Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Buku ini merupakan terjemahan dari naskah asli  Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (Verso, 1983), Penulis: Benedict R. O’Gorman Anderson •Penerjemah: Omi Intan Naomi •Penerbit: Pustaka Pelajar dan INSISTPress •Edisi: I, Agustus 1999 •Kolasi: 16x24cm; xxxvii + 300 halaman.

Merupakan sebuah buku klasik yang menjelaskan hal-ihwal persebaran nasionalisme di dunia. Buku itu tak hanya mendedah sumber-sumber yang kompleks, tapi juga nyaris menjelaskan semua bagaimana ide nasionalisme itu menyebar dalam kereta cepat bernama revolusi cetak (print revolution).

Nasionalisme

Nasionalisme adalah fenomena yang diterima sebagai norma umum pembentukan negara pada abad 20. Kini kita mengenal citizenship sebagai sinonim nationality, padahal di masa lalu bangsa (natie, nation) tidak dikenal dalam pembentukan negara. Para cendekiawan seperti Nairn dan Hobsbawn berusaha menjelaskan apa itu konsep kebangsaan dan nasionalisme bagaimana ia muncul, namun Anderson tidak puas dengan konsep yang mereka berikan maka ia pun menyajikan konsepnya mengenai “komunitas terbayang”.

Anderson tidak puas dengan pernyataan Renan bahwa bangsa itu memiliki kepunyaan bersama, dan melupakan hak milik bersama. Apa yang menjadi kepunyaan bersama itu? Ia menolak juga pernyataan Gellner bahwa nasionalisme membikin-bikin sebuah bangsa, membikin dalam artian bangsa adalah sesuatu yang palsu adanya, bukan suatu hal yang dibuat bersama oleh para individu anggotanya.

Ide pokok buku ini adalah bahwa nasionalisme bukan politic community melainkan imagined politic community. Benedict Anderson mengatakan bahwa bangsa atau nation adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka atau bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun, di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Bangsa adalah proyeksi atau proyek.

Hal ini menunjukkan bahwa kebersamaan, perasaan saling berhubungan dan elemen-elemen Nasionalisme lainnya sesungguhnya hanya berada dalam bayangan para anggotanya saja. Pengikat kebersamaannya bisa bermacam-macam, mulai dari sejarah, bahasa, letak geografis, posisi geopolitis dan hal-hal konkret lainnya.

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas karena bahkan bangsa-bangsa paling besar pun yang anggotanya mungkin menyentuh angka milyaran memiliki garis-garis perbatasan yang pasti meski elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia.

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang berdaulat lantaran konsep itu lahir dalam kurun waktu di mana era pencerahan dan revolusi memporak-porandakan keabsahan tanah dinasti berjenjang berkat penahbisan oleh Tuhan sendiri. Konsep itu beranjak matang di masa para pengikut paling setia dari agama universal pun dihadang kemajemukan agama-agama universal yang masih hidup dan harus menghadapi  masing-masing klaim keimanan ontologis serta bentang kewilayahannya yang terbatas. Maka dari itu, bangsa-bangsa bermimpi tentang kebebasan.

Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas. Sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia merenggut nyawa orang lain dan juga nyawa sendiri hanya demi pembayangan tentang yang terbatas itu.

Dalam buku Anderson menyajikan proses kesadaran nasional muncul melalui bantuan kapitalisme percetakan. Percetakan massal ini menjadi media pembentukan bahasa nasional yang bisa berasal dari bahasa administratif atau bahasa ibu. Ini berkebalikan dengan pendapat Renan bahwa bahasa bukanlah basis bagi pembentukan bangsa.

Dengan berbekal sejarah berbagai bangsa, ia menunjukkan bagaimana para warga kolonial Amerika (yang ia sebut sebagai “perintis kreol”) adalah yang pertama kali memperjuangkan kesadaran nasional untuk memisahkan diri dari induk kolonialnya. Secara etnisitas dan kebudayaan 13 koloni Amerika adalah Inggris, namun mereka memutus hubungan dengan London dan menyatakan diri sebagai bangsa berdaulat. Namun dengan kekuatan percetakan koran, identitas nasional 13 koloni dikukuhkan sebagai bangsa Amerika.

Hanya berselang beberapa tahun dari revolusi Amerika para petit bourgeoisie di Prancis memperjuangkan kesadaran baru tentang bangsa Perancis yang berdaulat memimpin negerinya sendiri tanpa penguasa wangsa Bourbon. Pada abad-abad setelahnya model nasionalisme ini ditiru oleh bangsa-bangsa Eropa hingga akhirnya menjadi universal ditiru oleh bangsa-bangsa lainnya. Inilah uniknya bangsa sebagai komunitas terbayang. Mereka unik dengan embel-embel bahasa, sejarah, dan atributnya masing-masing namun pembentukan kesadaran nasionalnya memiliki cetakan mal (template) yang sama.

Keunikan para bangsa-bangsa namun dengan template nasionalisme yang universal ini memberikan Anderson kebebasan untuk membandingkan nasionalisme Inggris dan Jepang, Indonesia dan Swiss, Hungaria dan Finlandia, dan dengan cara serupa kita bisa mendapatkan banyak lagi perbandingan yang tak terbatas.

Pendapat Anderson bahwa bangsa bukanlah merupakan sesuatu yang real, hanya sesuatu yang terbayang tidaklah berarti Anderson tidak bersimpati terhadap sentimen nasionalisme. Ia membedakan dirinya dengan Gellner yang menggambarkan nasionalisme sebagai suatu fenomena yang dibuat-buat (seperti sesuatu yang palsu). Nasionalisme dan bangsa/nation memiliki nilainya sebab adanya individu-individu yang menganggap dirinya suatu komunitas. Dalam buku ini terlihat bagaimana Anderson menikmati dan mengagumi geliat sejarah masing-masing bangsa untuk menjadi sebuah nation.

 

Nasionalisme Indonesia dalam Bayangan Anderson

Anderson membuat model kemunculan nasionalisme dengan mengandalkan pengalaman historis berbagai bangsa, termasuk Indonesia. Dalam kasus Indonesia, tentu Indonesia tidak mengalami sejarah nasionalisme yang sama tuanya dengan Amerika maupun Eropa. Namun pernyataan Anderson bahwa model nasionalisme ada untuk ditiru bangsa-bangsa berlaku juga untuk Indonesia.

Penggunaan bahasa Melayu pasar telah cukup lama menghubungkan berbagai pulau dan etnis nusantara, jauh sebelum pengaruh Eropa muncul. Pemerintahan kolonial Belanda justru meneguhkan status bahasa Melayu ini menjadi bahasa resmi melalui dienst maleis. Kemudian usaha-usaha pemerintah kolonial untuk melakukan cacah jiwa, pemetaan, dan diseminasi simbol budaya begitu saja diambil oleh kelas melek huruf dan kapitalis cetak abad 20 sebagai emblem nasional.

Imagined Communities dan Sejarah

Bila kita hendak mengkritisi Anderson, mungkin kita bisa mengawalinya dari pilihannya bahwa nasionalisme kreol Amerika adalah nasionalisme pertama. Tak dapat dipungkiri bahwa konstitusi Amerika Serikat dibuat berdasarkan konstitusi Republik Belanda yang menolak kekuasaan wangsa Habsburg (Spanyol). Perhatian kepada komunitas-komunitas etno-religius seperti Albigensia juga seharusnya dapat diberikan untuk menjelaskan akar budaya nasionalisme, namun dengan tidak memberikan perhatian kepada komunitas itu Anderson menampilkan bahwa komunitas terbayang adalah sesuatu yang modern.

Bila kita melewatkan kritik tadi, model Anderson tentang komunitas yang terbayang ini amat berguna bagi sejarawan untuk memahami “tragedi-tragedi penyatuan bangsa yang gagal” seperti antara Kurdi dengan Turki. Saat ini kita masih mengalami ujian dalam ketidak-kongruenan perasaan sebangsa dari warga negara Indonesia di belahan barat negeri ini dengan perasaan orang Papua dan Timor-Timur yang memiliki pengalaman sejarah berbeda dan memandang hal ini dari sudut pandang yang berbeda.

Namun model Anderson bahwa model nasionalisme sejak pertama kali muncul kemudian diduplikasi dan diaku oleh berbagai bangsa bisa memikat sejarawan untuk melihat dari sudut generalisasi. Hal ini bisa menjerumuskan sejarawan untuk melupakan keunikan masing-masing bangsa yang seharusnya bisa menjadi nafas penulisan sejarah.

Kini konsep komunitas terbayang telah diterima secara luas. Meski ada banyak kritik yang dilontarkan terhadap konsep Anderson, namun kecenderungan terkini untuk menerima penjelasan & konsep Anderson tentang Imagined Communities ini disesalkan oleh Anderson sendiri.

Tinjauan Penulis

Menurut saya, setelah membaca dan mencoba menyimpulkan beberapa pemahaman yang terhampar di buku Ben Anderson ini, ada hubungan yang kuat antara nasionalisme, bahasa dan  perkembangan industri dan teknologi (baca : Kapitalisme). Sederhananya, muncul kecurigaan bahwa Nasionalisme yang dibentuk melalui  dominasi bahasa sesungguhnya adalah sebuah usaha untuk melanggengkan ataupun menguatkan praktik kapitalisme.

Berdasarkan refleksi atas pembacaan buku Imagined Communities tersebut, saya tertarik untuk menghubungkannya dengan kondisi Indonesia sekarang. Nasionalisme di Indonesia dibayangkan dengan sangat dangkal.

Alih-alih penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari, ciri nasionalisme hanya diperlihatkan dengan menggunakan kopiah dan baju batik.

Hal ini berimbas pada keraguan atas alasan bersatunya wilayah dan masyarakat Indonesia. Ketidakpuasan atas negara dan pemerintahan pun bermunculan di berbagai wilayah di Indonesia.

Apakah rakyat yang menamai dirinya  rakyat Indonesia dipersatukan atas dasar konsensus dan konsolidasi yang dilakukan di antara mereka? Atau apakah Indonesia ini adalah warisan kolonial? Dan kemudian dibiarkan tetap begini kondisinya agar bentuk-bentuk baru praktik kolonialisme tetap bisa tumbuh subur di negeri ini? (Adi C.Kristiyanto)

 

Referensi :

1. Benedict R. O’Gorman Anderson, 1999, Komunitas-Komunitas Imajiner : Renungan Atas Asal-usul dan Penyebaran Nasionalisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan INSISTPress.

2. https://insistpress.com/2015/03/15/memahami-imagined-communities-benedict-anderson/

3. https://menganga.wordpress.com/2017/11/13/imagined-communities-komunitas-komunitas-terbayang-benedict-anderson/