Pentingnya Modul dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Tiga dari sepuluh anak laki-laki, dan empat dari sepuluh anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Ini sangat menyedihkan dan penting untuk mengakhiri kekerasan ini. Hal yang kemudian menjadi urgensi bagi semua orang dan beberapa pihak terlebih Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Himpunan Psikolog Indonesia (HMPSI) Wahana Visi Indonesia (WVI).

Berlatarbelakang hal tersebut kemudian dibuatlah riset dan memunculkan dua modul dalam upaya pencegahan kekerasan seksual untuk anak berjudul "Anak Siap dan Tidak Takut", dan bagi orangtua "Menjadi Orang Tua Kekinian."

Dalam kegiatan peluncuran yang diselenggarakan secara daring pada Minggu ketiga bulan Mei 2023 ini terdapat beberarapa pertanyaan dari peserta di antaranya apakah jika seseorang melakukan tindak kekerasan seksual berarti menunjukkan minimnya pendidikan moral orang tersebut kepada masyarakat? Pertanyaan dijawab oleh Prof. Dr. Juneman Abraham, bahwa di dalam research ditemukan orang tua yang menempatkan nilai moral dan kesucian, sedangkan anak menempatkan nilai moral dan keadilan. Sehingga nilai moral seperti pedang bermata dua.

Hal positif dari nilai moral ini apabila terjadi kekerasan seksual pada korban, maka akan lebih cepat untuk meminta pertanggungjawaban kepada pelaku. Sedangkan untuk hal negatif dari nilai moral ini adalah akan membenarkan kekerasan seksual jika terjadi kepada korban yang dinilai secara sepihak dan subjektif memiliki tingkah laku buruk, seperti “ya memang pantas kalau dia menjadi korban kekerasan seksual, soalnya dia pernah berbuat jahat kok”. Penilaian ini menghadirkan judge atau penghakiman dan stigma.

Kemudian Prof. Dr. Juneman Abraham menjelaskan bahwa ada juga namanya nilai kesucian yang menguntungkan dan mendukung bahwa tidak melakukan hubungan seksual di luar pernikahan yang mampu mengancam reputasi. Namun nilai kesucian juga bisa punya risiko menyalahkan korban dan hal ini sangat merugikan bagi korban. Jadi menurutnya menjadi pelaku kekerasan seksual bisa terjadi bila mereka defisit tentang nilai moral, nilai kesucian, dan juga nilai keadilan.

Terjadinya kekerasan seksual pada anak salah satunya diakibatkan oleh lingkungan yang kurang kondusif, misalnya saja bahwa anak-anak tidak diajarkan untuk melindungi dirinya dari hal-hal yang bersifat pribadi seperti memperkenalkan alat kelamin mereka dengan nama yang sesuai, bahwa alat kelamin itu harusnya tidak boleh dipegang sembarang orang dan mereka harus melindungi itu.

Pembicaraan mengenai alat kelamin dinilai sebagai hal pribadi dan dianggap sebagai hal tabu sehingga tidak dibicarakan. Anak- anak merasa enggan untuk bercerita mengenai hal tersebut karena takut kepada orang tua. Hal-hal tersebutlah yang kadang membuat korban tidak berani speak-up mengenai peristiwa kekerasan seksual dan memendamnya sendiri misalnya itu terjadi pada korban kekerasan seksual. Ketika ia tidak berani speak up maka akan tertanam dalam ingatan hingga besar dan mempengaruhi psikologisnya.

Modul yang dikeluarkan oleh KEMENPPPA, HIMPSI, dan WVI bisa dimanfaatkan oleh banyak orang untuk mengedukasi semua kalangan masyarakat agar ke depan lebih terbuka lagi dalam pencegahan kekerasan seksual dengan penyadaran kepada mereka agar tidak ada lagi kekerasan seksual pada anak dan tercapainya zero tolerance atas segala bentuk kekerasan. (Renny Talitha Chandra/ast)