Gerakan Masyarakat Sipil yang Kuat Bisa Untuk Mengontrol Kebijakan Pemerintah

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada suatu kebanggaan yang bisa dirasakan saat ini oleh para pegiat isu perempuan, anak dan disabilitas bahwa masyarakat sudah berani untuk berbicara (speak-up) . Di sisi lain, kondisi kerentanan yang terjadi pada perempuan, anak dan disabilitas yang sangat luar biasa  ini menjadi tantangan baru bagi para pegiat. Dengan menyelipkan isu disabilitas diharapkan bisa masuk sebagai upaya preventif atau pencegahan dan program membangun kesadaran.

Hal ini yang bisa menjadi gerak langkah bersama dan ada yang perlu direkomendasikan, termasuk ketika Majelis Hukum dan HAM (MHH) Aisyiyah dan Sigab mengadakan workshop strategi gerakan perempuan dan anak dengan disabilitas berhadapan dengan hukum yang berlangsung di Griya Solopos (23/7). MHH Asiyiyah menjadi pelopor dalam gerakan difabel berhadapan hukum sejak bertahun lalu bekerja sama dengan Sigab kemudian bersama MA, Kejaksaan Agung, Kapolri saat ini sedang menyusun kebijakan internal sesuai dengan amanat PP Nomor 39 Tahun 2020. Demikian dikatakan Purwanti atau biasa dipanggil Ipung sebagai pembuka workshop.Tujuan workshop adalah untuk mengorganisasi gerakan masyarakat sipil dalam isu-isu disabilitas lalu berkonsolidasi dalam gerakan ini dan memberikan rekomendasi. 

Purwanti menegaskan bahwa perempuan disabilitas dan miskin mengalami kerentanan mendapatkan kekerasan. Selain itu mereka juga memiliki kebutuhan khusus misalnya Tuli butuh JBI atau penerjemah bahasa dari keluarga yang dipahami oleh Tuli sendiri, netra butuh BAP ber-braille, difabel fisik pengguna kursi roda butuh akses kursi roda.

Siti Kasiyati, Ketua MHH Aisyiyah sendiri menyatakan peran lembaga Aisyiyah ada di pelayanan masyarakat selain pengajian juga layanan masyakarat sipil. Di hadapan para peserta yang terdiri dari pegiat Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Muslimat NU, Fatayat NU, Paguyuban Sehati, LKBHI UIN Raden Mas Said, Yayasan YAPHI dan para mahasiswa ia menyatakan bahwa isu disabilitas adalah isu bersama yang menjadi titik tolak perlu mengundang bersama. “Kami melayani tidak melihat bajunya. Kita non diskriminatif. Ini juga merupakan langkah awal yang strategis karena perubahan itu sangat cepat,”ujar Siti Kasiyati.

Kalau isu disabilitas digunakan untuk membangun perspektif penyandang disabilitas, maka akan baik sekali jika ini pun disosialisasikan di berbagai organisasi berbasis keagamaan masing-masing. Apalagii sudah terbit Fiqih Disabilitas yang menjadi standar kebijakan nasional.

“Rata-rata kami menangani 7 kasus sehari yang kami dampingi. Dan kami belum punya standar pelayanan dan masih bersifat umum meski sudah ada PP,” ungkap Siti. Maka menurutnya, dengan adanya standar atau alur penanganan dan bantuan hukum berdasar PP 39 tahun 2020 maka proses menuju keadilan akan terwujud. Di Aiyiyah ada BIKKSA/Bakesos/BSA, Rumah Sakinah, Majelis Kesehatan, Majelis Tabligh. Lembaga Kebudayaan, LLHPB dan Dikdasmen. Dan kerja sama dengan Sigab di tahun 2021 yakni dengan melakukan pemetaan persoalan, menyusun workplan, diskusi bersama dan mengundang para penulis untuk menuliskan pengalamannya. (Ast)