Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Tantangan Komisi Nasional Disabilitas  (KND)  sangat luar biasa dalam penanganan kasus yang melibatkan perempuan difabel sebagai korban kekerasan seksual. Konteks ini bertentangan dengan batin dan berkaitan tugas dan fungsi KND sebagai lembaga yang seharusnya memantau, memenuhi serta memberi perlindungan  dalam pemenuhan HAM perempuan difabel. Perempuan dengan disabilitas dan anak dengan disabilitas, kerentanannya bertambah dengan beberapa hal yang sering didengar melalui media. Konteks kekerasan seksual pada perempuan dan anak dengan disabilitas lebih kejam dari melanggar aspek kemanusiaan. Demikian dikatakan Jonna Aman Damanik, komisioner KND pada konferensi satu tahun disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Anis Hidayah dalam konferensi satu tahun UU TPKS dan penandatanganan bersama antar Lembaga Negara Hak Asasi Manusia yakni Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komite Nasional Disabilitas dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia beberapa waktu lalu menyatakan bahwa untuk merefleksikan setahun Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) kesannya masih sangat pendek. Namun kalau bicara  apa yang  bisa dicapai kaitannya tidak hanya  cukup akan tetapi panjang. Lalu apa yang bisa direfleksikan?


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Pada siaran Ruang Publik KBR bersama Naomi tentang Kurikulum Merdeka yang rencananya akan dijadikan kurikulum nasional oleh pemerintah di tahun depan yakni 2024, dikatakan bahwa Menteri Pendidikan Nadiem Makarim yakin bahwa dengan Kurikulum Merdeka, guru bisa lebih berinovasi dan bebas tidak terikat lagi dengan aturan yang kaku. Namun di sisi lain, infrastruktur dan juga kualitas guru masih jauh dari kata siap.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia didukung Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) melalui the Internews Network akan melangsungkan acara penutupan peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada Senin, 29 Mei 2023. Diskusi publik bertajuk "Melindungi Jurnalis Independen Menjelang Pemilu" ini melibatkan jurnalis dan praktisi media, perwakilan pemerintah, perwakilan koalisi sipil, anggota legislatif, diplomat dan perwakilan organisasi/lembaga internasional.

Kegiatan yang berlangsung secara hybrid ini digelar setelah rentetan perayaan di 25 kota menandai Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day WPFD 2023) yang bertepatan dengan 25 Tahun Reformasi di Indonesia.

Tumbangnya pemerintahan otoriter Orde Baru yang dipimpin Soeharto pada 1998 silam menandai dimulainya demokrasi di Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Pers yang disahkan pada 1999, merupakan regulasi penting untuk menjamin pengakuan serta perlindungan hak asasi manusia, termasuk kebebasan pers.

Sayangnya, demokrasi di Indonesia kini justru menunjukkan gejala-gejala kemunduran. Sejumlah peraturan yang telah ditetapkan berpotensi mengganjal kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Satu di antaranya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang memuat pasal-pasal bermasalah. Sejak UU ITE lahir pada 2008 dan direvisi pada 2016, sedikitnya 38 jurnalis dilaporkan menggunakan pasal-pasal problematik.

Indikator lain, serangan terhadap jurnalis maupun organisasi media independen nyatanya berulang dan masih terus terjadi. Sepanjang 2022, AJI Indonesia mencatat 61 kasus dengan 97 jurnalis menjadi korban dan 14 organisasi media menjadi target serangan.

Sementara pada 2023 ini, dalam empat bulan pertama saja, AJI telah menerima 34 laporan kasus kekerasan. Jumlah yang meningkat dua kali lipat lebih dibanding periode yang sama pada 2022, sebanyak 15 kasus.

Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim mengatakan, Reporters Without Borders (RSF) memang mencatat peringkat Indeks Kebebasan Pers Indonesia pada 2023 tampaknya membaik sembilan tingkat. Yakni yang semula 117 menjadi peringkat 108, dari total 180 negara.

 "Tapi skornya tidak banyak mengalami perubahan dari skor 49,27 menjadi 54,83. Ini artinya Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan tingkat kebebasan pers yang sulit," kata Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito mengingatkan.

 "Karena itu, kenaikan tingkat ini tidak dapat diartikan iklim kebebasan pers Indonesia semakin baik. Dan perjuangan untuk kemerdekaan pers harus terus dilanjutkan oleh semua pemangku kepentingan," lanjut Sasmito melalui keterangan tertulis, 29 Mei 2023.

 "Amerika Serikat dan Indonesia bersatu dalam keyakinan bahwa pers yang bebas dan independen sangat penting bagi keberlangsungan demokrasi yang sehat," tegas Erin Nicholson, USAID Indonesia Deputy Mission Director. "Kami berharap dapat terus bekerja sama untuk melindungi dan mendorong kebebasan pers, sehingga jurnalis dapat terus memainkan peran penting mereka dalam membangun masyarakat yang terbuka, mendorong kekuasaaan untuk akuntabel, dan mempromosikan tata kelola pemerintahan demokratis yang melayani semua warga negara."

Perayaan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang bertepatan dengan peringatan 25 tahun reformasi di Indonesia bisa dijadikan momentum berefleksi sekaligus menyusun strategi untuk menjawab beragam tantangan di atas. Ikhtiar merawat dan memperjuangkan kemerdekaan pers penting dipikul bersama-sama. Sebab kebebasan pers merupakan aspek penting kebebasan berekspresi--sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Kebebasan pers berperan penting dalam memastikan penegakan hak asasi manusia secara menyeluruh di Indonesia. Pers yang merdeka dan independen akan memungkinkan publik leluasa mencari ataupun mendapatkan informasi secara akurat, menyebarluaskan gagasan melalui medium apapun dan, mendiskusikan secara kritis.

Pers yang merdeka dan independen akan menuntun publik mendapatkan informasi yang faktual juga akurat. Dengan begitu publik dapat membuat keputusan secara tepat. Terlebih dengan pelbagai tantangan mulai dari krisis iklim, ketimpangan ekonomi, korupsi, polarisasi politik, kekerasan berbasis gender, penindasan terhadap kelompok marginal, dan maraknya penyebaran disinformasi.

Keberadaan pers yang merdeka juga diyakini menjadi pondasi terciptanya masyarakat yang demokratis. Itu mengapa pula, penting untuk memastikan perlindungan dan keselamatan jurnalis demi tetap terwujudnya kemerdekaan pers.

Mengingat kompleksitas situasi tersebut, Indonesia berkewajiban memperluas upaya dengan memberikan perlindungan holistik atau menyeluruh kepada jurnalis indepensi. Jaminan perlindungan meliputi langkah-langkah pencegahan, mekanisme respons cepat, dana keselamatan, bantuan hukum dan praktik penegakan hukum yang kuat.