Banyak PR Membangun Kesadaran dan Kepekaan dalam Disabillitas Berhadapan dengan Hukum

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Purwanti atau biasa dipanggil Ipung menyatakan bahwa akses keadilan hukum bagi perempuan, anak dan disabilitas, gerakan-gerakan kecilnya melalui pendampingan diibaratkan sebagai laboratorium. Boleh dikata jauh dari konteks disabilitas sehingga pendampingannya secara akrobat. Oleh sebab itu Sigab bekerja sama MHH Aisyiyah melakukan advokasi-advokasi kebijakan.

Tahun 2016 lahirlah Undang-Undang nomor 8 tentang Penyandang Disabilitas yang menjadi pilar pertama mainstreaming anak perempuan disabilitas yang berhadapan hukum. Ini merupakan pilar yang kuat untuk gerakan advokasi disabilitas berhadapan dengan hukum. Demikian paparan Purwanti dalam seminar nasional yang dihelat secara hybrid oleh MHH Aisyiyah bekerja sama dengan Sigab Indonesia bertema perempuan dan anak dengan penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum di Auditorium Moh. Djazman, UMS (14/7).  

Purwanti juga menyinggung bagaimana para pegiat yang bergerak di akar rumput/ grassroot yang merawat umat, bagian yang dirawat adalah perempuan, anak dan disabilitas. Ia berharap hal tersebut mewarnai, karena ini hal penting untuk memiliki konsep dasar hubungan pegiat isu HAM disabilitas dengan komunitas. Purwanti mengaku butuh pengambil keputusan/decision making untuk perlindungan dari risiko, baik kekerasan seksual, non fisik, penelantaran dalam keluarga, bagi anak dan perempuan disabilitas. “Semakin tinggi disabilitas kami semakin rentan, kami mendapatkan kekerasan. Kami yang disabilitas dengan kondisi disabilitas sudah meningkatkan risiko dari kekerasan fisik, non fisik dan struktural. Mari kita berjejaring bersama bagi kawan-kawan rentan. Perempuan disabilitas, anak disabilitas, masyarakat adat, miskin dan masyarakat lainnya,”terang Purwanti. 

Narasumber lain, Bahrul Fuad, Komisioner pada Komnas Perempuan menyatakan bahwa perempuan disabilitas mengalami kerentanan berlapis dalam kekerasan seksual dan juga rentan mengalami kriminalisasi. Kerentanan perempuan disabilitas dan berbasis gender disebabkan lima faktor yakni rendahnya literasi perempuan dan anak terkait kekerasan berbasis gender dan rendahnya pengetahuan mereka terkait kespro. Mereka tidak tahu melapor dan harus minta tolong pada siapa sehingga mengalami berulangkali. Juga terkait fasilitas dan layanan hukum belum aksesibel dan memenuhi kebutuhan khusus.

Bahrul menambahkan kepekaan APH dan penyedia layanan terkait pengadilan perempuan disabilitas masih rendah. Bahkan perempuan disabilitas mental dan intelektual dianggap tidak valid bukti bahwa belum terbangun sistem hukum yang advokatif bagi perempuan dan anak disabilitas. Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 dan PP Nomor 39 Tahun 2020 serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan langkah pembuka yang baik. “Banyak PR harus tuntas membangun kesadaran dan kepekaan dalam disabilitas berhadapan dengan hukum. Bagaimana aturan-aturan lebih implementatif di kalangan sehingga menjamin perempuan dan disabilitas,” pungkas Bahrul Fuad. (Ast)