Diskusi JKLPK Menyoal Perlindungan Pembela HAM dalam Konflik Sumber Daya Alam

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dilatarbelakangi oleh banyaknya pembela HAM terkait Sumber Daya Alam (SDA) yang mengalami persikusi, seperti di-anak tiri-kan oleh negara serta masih minim keamanan dan yang menjadi korban bukan hanya pembela HAM itu sendiri namun juga organisasi bahkan keluarga maka Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) menyelenggarakan diskusi secara daring bertema perlindungan pembela HAM dalam Konflik Sumber Daya Alam, pada Jumat (24/6) dan dimoderatori oleh Angela Manihuruk.  

Hengky Manalu, seorang aktivis/pembela HAM menceritakan kasus yang terjadi di tano Batak. Ia mendorong agar hak tanah adat memperoleh pengakuan. Menurutnya jika belum ada kebijakan, maka pembela HAM sangat rentan diskriminasi dan kriminalisasi. Kasus-kasus yang terjadi, antara lain, sebanyak 50 orang masyarakat adat mengalami kasus kriminalisasi (2005-2022) dan perampasan hak atas wilayah adat. Isu HAM di lokal belum menjadi hal yang umum dibicarakan padahal rentan terjadi sehingga butuh perlindungan dengan pengakuan melalui kebijakan atas hak-hak masyarakat adat. Hengky berharap ada kebijakan yang jelas dan tidak multitafsir. Kebijakan-kebijakan tersebut untuk melindungi para pegiat HAM.

Hari Kurniawan, Advokat Publik sekaligus Direktur LBH Disabilitas Indonesia menyatakan Komnas HAM dinilai tidak berdaya dalam melindungi para pembela HAM. Pembela HAM bisa perseorangan maupun organisasi. Definisi pembela HAM menurut Deklarasi Pembela HAM adalah setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional. Para pembela HAM sering menghadapi SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation).

SLAPP memiliki pengertian gugatan yang dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk mempengaruhi aksi atau hasil untuk melawan balik tuntutan. Hal tersebut berkaitan dengan hal substantif dan serta kepentingan publik dari masyarakat sipil atau organisasi non pemerintah. Lawan dari SLAPP ialah ANTI-SLAPP yang tertuang dalam Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945, Pasal 66 UUPPLH (UU No. 32 Tahun 2009), dan UU HAM No. 39 Tahun 1999. Dalam UU HAM Pasal 100 disebutkan bahwa “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” dan dalam Pasal 101 “Setiap orang, kelompok, organisasi pilitik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asadi manusia.”

Negara sering menjadi pelaku pelanggaran HAM, baik by ommision (pembiaran) maupun by commision (perintah). Kenyataannya saat ini menurut laki-laki yang kerap disapa Cak Wawa ini, pejabat publik lebih condong ke oligarki dari pada masyarakat sehingga muncul kriminalisasi kepada pembela HAM. Negara seharusnya tegas melindungi para pembela HAM, termasuk dari hacking. Dalam sengketa tambang, biasanya rakyat akan diadu dengan korporasi dan diminta untuk berdamai. Komnas HAM diberi mandat untuk melakukan perumusan dan usulan perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

Komnas HAM tidak berkutik karena ada friksi di internal sehingga kerja komnas HAM tidak maksimal. Dalam UU HAM Pasal 102, disebutkan “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.” Hari Kurniawan menambahkan Standar Norma yang dikeluarkan oleh Komnas HAM tentang Pembela HAM juga tidak berjalan maksimal karena masih abstrak dan belum ada mekanisme. Bila ada kasus yang menimpa pembela HAM, Komnas HAM kurang melibatkan lembaga lain, seperti LPSK, Komnas Perempuan, Lembaga HAM nasional lainnya. Komnas HAM terkesan bekerja sendiri.

Dalam Pasal 103 UU HAM, disebutkan bahwa “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia”. Selama ini masyarakat tidak bisa mengakses dan belum pernah menerima hasil penelitian dari Komnas HAM tersebut. Inkuiri-inkuiri yang sudah disusun termasuk inkuiri masyarakat adat hilang, padahal di situ terdapat mekanisme perlindungan bagi pembela HAM. Ada timbul kecurigaan bahwa Komnas HAM juga bekerja sama dengan oligarki.

Kerentanan Perempuan Pembela HAM dan Tantangan dalam Perlindungan Pembela HAM

Di lain hal, menurut Hari Kurniawan, perempuan pembela HAM mengalami kerentanan sehingga diperlukan adanya resolusi, namun dari Komnas HAM belum ada resolusi tersebut. HAM harus menjadi bagian dalam bisnis apalagi jika sifatnya masif dan ekstraktif, namun pada kenyataannya, di Indonesia HAM dan bisnis belum dijalankan karena industri ekstraktif justru mengabaikan nilai-nilai HAM. Nilai-nilai HAM itu sendiri  antara lain, kesetaraan, kemanusiaan, dan non-diskriminasi. Masyarakat adat masih sering mengalami diskriminasi yang menyebabkan ruang hidup masyarakat adat semakin berkurang akibat dicaplok oleh korporasi.

Membangun upaya perlindungan bagi pembela HAM, dilakukan dengan proses pengaduan, profil assesment, koordinasi dengan LPSK dan NHRI lainnya serta pengada layanan, optimalisasi peran perwakilan daerah, lalu yang terakhir menyediakan rumah aman. Setelah proses pengaduan dilanjutan dengan profil assesment untuk melihat kebutuhan, misal jika disabilitas maka apa saja yang diperlukan, begitu juga dengan masyarakat adat. Sejauh ini belum ada proses assesment. Harus ada kerjasama atau koordinasi dengan lembaga lain. Untuk koordinasi ini sejauh ini juga belum ada. Rumah aman sangat diperlukan, dalam kasus Salim Kancil tidak ada prosedur rumah aman ini.

Tantangan dalam perlindungan terhadap para pembela HAM dalam konflik SDA menurutnya , antara lain: Pemerintah tidak pernah serius untuk melakukan upaya perlindungan para pembela HAM, para pembela HAM dan lingkungan rentan mendapatkan ancaman, serangan bahkan kriminalisasi atas perjuangan melindungi ruang hidup maupun lingkungan hidup yang layak dan sehat bagi rakyat, para pembela lingkungan yang bersuara atau protes terhadap perampasan hak atas tanah, misal dianggap sebagai penghambat investasi. Padahal, katanya, seringkali investasi yang seharusnya memberikan manfaat untuk masyarakat sekitar justru kebalikan, warga alami ketidakadilan. (Yosi Krisharyawan/Ast)