Catatan Sesi Berbagi Praktik Baik PPDK dan Jaringan Visi Solo Inklusi dalam Advokasi Perbup Disabilitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada banyak hal yang menjadi catatan kemudian terangkai benang merah suatu proses advokasi yang dilakukan oleh Persatuan Penyandang Disabilitas Klaten (PPDK) dalam mengawal terbitnya Perbup Kabupaten Klaten nomor 47 tahun 2020 tentang Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas  Kabupaten Klaten dan draft Perbup tentang layanan publik.

Qoriek Asmarawati dari PPDK dalam sesi diskusi yang dihelat oleh Jaringan Visi Solo Inklusi dan difasilitasi Yayasan YAPHI via zoom meeting, Rabu (20/10) menyatakan perlu solidaritas organisasi disabilitas, apalagi program yang dikawal  tentang perbup ini masuk dalam renstra PPDK. Hal ini berangkat dari temuan berbagai persoalan disabilitas pada saat survey/studi kecil yang dilakukan oleh PPDK yang mendapat dukungan dari Disability Right Fund (DRF)/Disability Right Advocacy Fund (DRAF).

Membuka diskusi, Eko Swasto, Ketua PPDK sekaligus Komite Disabilitas Daerah (KDD) yang bernama Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Klaten  menyampaikan beberapa hal. Terkait PPDK, ia menyebut bahwa organisasi yang diketuainya ini  satu-satunya organisasi induk disabilitas yang menaungi organisasi-organisasi disabilitas di Kabupaten Klaten.

Karena anggotanya adalah organisasi, maka PPDK tidak banyak memberikan keterampilan kepada penyandang disabilitas secara langsung tetapi advokasi kepada pemerintah. Pelatihan untuk pemberdayaan ada di masing-masing organsiasi : Pertuni, PTRK, Komunitas tuna rungu anak,  komunitas autis, komunitas daksa dan beberapa organisasi dampingan lainnya.  Sedangkan advokasi yang dilakukan berdasar regulasi, antara lain mengawal terbitnya perda disabilitas dan turunannya antara lain perbup tentang KDD yang terbentuk April 2021 yang dalam pertama kali tugas pokok KDD adalah menyusun anggaran dasar dan membentuk komisioner untuk periode berikutnya. Satu lagi perbup tentang layanan terhadap penyandang disabilitas yang sedang dalam proses.

Rencana ke depan PPDK akan menyiapkan satu program yakni pendataan disabilitas yang komprehensif dan inklusif. Hal ini dilatarbelakangi data antara Organisasi Perangkat Daerah (OPD) satu dan lain berbeda dan belum adanya pendataan yang menyeluruh. PPDK sendiri mengalami kesulitan karena data yang mereka punya berasal dari dinas sosial.

Qoriek Asmarawati, manajer pada program yang didukung DRF/DRAF menjelaskan kronologi, bahwa awalnya mereka menyusun renstra tentang pelayanan publik. Lalu ada gagasan bagaimana mendorong terbitnya sebuah Perbup. Dua perbup yang didorong yakni Perbup tentang KDD dan Layanan publik mereka awali dengan survey, tidak hanya aksesibilitas fisik tapi juga layanan non fisik dari beragam jenis disabilitas. PPDK kami mendapat sampel berasal dari 20 instansi menyangkut layanan dasar.  Mereka juga studi monitoring anggaran dengan membedah APBD Kabupaten Klaten dari tahun 2016 sampai 2019. Ini untuk melihat di empat layanan dasar itu seperti apa potret penganggaran responsif penyandang disabilitas. Baru kemudian mereka bungkus dan mendorong perbup layanan publik. Setelah itu mereka melakukan audiensi kepada bupati Klaten. Ada sharing dalam menyampaikan  hasil studi, kemudian ada dukungan dari bupati dan pejabat lainnya.

“untuk mengawal terbitnya perbup di proses berikutnya, perbup layanan publik ini kami agak panjang dan terengah-engah. Setelah melalui FGD-FGD, lalu kami serahkan dinsos sebagai leading sector. Hampir dua tahun belum goal, lalu kami melakukan advokasi lagi, ulangi lagi,” terang Qoriek.

Sudah satu bulan ini draft perbup masuk bagian hukum dan dijawab akan ada sinkronisasi bagian organisasi dan proses sinkronisasi ini belum selesai. PPDK menangkap sisi lain dari jawaban itu. Menurut Qoriek, sepertinya pemerintah agak berpikir panjang akan konsekuensi ketika draft perbup akan disahkan karena di draft perbup ini sangat detail hak layanan yang harus disediakan oleh pemberi layanan kepada penyandang disabilitas, pastinya tentang anggaran dari lembaga pemberi layanan publik. “Kami akan kawal terus karena bicara layanan publik adalah hak dan tidak boleh diabaikan dengan persoalan anggaran yang tentu akan naik,”imbuh Qoriek.

Kisah Heroik PPDK saat Mengawal Perda  nomor 29 Tahun 2018

Menjawab pertanyaan Haryati Panca Putri salah seorang peserta diskusi, Qoriek menjawab bahwa Perda nomor 29 Tahun 2018 memiliki Naskah Akademik (NA).PPDK waktu itu dillibatkan beberapa kali. Ada proses heroik saat public hearing sebelum disahkan sebab waktu itu PPDK tidak diundang. Setelah mendapat info bahwa ada public hearing, Qoriek dan kawan-kawan mendatangi tempat serta-merta berharap untuk dibantu masuk ke ruangan. Mereka berhasil masuk ruangan tanpa undangan. Qoriek dan kawan-kawan kemudian berusaha mendesakkan supaya ada satu ayat cantolan untuk memperkuat perbup layanan publik bagi penyandang disabilitas, karena sulit jika tidak ada ayat cantolan.  “waktu itu saya yang mengawal bersama alm. Pak Widodo,” terang Qoriek.

Oleh ketua pansus, usulan mereka diakomodir lalu melakukan dua lobi, alm. Widodo  ke pansus, Qoriek ke bagian hukum. Mereka mendesakkan supaya ada ayat cantolan, dan sempat hilang. Mereka terus mengawal sampai kemudian draft disahkan ayat itu muncul. “yang kemudian kami harap ada perbup layanan, supaya dipahami bagaimana menerjemahkan layanan kepada penyandang disabilitas seperti apa dan bagaimana,”

Qoriek mengaku masih memiliki PR berat bagaimana mengubah perspektif bahwa penyadang disabilitas itu masih dipandang urusan Dinsos. Ia berusaha menggeser paradigma itu di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sehingga isu disabilitas jadi isu lintas sektor. "Jadi perbup ini sangat membantu PPDK  bagaimana OPD di luar Dinsos memberi layanan akses bagi penyandang disabilitas," pungkas Qoriek. (Astuti)