Penanganan Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bisa diharapkan menjadi payung hukum yang komprehensif dan memastikan dapat memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak difabel sebagai korban. Namun begitu, pada layanan pengaduan, penjangkauan dan penampungan sementara (shelter/rumah aman) serta  layanan dasar lainnya. Dalam kesempatan webinar yang dihelat oleh Yayasan Sapda pada Kamis (16/3), Ratna Susianawati, Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan bahwa kementerian tidak bisa melakukan sendirian sehingga diperlukan sinergitas pusat dan daerah. Kementerian juga berharap setiap layanan berperspektif disabilitas hadir di setiap layanan oleh lembaga lainnya.

Ratna juga memastikan bahwa perlindungan dari berbagai macam kekerasan harus diminimalisir bahwa  Zero Violence bisa diwujudkan. Saat ini data masih menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk disabilitas masih sangat tinggi. Pada 2016, ditemukan bahwa 1 dari 3 perempuan mendapat kekerasan dalam hidupnya. Lalu mengalami penurunan 1 : 4 di tahun berikutnya. Menurutnya meskipun sudah ada berbagai regulasi dan kebijakan sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan, tetapi akses keadilan hukum dan pendidikan harus terus diupayakan.

Pada kesempatan yang sama, Nurul Saadah, Direktur Sapda menyatakan bahwa lembaganya menangani kasus perempuan dan anak difabel bekerja sama dengan Forum Pengada Layanan  (FPL), Woman Crisis Center (WCC), pengada layanan dari pemerintah serta  kerja sama Aparat Penegak Hukum (APH) serta profesi yang lain. Menurut Nurul,  banyak cerita atau kisah suka duka dalam proses penanganan tetapi jarang dipublikasikan. Dan setiap pihak mengambil peran sesuai kedisiplinan masing-masing karena Sapda  tidak bisa bekerja sendiri. "Kami sudah bersama dengan FPL mencoba menulis catahu. Kami punya komitmen luar biasa. Dan ini yang kami catat, apa yang sudah kami lakukan," pungkas Nurul.

 

Catatan Kekerasan yang Dialami oleh Perempuan dan Anak  Disabilitas

Mengutip pers rilis yang dikeluarkan oleh Sapda, dari 81 kasus kekerasan yang terlaporkan, sebagian besar terjadi kepada ragam disabilitas rungu-wicara sebanyak 31 kasus, kemudian ragam disabilitas intelektual 22 kasus serta ragam disabilitas mental 14 kasus. Sementara berdasarkan bentuk kekerasan, jenis kekerasan berbasis disabilitas menempati posisi paling tinggi yakni 39 kasus, disusul kekerasan seksual perkosaan 18 kasus dan kekerasan psikis dalam rumah tangga 15 kasus. Setiap penyintas/ survivor mengalami dua hingga enam bentuk kekerasan sekaligus.

Upaya pencatatan ini juga menghasilkan temuan tentang adanya hambatan berlapis yang menjadi tantangan tersendiri bagi jalannya proses pendampingan penyintas kekerasan berbasis gender dan disabilitas, mulai dari hambatan individu, keluarga, lingkungan, regulasi, hingga sarana dan pra sarana.

Pada hambatan di level individu, kondisi kedisabilitasan dan kendala komunikasi menjadi temuan kunci yang menyulitkan penyandang disabilitas mengakses layanan. Minimnya sumber daya ekonomi dan keterbatasan pengetahuan dan pendidikan juga membuat mereka kurang memahami cara mendapatkan dukungan-dukungan yang diperlukan. Hal ini terbukti dari temuan data kasus yang menunjukkan mayoritas kekerasan menyasar penyintas tanpa pekerjaan (29 kasus) dan penyandang disabilitas yang sama sekali belum pernah mengakses pendidikan (14 kasus).

Pada hambatan di level keluarga, proses pendampingan kepada korban sering kali tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. Lingkungan terdekat justru menjadi rintangan terbesar bagi sebagian penyintas untuk melapor, lantaran pelaku kekerasan adalah orang-orang yang seharusnya memberikan ruang aman, seperti keluarga (20 kasus) atau pasangan (14 kasus). Situasi ini dipertegas kembali pada data ranah kasus yang menunjukkan bahwa mayoritas kekerasan terjadi pada ranah privat (46 kasus).

Pada hambatan di level lingkungan, penyandang disabilitas terlanjur mengalami peminggiran dan diskriminasi akibat stigma negatif yang melekat pada diri mereka. Ketika penyintas mengakses layanan, hambatan sarana prasarana maupun layanan belum cukup akomodatif pada hambatan dan kebutuhan khususnya.

Terakhir, pada hambatan di level regulasi, berupa aturan-aturan yang mendukung pemenuhan hak penyintas kekerasan belum bisa terimplementasikan dengan optimal serta masih belum menyentuh penyintas penyandang disabilitasekat pada diri mereka. Ketika penyintas mengakses layanan, hambatan sarana prasarana maupun layanan belum cukup akomodatif pada hambatan dan kebutuhan khususnya. (Ast)