Publikasi

Catatan Talkshow GembiraFest 2025, Apa Kabar Demokrasi?

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Menarik ketika mendengar kesaksian orang muda atau mahasiswa yang mengatakan bahwa mereka juga menjadi korban dari mundurnya demokrasi di negeri ini. Bahwa mereka pun juga korban dan lama-lama terkungkung. Seperti yang diistilahkan oleh Mohammad Fernanda Wahdani atau biasa dipanggil Nanda dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan UMS sebagai "orang muda/mahasiswa yang besar di kolam kecil". Maka menurutnya, dengan adanya Aksi Kamisan Solo, dia bisa membuktikan bahwa ada gerakan kolektif yang dibangun dengan rasa cinta. Nanda menambahkan bahwa melawan itu metode untuk lebih peduli dengan aksi ini dan mereka sedang membangun gerakan.

Begitulah sesi talkshow di acara helatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Generasi muda berani bersuara (GembiraFest) 2025 di Lokananta, Sabtu (16/8) bertema "Pikir-pikir Berekspresi, Apa Kabar Demokrasi? "
Lantas dalam konteks kota Solo, bagaimana menangkap kemunduran demokrasi juga dikemukakan oleh Mariyana Ricky atau biasa dipanggil Nana, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo bahwa Solo sebagai kota kelahiran presiden ke-7,Joko Widodo, yang menempatkan dirinya sebagai "Raja Jawa", lantas menjadikan masyarakat media tidak peka. Bahkan menjadi echo chamber. Nana mengakui ini merupakan otokritik bagi kerja-kerja jurnalistik. "Dulu tanggul jebol jadi berita tapi setelah jadi "Raja Jawa", apa yang diomongkan jadi berita," ungkapnya.

Nana juga mengatakan jika sebelum pandemi, organisasi masyarakat mudah sekali berkumpul. Namun kemudian jadi melemah. Mereka mendapatkan tawaran dana dan tidak mampu bersuara. Akhirnya suara akar rumput melemah. Menjadi 'pekerjaan rumah' bagaimana jurnalis kembali menggelorakan semangat untuk para pemuda tetap bergerak. "AJI sering diundang di acara LPM dan saya bilang 'ayo,berani'. Ada sisi-sisi apatis pada suara mereka, seperti 'pertanyaan, kita mau demo,kita bersuara, ada manfaatnya sih?'. terang Nana.

Beberapa waktu lalu gerakan anak-anak muda sempat gembos, menurut Nana, yakni pada protes mahasiswa UNS di tahun 2015 oleh BEM. Spanduk-spanduk bertuliskan "Kami siap antar pulang Pak Jokowi ke Solo lagi" terbentang di jalan depan kampus UNS. Lantas gerakan-gerakan tersebut digembosi. Demo Reformasi Dikorupsi jilid 2 lantas menjadi yang terakhir.

Menurut Nana, dengan penyempitan ruang ini harusnya jurnalis tidak menjadi voiceless. Maka beberapa waktu lalu ia dan AJI Solo melakukan pelatihan membuat pers rilis. Ia dan kawan-kawan lantas mencari cara lain, ketika media media besar tidak melakukannya yakni mengabarkan gerakan-gerakan yang teman muda lakukan seperti ikut bergabung dengan masyarakat Sukoharjo dalam perlawanan dengan PT RUM yang telah mencemari sungai mereka.

Terkait pencemaran oleh PT. RUM ini Nana melakukan liputan dengan beberapa LPM, UIN Raden Mas Said dan Universitas Diponegoro. Liputan yang mencangkup beberapa progres. Prosesnya dari tahun 2019 dengan menggelar diskusi agar mereka yang bergerak terkait PT.RUM tidak mendapat dikrimininalisasi. Perjuangan yang berhasil di tahun 2024 ketika masyarakat dinyatakan menang gugatan dari perjuangan yang dimulai pada 2017.

Nana menyebut lagi gerakan masyarakat menolak geothermal. Waktu itu tendernya sudah menang lantas tidak ada pengeboran di gunung Lawu karena masyarakat menolak. Masyarakat sampai sekarang bergerak supaya tidak ada pengeboran di gunung Lawu.

Mengingat Solo adalah Mengingat Wiji Thukul


Bulan Agustus di Solo adalah untuk mengingat Wiji Thukul yang lahir di Agustus. Artinya, Solo punya keyword, kesadaran, bagaimana membuat sastra untuk mengingatkan rezim. "Kita sudah melewati 10 tahun Pak Jokowi yang menjanjikan menemukan Wiji Thukul padahal nol," demikian Okky Madasari, sastrawan yang menjadi pembicara pada talkshow GembiraFest.

Menurutnya, Wiji Thukul seorang sastrawan yang menyuarakan orang-orang kelaparan, yang bersuara tentang buruh-buruh PT. Sritex. Artinya, Solo sudah melahirkan dan membesarkan sastrawan. Tapi kalau melihat satu sisi, maka tidak bisa melupakan bahwa Solo dicengkeram oleh tiga hal yakni feodal, kapital dan kepentingan politik.
"Banyak karya sastra yang lahir hanya untuk kepentingan keraton. Semua narasi berarti berfokus hanya pada keluarga Jawa yang senternya adalah royal family. Bahwa karya kreatif digunakan untuk kepentingan raja. Senang melihat royal family muncul tapi apakah itu muncul untuk mereka atau hanya kepentingan keluarga mereka?"

Menurut Okky, apa yang disuarakan Wiji Thukul di zaman itu mengkonfirmasi keserakahan-keserakahan di situ bahwa apa yang terjadi di PT. Sritex adalah untuk mempertanyakan dominasi modal dan jangan terbuai karena jadi sponsor.
Okky menambahkan bahwa di Solo DNA-nya adalah dagang. Sarekat Dagang Islam (SDI) tercatat sebagai salah satu organisasi tertua di Hindia Belanda. Ternyata pada perdagangan, orang-orang yang berkapital bisa diajak bersarekat . "SDI ini semangatnya kita nyalakan, kita gelorakan agar tidak untuk kepentingan mereka semata. Kita berbicara bukan karena anti Jokowi. Ketika bicara Solo tidak bisa dilepaskan dengan Jokowi. Kita bisa melihat nafas narasi yang dibangun bahwa berkat Jokowi solo jadi bagus. Kita harus menyadarkan warga Solo bahwa ini memang sudah kewajiban Jokowi dan hak warga untuk mendapatkan ini. Maka kembali ke semangat Wiji thukul melalui karya,"jelas Okky. Maka menurutnya harusnya karya sastra didedikasikan untuk kemanusiaan, untuk memberi ruang.

Gerakan Rizomatik atau Gerakan "Rimpang", Apa Itu?

Menurut Yatun Sastramidjaja, antropolog dari University of Amsterdam, dalam talkshow mengatakan bahwa gerakan Rizomatik harus dilihat dengan masalah demokrasi. Sebagai antropolog, ia melihat ke budaya politik yang kalau dilihat dari perspektif sempit, jelas sekali ada kemerosotan dan indikator jelas. Itu yang kemudian jadi dorongan gerakan orang muda. Tapi anehnya terbatas pada ranah di ruang formal. Bahwa apa yang terjadi di anak muda, apa yang ia sebut sebagai gerakan rizomatik adalah perkembangan saja, bukan gerakan baru dan bukan istilah baru. Sebagai gerakan anti dari orang muda yang lebih interseksualitas dan intersektor, yang lebih inklusif dan cair. Oleh karena lebih inklusif. Menariknya, demokrasi yang kencang itu, difasilitasi oleh rizomatik, makin mengembang dan mampu menggelombangkan kaum hegemoni dan menyebar ke berbagai sektor dan arah. Dan ini kemudian menjadi alasan penting bahwa mereka ikut membangun counter hegemoni dan membangun gerakan yang lebih subur.

Bagaimana Orang di Zaman dulu Menceritakan tentang Hari Ini ?

Nana bercerita bahwa ia baru tahu jika ada gerakan melawan dengan cara melawan konsumerisme. Gerakan ini dilakukan oleh masyarakat Klaten yakni "Dapure Cah Cah". Menurut Nana, ini suatu perlawanan kecil yang mereka lakukan, tidak dengan gerakan-gerakan besar. Kalau ada tekanan, mereka bisa melawan. "Saya selalu percaya meski ada halang-rintang, masih ada anak muda yang akan melawan. Gerakan itu meski kecil tapi akan dikenang sejarah. Masyarakat akan terus ada nafas kecil dan akan terus melawan. Gerakan di Pati itu bukan hanya kenaikan 250% tapi otoritarianisme. Saya harap itu bisa dilakukan. Saya harap ini masih ada,"ungkapnya.

Lantas menurut Nanda, kaitannya dengan gerakan rimpang, menututnya harus terkonsolidasi. Karena kalau melihat gerakan Pati kemarin, ibu-ibu yang menyiapakan makan yakni dengan berjejaring.

Okky menanggapi bagaimana sejarah hari ini akan ditulis. Ia mengingat tragedi Mei 98 yang terjadi di Jakarta, Medan, Solo. Dalam penulisan sejarah oleh pemerintah, tragedi itu akan diedit, silencing. "Sejarah akan dikubur oleh penguasa kalau kita tidak melawan. Wiji Thukul tidak ada narasi dalam penulisan sejarah utama. Sengaja dipinggirkan. Di sini kita melihat bahwa sejarah akan ditulis sesuai dengan kepentingannya," ujar Okky.

Maka, resep yang manjur untuk mengantisipasinya menurut Yatun adalah kita harus berhubungan lagi dengan sejarah yang terhapus. "Mereka yang terhapus dalam sejarah, mereka masih ada kok, " terangnya.

Lantas, pelajaran apa yang kota lain bisa ambil dari Solo?

Yatun menambahkan bahwa secara umum, jangan hanya melihat secara nasional. Karena secara internasional, mereka alami kontradiksi penekanan dari segala macam yang sangat serupa. Selama kontradiksi yang melahirkan itu, akan tetap melahirkan. Kalau gerakan yang sudah mapan, akan anti gerakan rimpang. Mereka bisa saling belajar bahwa kreativitas itu sangat penting. Bukan hanya di media sosial tetapi bisa kreativitas lain. Bukan hanya ilmu pengetahuan.

Nana menanggapi bahwa Solo tidak hanya melahirkan Jokowi tetapi Wiji Thukul dan SDI. Ia kemukakan bahwa di Solo juga pernah ada sejarah gerakan swa praja. Mereka melawan dan ada yang diculik. Gerakannya bisa ditiru dan lebih baik lagi. Solo juga pernah punya walikota PKI. Kebijakannya sangat bagus dan bikin prostitusi legal. Melihat Solo jangan hanya Solo saja tetapi Klaten yang dikenal dengan daerah merah.

Okky menambahkan terkait Solo, jangan lagi menularkan narasi tentang Jokowi sebab masyarakat mengandalkan media massa dan sekarang para influencer. Dan ketika tidak punya nalar kritis, maka yang akan lahir Jokowi baru.

"Forum seperti ini penting dan kita akan menularkan. Saya percaya bahwa setiap zaman membawa perlawanan masing-masing. Saya fokus di perlawanan kreatif. Pertanyaannya adalah apakah bisa bertahan 20 tahun lagi? Belum tentu. Setiap generasi muda punya cara bertahan sendiri. Cara kita bukan dengan mengajarkan gerakan kita hari ini. Peringatan Darurat dipimpin oleh Gen Z. Biarkan anak muda memimpin, kita akan terus bersatu dalam perlawanan ini, "pungkas Okky. (Ast)