Forum Merawat Ingatan Mei 98 : Belajar dari Peristiwa Masa Lalu

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Sebuah forum untuk mengenang tragedi Mei 98 sebagai peristiwa penanda memutusnya politik otoriter 32 tahun orde baru menyelenggarakan pertemuan secara virtual, Kamis (20/5). Akhmad Ramdhon,  pemrakarsa forum menyatakan bahwa acara pertemuan menjadi momen untuk belajar memahami, dan merawat ingatan 14-15 Mei 1998. Ia menambahkan bahwa momen ini selain untuk belajar merawat ingatan Mei, sekaligus merawat kemanusiaan. Agar generasi yang pernah mengalami dan generasi di bawahnya tahu bahwa ada problem kemanusiaan yang berat pernah terjadi. Melupakannya merupakan tindakan tidak bijak.

Laurensia Liona, generasi ke-6 Roti Ganep berkisah saat peristiwa terjadi ia berusia lima tahun. Ia memperlihatkan  memorabilia yakni sepasang sandal terbakar. Dari cerita ibunya, hari ke tiga setelah peristiwa Mei 98 keluarganya sudah bangkit untuk memproduksi kembali roti dengan bahan-bahan seadanya dan laris. Ia mengalami sedikit trauma, ketika ada aroma terbakar dan suara keras seperti orang huru-hara. Keluarga Liona tidak melihat dari satu sisi saja peristiwa tragedi Mei 98 , namun juga melihat bahwa peristiwa tersebut ada yang menunggangi. Sesudahnya toko kembali dibangun. Liona menceritakan bagaimana sang ayah merasa kecewa saat ikan-ikan koi koleksinya mati.  “Saya dididik jangan hanya melihat dari satu sisi. Di masa kini jika tidak merawat kebhinnekaan maka akan ada ketidakharmonisan di masa depan sekaligus menimbulkan trauma bagi yang pernah mengalami peristiwa di masa lalu,”ungkapnya.

Elizabeth Yulianti Raharjo, narasumber dari Yayasan Spekham memberi pernyataan bahwa salah satu cara merawat ingatan Mei 98, Spekham didukung  Komnas Perempuan membuat video dan peta situs tragedi Mei 98. Saat peristiwa terjadi perempuan yang biasa dipanggil Liza tersebut sedang tidak di Solo, namun mendengar dari teman bahwa banyak sekali peristiwa kekerasan terhadap perempuan. Spekham mendampingi para perempuan korban. Menghubungkan dengan isu gerakan perempuan, ia berharap RUU-PKS agar bisa segera disahkan. “Masih banyak PR yang harus dikerjakan. Supaya tidak terjadi lagi kekerasan terhadap perempuan harus membangun kesadaran bersama bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan kemanusiaan. Kita tidak boleh menyangkal bahwa pernah ada peristiwa 98 dan kekerasan terhadap perempuan khususnya keturunan Tionghoa,” terang Liza.

Tragedi Kerusuhan Mei 98 merupakan peristiwa besar yang harus dibayar mahal. Banyak terjadi perkosaan, dan bukan hal mudah untuk mencari data. Banyak peristiwa penculikan, masih ada 14 yang belum ditemukan, 3 diantaranya dari Solo. Harus dibayar mahal, bukan hanya soal nyawa, namun juga soal wajah demokrasi 23 tahun yang lalu. Demikian dikatakan Lilik Hastuti Setyowatiningsih, aktivis 98, dalam forum virtual yang diikuti oleh 60 orang tersebut. Sejarah Mei 98 tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, di antaranya pelarangan beredarnya buku-buku karangan Pramudya Ananta Toer sehingga pada waktu lalu harus membaca secara diam-diam. Banyak peristiwa pembredelan media-media seperti Tempo, Detik dan sebagainya. “Kita harus membuka mata. Masing-masing punya tanggung jawab untuk terus merawat ingatan. Selain menolak lupa, coba kenali lebih dalam juga korban maupun keluarga korban bagaimana menjalani hidup. Kenapa soal HAM harus selalu diungkit? Agar tidak terjadi impunitas. Jangan sampai hidup ini seperti karpet, yang di luarnya terlihat bersih, namun saat dibuka ternyata banyak kotoran. Ternyata banyak luka yang tersimpan. Pelanggaran HAM harus diselesaikan, harus dan tanpa bosan diomongkan berkali-kali,”pungkas Lilik.

Novel Grafis Sebagai Wahana Merawat Ingatan Mei 98

Andi Setiawan, narasumber lainnya menyatakan bahwa saat ini dirinya memiliki rencana dan sedang berproses melakukan pendokumentasian peristiwa Mei 98 dalam bentuk visualisasi berupa novel grafis. Alasan ia berkarya sebagai upaya menyampaikan cerita yang bertema kompleks serta rumit dengan cara lebih mudah. Selain itu, novel grafis ini menarik untuk diakses, lebih mudah dalam penyelesaiannya serta lebih kuat dalam menjaga ingatan. Ia juga berharap karyanya mampu menumbuhkan empati.

Andi mencontohkan karya-karya novel grafis yang sudah terbit di Indonesia dan memiliki tema-tema tentang HAM seperti Genosida 65, Djinah ’65, dan Jakarta 2039. Ia menambahkan bahwa project ini merupakan kolaborasi antara warga, seniman, konsultan dan desainer yang memiliki tahapan-tahapan perumusan, perancangan, pemodelan, dan penerapan dengan metode wawancara, diskusi, workshop dan studi literatur. (Yosi Krisharyawan/Astuti)