Diskusi Pubik ICW : DKPP Harus Tindak Penyelenggara Bermasalah

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada beberapa catatan dari gelaran diskusi Indonesia Corruption Watch (ICW) jelang diselenggarakannya sidang oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)  pada 8/2.  Diskusi publik  yang dihelat  pada Selasa (7/2) menghadirkan beberapa narasumber.

Evi Novida Ginting, Komisioner KPU RI (2017-2022) mengatakan bahwa supaya proses menjadi bebas dan mengikuti prosedur yang ada. Pemeriksaan bisa dilakukan DKPP dengan mengedepankan netralitas. Sehingga para pengadu dan saksi-saksi bisa menjelaskan dengan mudah dan tidak merasa diintimidasi atau terpojok dengan pertanyaan sehingga mereka tidak mau menjelaskan dengan jelas dan detail sebab besok penting untuk pengadu melaporkan dengan bukti yang mereka bawa.

Termasuk bukti pemeriksaan. Evi berharap  DKPP berhati-hati dan cermat, menggali penjelasan yang mungkin disampaikan sehingga secara komprehensif DKPP mendapat informasi yang benar dan bukti bisa dicek secara langsung sehingga kemudian jadi pertimbangan dalam DKPP untuk mengambil keputusan apakah dilanjutkan dalam persidangan berikutnya. DKPP jangan cukup puas dengan penjelasan yang akan disampaikan besok. Secara adil dan fair untuk mendengarkan  semua pihak. Apa yang terjadi intimidasi kepada pelaku hingga akan mengurungkan laporannya. Jangan sampai pihak lain menekan para penyelenggara pemilu. "19 tahun saya sebagai penyelenggara pemilu menghargai KPU sebagai lembaga yang independen dengan sepenuh hati mempertahankan asas pemilu," ungkap Evi Novida Ginting.

Ia berharap sidang yang akan berlangsung sehari sesudahnya akan jadi pertimbangan bagi teman yang belum masuk, bisa maju, melaporkan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan cara ini harapannya dapat mengembalikan kepercayaan publik.

Terkait intimidasi terhadap pelapor, narasumber lainnya, Prof. Ramlan Surbakti, Komisioner KPU (2001-2012)  mengatakan jika betul ada intimidasi berarti membuktikan kalau ada pelanggaran seperti yang dilaporkan oleh pelapor. Ia pernah memiliki kasus di Sumatera Utara, calon anggota DPRD  kota, tapi tahun 2004 ia tidak memenuhi syarat. Mulai tahun itu ada aturan bahwa anggota dewan harus luus  SMA, sedangkan yang bersangkutan adalah lulus SMP. KPU kabupaten/kota tidak berani, begitu pula provinsi. Akhirnya problem ini dibawa ke pusat. "Orang itu menghubungi saya, saya ajak dia ngopi lalu saya diancam. Dia emosi lalu saya lapor ke teman. Teman saya lapor mabes. Tiga bulan saya dikawal polisi. Undang-undang  bilang syarat ijazah SMA. Saya alami tiga kali tapi baru itu saya diancam,'"katanya.

Begitu juga saat dia menjabat komisioner ada kasus di Pesantren Al Zaitun Indramayu. Waktu itu KPU kabupaten  tidak berani. KPU Jabar  juga tidak berani sebab backingnya Pak Wiranto. Prof Ramalan kemudian bilang kepada biro hukum, sanskinya pemungutan suara ulang.

Prof Ramlan berharap  DKPP menjunjung nilai kejujuran. Ia menegaskan tidak ingin mendikte DKPP apakah anggota KPU, pegawai KPU kabupaten dan kota jujur atau tidak. Kalau tidak jujur risikonya kredibilitas proses dan pemilu. Pemilu yang tidak kredibel maka hasil pemilu tidak legitimasi. Ia berharap agar dalam keputusan DKPP  ada pertimbangan hukum, prinsip  etik apa, seberapa berat pelanggaran itu.

Selain jujur juga harus akurat. Transparansi  penting untuk melihat jujur atau tidak, akurat atau tidak. Setelah itu akuntabilitas. Prinsip kode etik pemyelenggaraan pemilu, sekarang banyak perkembangan. Jujur, akurat transparan dan akuntabel itulah asas dan prinsip pemilu.

Kalau akuntabilitas diragukan maka harus ada  pertanggungjawaban kepada publk. Kalau prinsip ini diabaikan menurut  Ramlan ini tingkat pelanggaran berat karena memengaruhi proses dan hasil pemilu. "Saya ingin mengatakan apapun hasil sidang DKPP, saya pikir mungkin ada tindak lanjutnya," harap Ramlan.

Ia menambahkan bahwa 3 pasal UU nomor 7 yang tidak dilakukan yakni pasal 185, pasal 187 ayat 3, pasal 188 ayat 2 huruf (g). Mestinya jumlah anggota DPRD 100, tapi KPU hanya menetapkan 85 orang.  Kalau itu masuk prinsip menghormati hukum, misalnya  ini bisa diajukan DKPP.

KPU tidak berada di bawah lembaga apapun. Tidak dalam tekanan apapun. Menyelengarakan pemilu semata amanat UU. Kalau KPU takut pada anggota DPR  daripada undang-undang maka menurut Ramlan indeks demokrasi akan anjlok turun.

Hadar Gumay, Komisioner KPU (2012-3017) mengatakan bahwa ia  baru saja berkomunikasi dengan pengadu yang keesokan bersidang. Dia didatangi dari intel  dan sengaja bertemu dikatakan kekeliruan informasi. Kepolisian ingin mengikuti dugaan kecurangan ini dalam proses persidangan dan warga yang mungkin pengadu, yang sedikit orang ini akan aman.

Bahwa apa yang sedang diupayakan menegakkan kejujuran ini dapat berjalan lancar. Terkait  adanya intimidasi upaya untuk mencabut memang  terjadi, di dalam KPU sendiri. Pihak KPU provinsi itu sendiri yang melakukan. Hadar Gumay khawatir empat itu tidak dipenuhi semua. Apakah DKPP  kita berani? Apalah galau? Bisa dibuktikan untuk menghentikan. Harapannya peran ini harus diambil dan harus berani. DKPP harus  koreksi. Karena ini akan berdampak pada pemilu kita. Disinilah ruang DKPP memastikan dan mengambil persn. Karena toh harus diganti dan proses pergantian ada. Kalau sudah pastikan terbukti bersalah berarti  bagaimana hasil kerjaan kemarin? Gak perlu ragu tapi bicara proses, fokusnya adalah perilaku penyelenggara. Kalau ditemukan jangan ragu menjatuhkan  sanksi.

Justru kalau  mengelak ini bisa menyambung karena yang sering didengar saat ini adalah "tunda pemilu' tetapi itu hal.yang  tidak diinginkan jadi mestinya dibenahi. Janganlah para pengadu kita ini diintimidasi. Salah satu cara mengkoreksi justru dengan menyuarakannya. Tempuh jalur hukum meski pengadu adalah penyelenggara, saksi juga penyelenggara, yang dilaporkan yakni penyelenggara. "Mudah-mudahan besok sidang lancar, pihak pelapor sendiri adalah koalisi masyarakat sipil," ungkap Hadar.

Ketika pada sidang seluruh kecurangan terbukti maka DKP harusnya tidak ragu memberi sanksi pada saat pendaftaraan partai politik. Penting untuk mengawal sidang yang digelar tanggal 8/2 dan perlu dimitigasi upaya  intimidasi pada saat persidangan.

Bambang Eka Cahya, Ketua Bawaslu (2010-2012), narasumber dalam webinar ini  juga berharap ingin menarik hal yang justru sering diiyakan bahwa pemilu itu bukan hanya urusan KPU,, Bawaslu dan DKPP, tetapi juga masyarakat sipil. ia justru heran mengapa laporan  tidak dari Bawaslu dan tidak ada satu gerakan pun. Bawaslu tidak mengambil peran penting untuk menjaga integritas. Ini cahaya pelangi yang muncul di balik hujan karena masyarakat sipil sudah terkotak-kotak. Kali ini masyarakat sipil bersuara. Penyelenggaraan pemilu tidak bisa dibuat down grade terus-terusan. Kalau DKPP tidak bereaksi juga maka sandyakala demokrasi benar-benar terjadi.

Menurut Bambang saat isu ini terjadi harusnya ada laporan dari  Bawaslu. Kalau sekarang masih ada intimidasi. Maka itu menunjukkan sesuatu yang tidak bisa ditunda  maka ia melihat sidang DKPP adalah hal penting untuk orang percaya pemilu. Dari integritas pemilu ada 4 elemen seperti di atas itu yang  dipertahankan. Lalu mengapa ada sesuatu dan Bawaslu tidak memproses. Aneh saja jika ada peristiwa besar tapi didiamkan oleh Bawaslu. Disini tarik-menarik kepentingan kentara sekali. Ada kabar  bahwa anggota KPU dari partai  dilindungi oleh partai ini.

Kegelisahan Bambang  sama yang dirasakan oleh senior di koalisi masyarakat sipil bahwa masalah  ini akan lebih  besar lagi kalau tidak dilakukan oleh forum DKPP. Harapannya DKPP menjaga etik. (Ast)