Sosok

Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik di Akhir Masa Jabatan Jokowi dan Pemda di Indonesia

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Keterbukaan informasi publik merupakan elemen penting dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, transparan, dan akuntabel. Di Indonesia Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah memberikan landasan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang relevan dari badan publik. Namun meskipun terdapat kerangka hukum yang jelas, pelaksanaan keterbukaan informasi publik masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan akses, ketidaksesuaian informasi, dan resistensi birokrasi. Di tingkatan daerah, sengketa informasi bisa mencapai berbulan-bulan lamanya. Hal ini dirasa bertentangan dengan semangat Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Itulah latar belakang diadakannya konferensi pers oleh Freedom of Information Network Indonesia (FOINI). Ria Yulianti, Project Officer di Humanis mengatakan bahwa ini adalah kolaborasi organisasi masyarakat sipil di FOINI. FOINI adalah sebuah jejaring/ koalisi organisasi masyarakat yang mendorong keterbukaan informasi publik dan berkaitan dengan informasi publik karena mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 menjadi landasan hukum bagi kita untuk mendorong keterbukaan informasi di bidang tata kelola.

Sejak 10 tahun terakhir telah banyak refleksi yang  dilakukan. Dengan adanya pemerintahan baru dan rencana perubahan undang-undang  keterbukaan informasi, ini adalah momentum yang baik.

Siituasi terakhir  pemerintah berganti dari Jokowi dan Ma'ruf ke Prabowo dan Gibran. Tentu akan membawa dampak baru terkait kebijakan. FOINI mengajak  melakukan evaluasi terkait keterbukaan informasi publik.

Taufik, narasumber dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau  mengatakan bahwa ada beberapa hal untuk digarisbawahi momen revisi Undang-Undang Keterbukaan informasi ini maka daerah akan disorot  sebab di daerah jauh dari pro aktifnya yang membutuhkan komitmen kepala daerah.

Undang-undang  menyatakan memberikan hak setiap orang untuk mengakses informasi data, terbuka dan dapat diakses. Kecuali yang tidak diatur undang-undang tadi, ada mandatori kepada pemda untuk menciptakan rumah pelayanan yang mudah bagi publik berupa Kementerian dan lembaga dokumen yang digitalisasi, kaitannya dengan Perpres 39/2016 tentang kebijakan satu data. Pemerintah Jokowi komitmen kebijakan satu data tapi implementasi di daerah kurang. Masyarakat berharap ada satu data yang semua data penyelenggaraan pemerintah : statistik perizinan yang bisa satu portal yakni Rumah Data.

Realitanya di daerah perkembangannya minim. Pemda kabupaten/kota belum melaksanakan mandatori dan  yang belum tersedia adalah informasi dengan statistik. Yang sering diperlukan yakni dokumen perencanaan, anggaran, serta izin itu belum ada. Rumah Data yang kita harapkan di Riau belum terbangun portal rumah data. "Pertanyaannya adalah bagaimana ini Bappenas kita harapkan?"

Ada undang-undang 14/2008 kaitannya Perpres 39/2019 bicara soal struktur data, undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) soal akses layanannya. Harapannya pemda menyediakan proses dan keteruntukan datanya.

Rizqika Arrum,  menyampaikan bahwa FITRA konsen di isu bagaimana pemerintah menyediakan  keterbukaan informasinya. Setahun sekali FITRA melaunching keterbukaan anggaran  untuk memperkuat pemerintah yang di daerah berbasis IT.

Banyak catatan di daerah misalnya di organisasi masyarakat sipil (CSO) , FITRA mendorong keterbukaan  supaya kuat dalam tata kelola kelembagaan. Kedua partisipasi publik misalnya terkait akses masih minim.

Ketersediaan digitalisasi kadang tidak efektif, tidak ada data dokumen anggaran yang bersih untuk pengawasan.  Terkait izin, misalnya terjadi di Riau izin Hak Guna Usaha (HGU) pertambangan faktanya tidak  ditemukan. Tapi ketika penilaian di tahun 2023 aspek penilaian rendah. Itu menunjukkan penyedia informasi data dokumen terkait perencanaan dan anggaran  rendah meski ada peningkatan sedikit tetapi angka penilaian 0,1 . Bahwa pemda bisa menyediakan informasi terkait daya dan dokumen di web tapi apa yang bisa dilihat hari ini?

Lantas bagaimana sikap FITRA di keterbukaan informasi publik  baik di daerah maupun  kota? Komitmen masih rendah, jika dilihat dari anggaran. Masih ada rasa ketakutan, buktinya ada teman lsm masih ditakut-takuti. Ada hambatan mutasi di pengelola. Leading sector di Dinas Kominfo sedang PPID belum maksimal. Karena ada mutasi atau kenaikan jabatan sehingga pindah lalu jadi kendala. 3. Komisi di daerah  banyak belum progress artinya masih dalam regulasi  tapi instrumen pembangunan rumah data belum terlaksana.

Harapannya semua bersinggungan open data. Tapi faktanya masih ada daerah yang belum melaksanakan. Dalam mandatori UU : informasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), dokumen audit termasuk informasi yang terbuka tapi ketika tracking di KIP bahwa harus dibenahi. 4. Data terkuat adalah pembangunan tetapi izin masih ekslusif. Ada pemohon dokumen, pemerintah tidak mau memberikan tapi kalau ada kepentingan pemerintah semakin buka. Sehingga publik yang jauh tempat tinggalnya tidak bisa membuka informasi sebab jarak dari jauh  bahkan pemohon meminta dokumen  IUP, amdal, tapi pemerintah tidak memberikan  sehingga berujung sengketa informasi publik. Padahal analisis mengenail dampak lingkungan (amdal) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kan dokumen publik harusnya pemerintah  menyediakan   .

 

Keterlibatan partisipasi publik

Biasanya yang meminta informasi  hanya untuk kepentingan riset sedang masyarakat jarang atau minim akses. Mestinya pemerintah sebar di website dan tahu siapa-siapa  masyarakat awam bisa akses.

Beberapa catatan kritis antara lain peran KPID misalnya  monev yang diselenggarakan setiap tahun tidak memperbaiki kenaikan  jadi menjadi koreksi bersama dan sudah seharusnya monev dijadikan refleksi. Jangan bukan hanya berbasis informasi saja tapi juga data. Juga jangan ada kepentingan politik dan jangan menjadi ruang politik bagi teman komisioner.

Dalam RUU yang perlu diperkuat adalah pelembagaan komisi informasi. Kalau di pusat di bawah Kemenkominfo maka di daerah dinas kominfo. Sebaiknya jangan di bawah kementerian tapi berdiri sendiri.

 

Ada juga persoalan di daerah banyak yang menyambi sebagai akademisi dan pekerjaan lain sebagai wartawan atau redaksi. Bagaimana ia bekerja dengan baik kalau dia double job . Harus diperjelas kinerja komisi informasi tersebut. Hal paling , Monev dan Kementerian/Lembaga ini harus diperjelas karena berujung pemeringkatan jadi ajang politik dan sudah seharusnga  ada aturan yang kuat.

Masukan lainnya  yang selama ini terkadi adalah harus mempertimbangkan waktu permohonan informasi sampai sengketa dulu sehingga waktu jadi lebih lama. Mestinya dipersingkat. RUU KIP perlu juga untuk memperjelas kewajiban pada Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memungkinkan informasi yang mudah secara rinci.

 

Mempermudah informasi berbasis digitalisasi

Syarat anggota KIP, perlu adanya kewajiban keterwakilan perempuan baik pada panitia seleksi (pansel) dan perekrutan kementerian dan lembaga.  Proper test pada DPR harus pertimbangkan pada aspek penyediaan ruang aspirasi publik soal rekam jejak.

Sikap kepala daerah  mendorong pemilu kuat untuk membangun dan menyediakan informasi yang kuat bisa dilihat di visi misi terkait isi transparansinya.

Andi M. Hidayat dari Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB), salah seorang pembicara menyatakan sebaiknya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen  (PPID Utama /Kemkominfo) menyusun SOP implementasi terkait keterbukaan informasi.

Terkait penilaian penyediaan informasi, ia pernah ke KPU untuk uji akses. Ia juga membahas draft RUU juga bersama Koalisi masyarakat sipil (CSO) dan mengkritisinya.

Ada temuan-temuan di antaranya adalah : 1. Dokumen perencanaan dan penganggaran sudah cenderung terbuka tapi masih perlu ditingkatkan kualitasnya, khususnya pada aspek ketepatan waktu (publikasi informasi), contoh : Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) yang diupload ringkasannya saja, 2. Dokumen pengadaan barang/jasa pemerintah terkesan rahasia. Contoh uraian pekerjaan dan kontrak, nama pekerjaan kurnah informatif contohnya : pekerjaan jalan Dana Alokasi Khusus (DAK), 3. Belum semua badan publik terbuka. Badan publik tidak merasa badan publik, 4. SDM PPID yang masih kurang. 5.Implementasi sanksi, denda uang 5 sampai 20 juta dan pidana 1-3 tahun, apa dampaknya?

Lantas masih ada daerah-daerah yang menilai itu dokumen privat sehingga tidak dipublikasi. Mereka takut atasan kalau memberikan. Kondisinya ketika mereka mengupload APBD yang di upload ringkasannya saja, padahal semua dokumen APBD harusnya  terbuka. Kekhawatiran mereka, nanti yang mengakses bisa menyalahgunakan data. Padahal beberapa dokumen yang seharusnya dianggap rahasia harusnya terbuka.

Partai politik menganggap mereka, PPID  bukan badan publik. PPID sampai sekarang belum merata. Mereka hanya ditempatkan saja dan tidak paham. Kadang-kadang si pengakses infomasi diberi waktu 7 hari dan mereka ambil waktu hari terakhir.

 Ke depan untuk sanksi perlu dilihat lagi. Apa ada perlu penambahan denda apa tidak dipisahkan. Ada pemerintahan tingkat provinsi, kabupaten/ kota. Yang sadar keterbukaan hanya 2 provinsi yang informatif, dan hanya 7 dari 58 Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Dan tingkat desa  hanya 12 desa dari 2.250 desa, di kabupaten/kota 11 dari 24 kab/kota yang sadar.

Pemerintah daerah sangat penting untuk berkomitmen memberi dukungan  termasuk dukungan anggaran. Dalam setahun mereka menyelesaikan kasus ratusan jadi butuh evaluasi.

Menjawab pertanyaan peserta, Arif, mengatakan ketika terjadi sengketa informasi yang dirugikan siapa? Sebagai pemohon biasanya sangat proaktif kalau ingin akses informasi. Kalau dari darin komisi informasi biasanya sudah ingkrah. Kalau termohon tidak mau memberi, mereka bisa banding  tapi jangan pesimis. Dari putusan komisi mereka akhirnya bisa mengakses terkait laporan keuangan misal dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Pengalaman Arif, kadang ada OPD yang tidak mau bersengketa lalu mereka akhirnya memberi. Kalau ajukan persengketaan  masih menunggu dari komisi informasi. Intinya jangan pesimis.

Rahmat dari Indonesia Budget Center (IBC) menanggapi jika yang dialami oleh pihaknya juga sama. Kita refleksikan dulu  bagaimana  keterbukaan  KIP, sedangkan UU KIP sebenarnya sarana masyarakat untuk berpartisipasi.

Ada catatan IBC jadi penting sebagai dokumen untuk pegangan publik  terjadi catatan kritis :

1. Ternyata UU sampai sejauh ini masih ada akses namun masih sedikit. Dokumen UU yg sekarang utk mengakses informasi saja masih sulit. Bayangkan kalau masyarakat yang belum mengetahui.

2. Keterlambatan publikasi. Terkadang dokumen  yang sangat dibutuhkan yakni perencanaan dan dokumen  anggaran yang harusnya dipublikasikan oleh pemda dan kementerian dan lembaga sangat terlambat. IBC pada 2023-2024 baru saja melihat lanskap penganggaran perubahan iklim sejauh mana anggaran untuk mendukung program itu. Ternyata hasil yang didapatkan sangat terlambat. Mereka mengakses  secara informal. Ternyata  di web tidak diupdate. Setelah pihaknya ke kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) baru dokumen dipublikasikan.

3. Kurangnya detail informasi. Yang diberikan  dari K/L tidak semua detail yang diberikan 

4. Cukup selektif

5. Berdampak minimnya pertisipasinya publik.

UU KIP memberikan tanggung jawab penuh agar dokumen diberikan tanggung jawab akan berdampak mencegah korupsi.

Sampai saat ini terkait UU yang sekarang  harapannya dengan komitmen dan transisi pemerintah selanjutnya : tidak hanya menjadikan UU ini pedoman administratif tapi badan badan harus pro aktif tetapi dokumen informasi yang diupload sudah menunjukkan kebutuhan publik atau masyarakat.

Rizkqika Arrum  dari Seknas FITRA menambahkan bahwa pembicara semua insight full. Ia mengatakan kerja-kerja pihaknya di Seknas : berkolerasi dengan apa yang sudah semua sampaikan. Dalam beberapa waktu ke depan FITRA menyusun RAN antara lain untuk penyusunan komisi informasi, membahas naskah RUU dengan masyarakat sipil serta penilaian ke 32 K/L.

Yang menjadi catatan kritis, pihaknya melihat beberapa K/L di antaranya tidak update  dan hanya mengupload ringkasan.

Beberapa permohonan surat juga belum sesuai lagi lagi dokumen ringkasan  : buruknya badan publik terhadap KIP, juga Sumber Daya Manusia (SDM). Stagnan dari 2019-2023  walaupun Indonesia di peringkat 20, di bawah Philipina. Keterbukaan informasi dan kementerian juga masih punya nilai yang rendah dan tidak aksesibel

"Kami sempat mendampingi HWDI kala sistem data pemerintah termasuk DTKS tidak mengkaver. Data kemensos ini hanya terbatas di Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS)  jadi tidak akurat  karena tidak ada data penyandang disabilitas yang berlatar belakang ekonomi.Tidak tergambar  juga ragam difabelnya. Belum ada sinkronisasi data di masing-masing K/L. Kami  tidak tahu data mana yang paling akurat. Kesulitan kami, hanya 6 wilayah saja yang punya data,”ujar Arrum.

Penyandang disabilitas kalau mau  mengakses berbasis scan sehingga tidak akses bagi netra. Teman Tuli tidak ada JBI  juga tidak ada visual. Berita bagusnya adalah ada praktik baik di Kemenkeu PPIP yang sudah akses dan ada penerapan e-ppid di beberapa kementerian.

Sikap Fitra, Revisi RUU untuk  mendorong digitalisasi : Viralnya penamaan aplikasi yang sangat seksis, pihaknya berharap pemerintah pertimbangkan unsur sosial dan pandangan seksi ini tidak bisa dinormalisasi bagi kelompok rentan terutama perempuan.

Selanjutnya yakni peningkatan tranformasi digital dan akses untuk publik terutama bagi kelompok rentan dan disabilitas.

Pertanyaan dari Afron, peserta konferensi pers, RUU sekarang banyak menyerang kebebasan pers termasuk dalam RUU TNI. Apakah RUU KIP bisa dipaparkan? Masyarakat berharap pada pers? RUU KIP jangan sampai menyerong kebebasan publik. Pertanyaan kedua, bagaimana  upaya Koalisi ini mendesak pemerintah lakukan perbaikannya?

Rahmat dari IBC menjawab hampir sama yang pihaknya rasakan, saat   mengaksesnya ada bahasa multitafsir yang digunakan pemerintah  ketika mengakses dokumen. Padahal kebutuhan mereka tidak hanya ringkasan. (Ast)