yang malah menyalahkan korban. Untuk itu Yayasan YAPHI melakukan pendidikan kepada masyarakat dalam upaya pencegahan di beberapa kecamatan di Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakara. YAPHI  juga lakukan sosialisasi bagaimana anak harus terlindungi  dengan melakukan kerja sama dengan dinas pendidikan.  Hal ini untuk mengantisipasi angka perkawinan anak dengan dispensasi yang juga cukup tinggi di Kota Surakarta. (Ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Ada suatu kebanggaan yang bisa dirasakan saat ini oleh para pegiat isu perempuan, anak dan disabilitas bahwa masyarakat sudah berani untuk berbicara (speak-up) . Di sisi lain, kondisi kerentanan yang terjadi pada perempuan, anak dan disabilitas yang sangat luar biasa  ini menjadi tantangan baru bagi para pegiat. Dengan menyelipkan isu disabilitas diharapkan bisa masuk sebagai upaya preventif atau pencegahan dan program membangun kesadaran.

Hal ini yang bisa menjadi gerak langkah bersama dan ada yang perlu direkomendasikan, termasuk ketika Majelis Hukum dan HAM (MHH) Aisyiyah dan Sigab mengadakan workshop strategi gerakan perempuan dan anak dengan disabilitas berhadapan dengan hukum yang berlangsung di Griya Solopos (23/7). MHH Asiyiyah menjadi pelopor dalam gerakan difabel berhadapan hukum sejak bertahun lalu bekerja sama dengan Sigab kemudian bersama MA, Kejaksaan Agung, Kapolri saat ini sedang menyusun kebijakan internal sesuai dengan amanat PP Nomor 39 Tahun 2020. Demikian dikatakan Purwanti atau biasa dipanggil Ipung sebagai pembuka workshop.Tujuan workshop adalah untuk mengorganisasi gerakan masyarakat sipil dalam isu-isu disabilitas lalu berkonsolidasi dalam gerakan ini dan memberikan rekomendasi. 

Purwanti menegaskan bahwa perempuan disabilitas dan miskin mengalami kerentanan mendapatkan kekerasan. Selain itu mereka juga memiliki kebutuhan khusus misalnya Tuli butuh JBI atau penerjemah bahasa dari keluarga yang dipahami oleh Tuli sendiri, netra butuh BAP ber-braille, difabel fisik pengguna kursi roda butuh akses kursi roda.

Siti Kasiyati, Ketua MHH Aisyiyah sendiri menyatakan peran lembaga Aisyiyah ada di pelayanan masyarakat selain pengajian juga layanan masyakarat sipil. Di hadapan para peserta yang terdiri dari pegiat Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Muslimat NU, Fatayat NU, Paguyuban Sehati, LKBHI UIN Raden Mas Said, Yayasan YAPHI dan para mahasiswa ia menyatakan bahwa isu disabilitas adalah isu bersama yang menjadi titik tolak perlu mengundang bersama. “Kami melayani tidak melihat bajunya. Kita non diskriminatif. Ini juga merupakan langkah awal yang strategis karena perubahan itu sangat cepat,”ujar Siti Kasiyati.

Kalau isu disabilitas digunakan untuk membangun perspektif penyandang disabilitas, maka akan baik sekali jika ini pun disosialisasikan di berbagai organisasi berbasis keagamaan masing-masing. Apalagii sudah terbit Fiqih Disabilitas yang menjadi standar kebijakan nasional.

“Rata-rata kami menangani 7 kasus sehari yang kami dampingi. Dan kami belum punya standar pelayanan dan masih bersifat umum meski sudah ada PP,” ungkap Siti. Maka menurutnya, dengan adanya standar atau alur penanganan dan bantuan hukum berdasar PP 39 tahun 2020 maka proses menuju keadilan akan terwujud. Di Aiyiyah ada BIKKSA/Bakesos/BSA, Rumah Sakinah, Majelis Kesehatan, Majelis Tabligh. Lembaga Kebudayaan, LLHPB dan Dikdasmen. Dan kerja sama dengan Sigab di tahun 2021 yakni dengan melakukan pemetaan persoalan, menyusun workplan, diskusi bersama dan mengundang para penulis untuk menuliskan pengalamannya. (Ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Aldi Hakim, Manajer Sektor DAOP Wilayah Yogyakarta-Surakarta PT KAI Commuter menyatakan permintaan maaf atas perlakuan petugas PT KAI kepada salah seorang penumpang yang terjadi pada 25 Juli. Di hadapan perwakilan komunitas difabel dan wartawan, pertemuan yang diadakan di Gedung Sekretariat Bersama Jl Damar Surakarta, Selasa (2/8) Aldi juga menyatakan bahwa pihaknya telah bertemu secara langsung dan meminta maaf secara khusus kepada Ilham, difabel warga Yogyakarta, calon penumpang KRL yang ditolak dan termuat dalam video yang viral di masyarakat. Pertemuan berlangsung pada hari Senin (1/8) dan difasilitasi oleh Triyono, pendiri Difa Bike.

Aldi berharap bahwa setelah bertemu dengan Ilham pada Senin (1/8) dan perwakilan komunitas difabel yang difasilitasi oleh Tim Advokasi Difabel (TAD) Kota Surakarta, pihaknya jadi lebih peduli dan akan meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat difabel. Ia mengakui bahwa kesalahan terletak kepada kurangnya pemahaman petugas KRL tentang kebutuhan difabel terkait dengan alat bantu yang digunakannya. Petugas tersebut tidak paham jika Ilham memiliki alat bantu berupa kursi roda modifikasi roda tiga dengan mengoptimalkan gerakan kaki sebab kedua tangannya tidak bisa mengayuh karena kondisi cerebral palsy, sehingga ketika ada tawaran untuk berganti alat bantu kursi roda yang disediakan oleh PT KAI, Ilham menolak.

Aldi menambahkan bahwa pihaknya meminta saran dan masukan terkait pengetahuan beberapa macam bentuk kursi roda dan apakah ada standar acuan dan jenisnya seperti apa, panduannya seperti apa. Dan jika ada pedomannya pihaknya butuh sehingga petugas yakin dan akan dijadikan bahan edukasi kepada petugas KRL. Termasuk mengetahui berbagai macam ragam disabilitas.

Pertemuan yang juga dihadiri oleh berbagai perwakilan organisasi difabel di Surakarta juga memberikan berbagai catatan masukan seperti bahwa masih dibutuhkan beberapa sarana aksesibilitas bagi Tuli seperti penanda berupa LED atau teks berjalan setiap kereta turun di stasiun. Sebab penanda yang sudah ada hanya suara (voice) yang tentu tidak akses bagi Tuli. Sedangkan untuk mereka menghafalkan satu per satu bentuk gedung stasiun yang dilewati selama perjalanan, ada yang mampu menghafal dan ada yang tidak. Masukan juga datang dari perwakilan difabel mental psikososial yang mengharapkan para petugas PT KAI memiliki kepedulian terhadap difabel mental psikososial yang secara visibilitas, mereka  tidak terlihat/tampak kedisabilitasannya. kepedulian itu untuk mengantisipasi apabila mereka mengalami anxietas/kecemasan atau relaps/kekambuhan saat naik kereta.

Sri Sudarti, Ketua Pengurus Harian (PH) TAD sebagai fasilitator pertemuan menyatakan bahwa dengan duduk bersama antara komunitas difabel dengan PT KAI  kejadian seperti ini jangan sampai terulang lagi. “Saya tekankan dan tegaskan PT KAI wajib punya SOP dalam melayani difabel berkursi roda termasuk modifikasi. PT KAI tidak boleh menolak difabel dengan alat bantu yang melekat pada tubuhnya. Untuk teman difabel kita wajib tahu mencari tahu naik KRL SOP-nya seperti apa termasuk kursi roda memungkinkan tidak untuk naik kereta api,” pungkasnya. Ia juga berharap ke depan ke depan para petugas perlu diberi pelatihan sensitivitas disabilitas. (Ast)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Jaringan Layanan Perempuan, Anak, Disabilitas Korban Kekerasan Sukoharjo (JLPAK2S) menggelar workshop sehari bertema membangun perspektif penanganan dan pemberian layanan korban kekerasan pada Jumat di Hotel Brothers, Solo Baru (22/7). Penyelenggaraan workshop didukung oleh Paguyuban Sehati bersama Disability Right Fund (DRF) serta mendatangkan tiga narasumber dengan fasilitator Vera Kartika Giantari. Dalam kata pembukanya, Haryati Panca Putri, Direktur Yayasan YAPHI menyatakan bahwa tujuan workshop adalah untuk menyamakan persepsi pada lembaga pemberi layanan serta membangun sinergitas bersama.JLPAK2S terdiri dari berbagai organisasi masyarakat, organisasi berbasis keagamaan, profesi dan organisasi disabilitas yakni : Paguyuban Sehati, Yayasan YAPHI, SPEKHAM, Yayasan KAKAK, Fatayat NU, MHH Aisyiyah, Peradi dan Forum Anak.

Isti Ilma Patriani narasumber dari DP3AKB Provinsi Jateng menyatakan bahwa Jawa Tengah mendapat predikat Provinsi Layak Anak dan dari 35 kota/kabupaten hanya 4 kabupaten yang non predikat. Pihaknya merasa belum melakukan apa apa terutama perempuan dan anak disabilitas, maka perlu dilakukan percepatan dan perlindungan kepada anak dan perempuan disabilitas. Salah satunya dengan membangun sinergitas, membedah kendala, mengidentifikasi kasus kemudian mencari solusi.

Ilma mengutip arahan Presiden di tahun 2022 kepada Kementerian PPPA yakni dengan 1. Peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan. 2. Peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak. 3. Penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak. 4. Penurunan pekerja anak. 5. Pencegahan perkawinan anak. Ilma juga menyampaikan bahwa di Jateng ada gerakan “Jo Kawin Bocah.” 

Sementara itu terkait produk hukum Jateng telah memiliki Perda nomor 2 th 2021, Pergub Nomor 22 Tahun 2021, Perda Nomor 4 Tahun 2022, Perda Nomor 21 Tahun 2021, Pergub Nomor 33 Tahun 2021. Peraturan-peraturan tersebut dibuat dengan melalui proses melakukan diskusi-diskusi terfokus yang tidak hanya berbahan referensi berupa dokumen saja tetapi menyerap informasi dari para tokoh kunci. Dan proses tersebut dilakukan berkali-kali. Kaitannya dengan hak penyandang disabilitas ada payung hukum di Pergub 11 tahun 2017, tentang Peraturan Pelaksana Perda Provinsi Jateng nomor 11 tahun 2014.

Strategi perlindungan menggunakan slogan Cekatan (cepat, akurat,komprehensif,integratif) dan kendala yang dialami adalah masih ada egosektoral. “Perlu upaya integratif, dan koordinasi para jejaring. Yang perlu diubah, mindset, strategi di pencegahan upaya kelompok rentan, kolaborasi. UUPA di Pasal 59, masuk kelompok rentan : anak disabilitas,” terang Ilma. (Ast)