“…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Seperti itulah anak kalimat sebagai penggalan dari Pembukaan UUD 1945 yang konon katanya merupakan tujuan negara Indonesia; jajaran kata yang sering menjadi bagian pertanyaan dari soal ujian semasa menerima pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Wikipedia mencatat bahwa Naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Naskah Piagam Jakarta yang sudah mengalami perubahan dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi negara Indonesia.
Mengingat kalimat-kalimat itu, menimbulkan segudang pertanyaan dalam sebuah imajinasi yang melayang jauh ke sebuah masa. Bagaimanakah respon rakyat pada waktu pertama kali mendengar atau mengetahui tentang kalimat itu? Apa yang mereka rasakan ketika negara yang baru saja mengikrarkan kemerdekaannya ternyata memiliki tujuan yang terdengar sangat indah untuk rakyatnya? Ya, terbayangkan bagaimana wajah mereka tersenyum penuh harap setelah sekian lama tidak mampu keluar dari jerat sengsara penjajahan. Mulai dari titik itulah terbangun sebuah harapan untuk benar-benar merasakan nikmat kemerdekaan.
Ibarat seseorang yang akan pergi ke suatu tempat tertentu sebagai tujuan, pastilah ada upaya yang harus dilakukan. Entah menyiapkan diri sendiri untuk melewati medan yang harus ditempuh, atau mengecek kesiapan transportasi yang akan digunakan, atau sekedar menggoreng bakwan untuk bekal di perjalanan. Intinya, untuk mencapai tujuan butuh upaya dan perjuangan.
Lalu, bagaimana dengan negara dengan tujuannya tersebut?
Nyatanya negara yang dalam hal ini adalah pemerintah pun konon katanya telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Salah satunya adalah membentuk lembaga negara dan mengesahkan berbagai macam peraturan guna melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Hasil di mesin pencarian pun menunjukan hasil yang demikian, coba saja masukan kata kunci ‘lembaga negara yang berfungsi melakukan perlindungan terhadap masyarakat’. Muncul banyak sekali bukan? Jika benar demikian maka hal ini menjadi selaras dengan sebuah adagium hukum yang berbunyi Salus Populi Suprema Lex (kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi pada suatu negara).
Namun pertanyaannya adalah siapakah yang dimaksud dengan rakyat? Apakah setiap orang yang tinggal di wilayah Indonesia dan tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia berhak disebut dengan rakyat? Apakah definisi rakyat juga sudah mencakup para pedagang kaki lima dengan gerobak reyotnya, para pekerja seks yang seolah berhak diperlakukan semena-mena, dan para buruh korban pemerasan sebuah korporasi? Karena faktanya mereka terlihat tidak masuk hitungan.
Salah!
Mereka masuk hitungan.
Dalam perebutan suara disaat pemilu, selebihnya? Lihat saja.
Ribuan buruh berteriak menolak Undang-Undang Cipta Kerja, tetapi dengan penuh kejutan tetap saja undang-undang tersebut disahkan. Banyak pihak mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tetapi dengan segala dalih tetap saja tak mudah untuk mendapat ketukan palu. Pedagang kaki lima yang mendapat perlakuan kasar dari Satpol PP, eh malah Satpol PP nya yang diberi penambahan kewenangan (Lih. Draf Revisi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 DKI Jakarta). Belum lagi lingkungan rusak akibat aktivitas pertambangan dan banyak masyarakat mengeluhkan dampak dari debu pembakaran batu bara (Lih. Film dokumenter “Sexy Killer” yang rilis 5 April 2019), namun lihat saja apakah revisi Undang-Undang Minerba sudah menjadi solusi untuk itu?
Lagi dan lagi, jadi sebenarnya siapa saja yang terhitung dalam definisi ‘rakyat’? Siapakah subjek yang dimaksud dalam rangkaian kata yang disebut sebagai tujuan negara Indonesia? Lebih dalam lagi, apakah rangkaian kata itu masih menjadi sebuah tujuan negara Indonesia atau sudah menjadi sekedar retorika pemanis dalam sebuah konstitusi?
Ah sudahlah. Sudah terlalu banyak mencantumkan tanda tanya, padahal itu hanya setitik refleksi basa-basi sebelum mengucapkan “Dirgahayu negaraku, negara yang konon katanya telah merdeka” (Dorkas Febria Krisprianugraha)
Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
https://tirto.id/di-balik-rentetan-arogansi-satpol-pp-selama-masa-ppkm-darurat-ghP9
https://news.detik.com/berita/d-5650953/draf-revisi-perda-corona-dki-satpol-pp-bisa-jadi-penyidik-pelanggaran-covid
https://petrominer.com/ini-pasal-pasal-ruu-minerba-yang-banyak-ditolak/
https://www.voaindonesia.com/a/dpr-tak-serius-ruu-pks-jadi-sekedar-mimpi-/5078718.html