Kekerasan Seksual Terhadap Anak dan Disabilitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Masriany Sihite, dari Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala dihadirkan menjadi narasumber pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) dengan tema kekerasan seksual terhadap anak dan disabilitas pada awal Juli lalu. Ia menyatakan bahwa bagi banyak perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual, pelecehan ini dimulai pada masa kanak-kanak dan cenderung berkelanjutan. Lebih dari separuh perempuan dengan disabilitas menjadi penyintas kekerasan seksual selama hidup mereka.

Masriany menyebut faktor-faktor penyebab kerentanan anak dengan disabilitas antara lain : 1. Ketidakmampuan untuk menghindar atau berlari ketika ada ancaman karena hambatan fisik dan komunikasi, 2. Kesulitan untuk melaporkan karena ada hambatan komunikasi. 3. Kebutuhan/ketergantungan pada bantuan untuk perawatan pribadi/pengasuh. 4. Keinginan untuk bisa diterima/disukai banyak orang (sering merasa tertolak), 5. Anak-anak penyandang disabilitas sering ditinggalkan di rumah, sementara orangtua mereka pergi bekerja dan saudara-saudara mereka bersekolah. Mereka lebih rentan karena mereka terisolasi dan dikucilkan dari komunitas mereka yang lain. 6. Kurangnya pendidikan tentang seksualitas yang sehat dan pencegahan pelecehan seksual.

Selama ini Yayasan Dwituna Rawinala melayani pendidikan dan pengasuhan (asrama) bagi anak-anak tunanetra majemuk dengan hambatan utama pada mata (total/low vision) diikuti dengan hambatan lain.

Masriany menambahkan paradigma yang dikembangkan berawal dari satu kata “Belief” seperti disebut dalam Yohanes 9: 3b, Jawab Yesus:”Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” Ia memaparkan peran penting orang di sekitar anak. Orang di sekitar anak menentukan akan seperti apa masa depan anak dan akan menjadi penyaksi utama pekerjaan Allah yang dinyatakan melalui kehadiran anak.

Ia menguraikan nilai-nilai lembaganya antara lain : Nilai-nilai : Penuh kasih, kekeluargaan, kesabaran, keterbukaan, kejujuran. Penuh kasih : Kasih menjadi dasar utama penyelenggaraan layanan Rawinala, (melindungi, merawat dan mendidik anak dengan kasih). Kekeluargaan : Kultur/suasana kekeluargaan menjadi kultur yang diciptakan dalam lembaga. Kesabaran : Layanan bagi anak-anak MDVI memerlukan kesabaran. Kesabaran (wait and see) menjadi salah satu prinsip dalam layanan pendidikan bagi anak-anak Multi Disability with Visual Impairment (MDVI). Keterbukaan : Raniwala terbuka terhadap anak/penerima layanan dan pekerja dari berbagai latar belakang agama, suku, ras, terbuka terhadap berbagai latar belakang ekonomi dan sosial. Kejujuran : Layanan Rawinala diselenggarakan dengan kejujuran (kredibilitas) dengan mengirimkan laporan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak yang seharusnya menerima laporan pertanggungjawaban.

Child Protection Policy (Kebijakan Perlindungan Anak) : Dokumen kebijakan yang merupakan komitmen lembaga untuk melindungi anak terhadap segala tindak kekerasan seksual. Dokumen ini disusun dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lembaga. Sedangkan pihak-pihak yang mematuhi : Seluruh Pengurus dan staf yang bekerja di Yayasan Rawinala, orangtua dan keluarga, Anak didik/anak asuh, relawan di Rawinala, pihak yang magang atau praktik kuliah kerja di Rawinala, konsultan yang bekerja untuk Rawinala, mitra kerja Rawinala, seluruh pegawai pemerintahan yang kontak dengan Rawinala, seluruh tamu dan para pengunjung termasuk para jurnalis dan donatur Rawinala.

Yayasan Dwituna Raniwala juga menetapkan Kode Etik dengan mencantumkan sampai ke detail-detailnya apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap anak. Termasuk sistem pengawasan yang diberlakukan. Contoh yang Tidak Boleh: -membelai, mencium, memeluk, menyentuh, memegang, meraba dengan cara yang tidak wajar sesuai dengan prinsip pembelajaran dan konteks budaya, mengintip anak ketika mandi dan berpakaian, pendamping/guru laki-laki memandikan anak perempuan, menunjukkan foto atau mempertontonkan/memperdengarkan video yang berbau porno.

Terkait penanganan kasus kekerasan seksual, lembaga memiliki alur dalam sistem pelaporan dengan memperhatikan relasi-kuasa yang mungkin memengaruhi proses menelusuri ketika ada laporan dan ketika harus memberi sanksi kepada pelaku. Termasuk jika harus sanksi pidana. Juga memiliki program pemanfaatan teknologi (CCTC) pendidikan seks bagi anak dengan materi dan metode disesuaikan kondisi anak dan materinya menyatu dalam kurikulum fungsional (Merupakan kombinasi dari 4 Area Kehidupan : to live, to love, to play, to work).

Apa Saja yang Harus Dilakukan Ketika Terjadi Kekerasan Seksual Pada Anak Disabilitas

Narasumber lain, Rainy Hutabarat, Komisioner pada Komnas perempuan memberikan paparan terkait bila kekerasan seksual terjadi pada anak maka apa saja yang harus dilakukan adalah : bersikap tenang dan hindari marah pada anak, yakinkan anak untuk terbuka dan bercerita serta pastikan kekerasan seksual telah terjadi. Jadilah sahabat anak, mengamankan alat bukti, mencari ruang aman untuk anak jika pelaku serumah untuk menghina trauma dan ketakutan, melapor ke lembaga layanan, polisi, dan mengupayakan pemulihan psikis, mengajukan pendampingan dalam penaganan kasus (pendampingan hukum pendamping kebutuhan khusus anak disabilitas).

Ia juga memaparkan jenis-jenis kekerasan Seksual Terhadap Anak: pemerkosaan, inses, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pencabulan (menyentuh area intim atau kemaluan, meminta anak memegang alat kelamin pelaku, mencium anak secara tak wajar dll), Pornografi (mengajak anak menonton film porno, meminta anak berpose wajar untuk direkam dengan video/foto, memperlihatkan gambar-gambar porno), perundungan bernuansa seksual, pelukaan dan pemotongan genitalia anak perempuan, pemaksaan kontrasepsi pada anak perempuan disabilitras, aborsi paksa pada anak perempuan disabilitas.

Menurutnya, anak bebas dari kekerasan dan perlindungan anak memiliki landasan hukum : UUPA dan  Hak Anak. Negara, pemerintah dan pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orangtua  atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Pemerintah, pemda, masyarakat dan orangtua wajib melindungi anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak (UU PA Pasal 45 butir (1).

Hak Anak untuk bebas dari kekerasan seksual tertuang dalam UUD RI pasal 28b ayat (2) : hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (lih.UU Perlindungan Anak). UU Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1a): Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain. Pasal 15 butir (d) setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari “pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, (10”kejahatan seksual”. Pasal 26 butir c tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Keluarga: “mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak”. Pasal 54 ayat (1): “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Lalu bagaimana dengan perlindungan khusus? Disebutkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak pada Pasal 59 : untuk 15 anak dalam situasi khusus di antaranya anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau psikis. Anak korban kejahatan seksual, anak penyandang disabilitas. Bentuk-bentuk perlindungan khusus terkait kekerasan seksual di antaranya: pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan. UU no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS). (Astuti)