Publikasi

Catatan Konsinyering RAD Penyandang Disabilitas Provinsi Jawa Tengah (Bag.1)

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada tujuh sasaran strategis dalam Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas (RAD PD) Provinsi Jawa Tengah yakni :Pendataan dan perencanaan inkusif, lingkungan tanpa hambatan bagi penyandang disabilitas, ekonomi inklusif, pelindungan hak dan akses pada keadilan, pemberdayaan dan kemandirian difabel, pendidikan dan keterampilan serta akses pemerataan layanan kesehatan. Tentu dalam pelaksaan pemenuhannya menemui banyak tantangan dan peluang. 

Johan Hariyanto, Kabid Pemerintahan dan Sosial Budaya di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) provinsi Jawa Tengah dalam Konsinyering Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas (RAD PD) yang digelar oleh Bappeda bekerja sama dengan PPRBM Solo lewat Program Dignity INKLUSI, Selasa 26/8 di Semarang menyampaikan beberapa tantangan dan upaya dilakukan untuk penyusunan RAD PD 2025.

Beberapa tantangan  tersebut antara lain adalah : 1.Ketersediaan data untuk analisis yakni pada Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 mencatat jumlah difabel adalah 5,7 juta. Pada data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) berjumlah 2,7 juta difabel. Sedangkan Data Adminduk  adalah 71 ribu.

Tantangan kedua adalah Tagging anggaran yang repsonsif disabilitas. Ada Peraturan Menteri (Permen) Bappenas yang kemungkinannya  Permen ini merujuk kegiatan Kementerian dan Lembaga (K/L) padahal kalau di daerah rujukannya adalah pada Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) .

Tantangan ketiga adalah daerah diminta evaluasi berjenjang. Provinsi diwajibkan melapor namun cara pelaporannya akan seperti apa belum tahu sebab belum punya standar karena hanya wajib di level provinsi saja.

Hal yang dilakukan sebagai upaya perwujudannya yakni dengan melibatkan 33 lembaga dan organisasi difabel. Dan dalam menyusun RAD ini harus berpedoman kepada kebijakan pusat yakni Rencana Aksi Nasional (DAN). Beberapa upaya yang sudah dilakukan sudah melibatkan secara proaktif organisasi difabel antara lain : Pelibatan difabel dalam penyusunan dokumen perencanaan, musrenbang dan sebagainya, pehabilitasi, perlindungan sosial dengan slogan "Jateng Ngopeni", peningkatan kapasitas dan penyediaan layanan yang dapat diakses dengan adil bagi seluruh kelompok.

Dwi Rahayuningsih, narasumber  dari Bappenas saat konsinyering mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban  untuk mempersiapkan RAD PD serta mendorong amanat pelibatan seluruh organisasi difabel (OPDis). Dari indikator utama untuk mencapai peningkatan kesejahteraan yakni akses difabel dalam pekerjaan, pemda mendukung proses pencapaian indikator nasional melalui indikator proksi: indikator ketenagakerjaan dan kedua, berapa banyak difabel yang difasilitasi ULD atau dinas tenaga kerja jika ULD belum ada.

Menurut Dwi, RAD PD menjadi dokumen perencanaan dokumen RPJMD dan di RAD sampai mendetailkan termasuk ada perubahan substansi serta kewenangan daerah, terkait hak politik, difabel ketika berhadapan dengan hukum, dan tidak adanya perlindungan ketika terjadi kekerasan. Seperti ketika di RAN, kalau belum  ada satu psikiater maka rujukannya ke provinsi misal diberi telemedicine atau layanan seperti apa. Juga terkait kesehatan reproduksi dan kesehatan sosial bagi difabel bagaimana tersedia. Kaitannya dengan seni dan budaya, saat diskusi dengan Kementerian Kebudayaan disarankan untuk mengubah seni menjadi kebudayaan.

Dwi  menambahkan, yang sudah dilakukan yakni analisa, masalah mana yang harus diutamakan dan direspon terlebih dahulu dengan menggunakan pendanaan, tinggal bagaimana sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Bukan berarti di pemerintah mengesampingkan permasalahan-permasalahan yang lain.

Terkait dengan peran kabupaten/kota, juga menjadi poin yang disampaikan bahwa di PP 70 tahun 2019 dan juga penetapan RAD DPD  provinsi, provinsi itu ditempatkan sebagai pemerintah, atau administrasikan juga pelaksanaannya di kabupaten/kota.

Artinya pemerintah provinsi berkoordinasi dengan kabupaten/kota di dalam proses penyusunan RAD PD provinsi, sehingga secara substansi juga membuat hal-hal yang diamanatkan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk pelaksanaannya.

Isu yang  pertama adalah pendidikan yang meliputi pendidikan dasar dan menengah, pemerintah daerah punya kewajiban untuk memastikan sekolah ini aksesibel untuk seluruh ragam disabilitas. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah hanya punya kewenangan untuk SMA tetapi bagaimana  perencanaan dan pelaksanaannya, serta proses pemantauan dan evaluasi jadi nanti pemerintah kabupaten/kota diharapkan mencermati di dalam dokumen RAD PD. Kewenangan yang seperti apa, kembali ke masing-masing 35  kabupaten/kota.

Proses penyusunan RAD PD ataupun juga pelaksanaan mengedepankan proses-proses partisipatif dan di dalam PP 70 tahun 2019 dan Permen 3 tahun 2021 juga sudah ditetapkan adanya forum tematik disabilitas. Bappenas sangat mengapresiasi Jawa Tengah yang juga secara terus-menerus selalu melibatkan organisasi penyandang disabilitas.

Terkait dengan target prioritas sebenarnya target prioritas perlu dielaborasi untuk sasaran strategi kesatu dan Bappenas tetap mendorong penyediaan data dan juga kepemilikan dokumen kependudukan bagi seluruh penyandang disabilitas. Bappenas sering mendengar dari organisasi penyandang disabilitas  permasalahan bahwa mereka sudah memiliki NIK tetapi tidak terdata sebagai penyandang disabilitas.

Secara kepemilikan dokumen Adminduk, sudah 98% di tingkat nasional tetapi jumlah penyandang disabilitas secara nasional baru 750. 000 berbanding dengan data dari DT SEN, jumlah difabel Indonesia per 2025 itu ada sekitar 15, 5 juta, masih  pakai data sensus yang secara angka paling kecil populasinya. Pendataan ini bisa menjadi prioritas karena harus ada kepemilikan Adminduk, sedangkan Bappenas sedang mengubah arah  adanya penerbitan kartu difabel yang terintegrasi dengan  data dari dukcapil.

Sasaran strategis kedua, Bappenas mengharapkan dari sisi fasilitas publik baik sarana prasarana fisik ataupun juga di ASN ditekankan layanan kepada publik itu juga bisa dipastikan sensitivitasnya atas kebutuhan difabel. Sasaran strategis ketiga selain hak politik terkait dengan upaya perlindungan terhadap kekerasan bagi difabel dan sasaran keempat  masih banyak terkait dengan habilitasi dan rehabilitasi menjadi agenda Bappenas untuk memastikan adanya perluasan cakupan perlindungan sosial bagi difabel. Bentuk perlindungan sosial seperti apa yang tepat untuk difabel karena selain mempertimbangkan ragam disabilitas juga harus mempertimbangkan bagaimana bantuan sosial ataupun perlindungan sosial ini dipengaruhi oleh seberapa tingginya misalkan untuk disabilitas  harus ada spesifikasi bentuk-bentuk asistensi dari pemerintah.

Sasaran strategis kelima,  kembali menuju kepada apa yang sudah ditetapkan di RPJMN  untuk memastikan pencapaian akomodasi bagi difabel, presentasenya  yang bekerja di sektor formal dan ketika bicara tentang sektor informal tentu tidak hanya pemenuhan kuota 2% untuk BUMD dan juga pemerintah daerah.

Untuk sasaran  pendidikan, keterampilan,  masih mengupayakan adanya penyediaan akomodasi yang layak kemudian memastikan sekolah-sekolah bisa menerima difabel untuk bisa menjadi peserta didik. Terkait dengan vokasi bagi difabel dan partisipasi untuk olahraga  juga kebudayaan, yang dimasukkan bukan hanya olahraga untuk kompetisi tetapi juga olahraga yang sifatnya rekreasi. Jadi kalau hanya untuk olahraga yang sifatnya menjaga kebugaran atau hobi itu juga tetap harus difasilitasi.

Sasaran strategis ketujuh, pemerintah daerah sangat membuka ruang untuk bisa memprioritaskan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Ini menjadi diskusi antara Bappenas dengan kementerian/lembaga bagaimana menerjemahkan pencapaian SPM karena sebenarnya yang menjadi catatan dari Bappenas adalah pencapaian itu diukur dari realisasi tetapi belum ada upaya untuk menghitung sebenarnya apakah realisasi itu menggambarkan pencapaian di dalam memberikan layanan kepada difabel. Secara populasi  misalkan contoh saja, di SPM untuk rehabilitasi sosial ditargetkan bagi 100 difabel di Jawa Tengah, ada sekitar 15 orang difabel. Itu sebenarnya masih jauh, artinya masih menjadi "PR" bagi Bappenas dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mendiskusikan. Tetapi Bappenas mengharapkan di dalam RAD PD provinsi ini tidak kemudian 100% juga. Harapannya, dengan SPM, mendorong untuk  pencapaian atau cakupan layanan yang lebih menyeluruh kepada seluruh populasi  disabilitas di provinsi Jawa Tengah.

 

35 kabupaten/kota di Jawa Tengah Bisa Ikut  Kolaborasi dan Sinkronisasi Kebijakan Program

Fatimah Asri, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas  (KND) dalam Konsinyering RAD PD  Provinsi Jawa Tengah saat konsinyering hari pertama mengungkapkan hal-hal yang dilakukan oleh KND antara lain  mendorong penyusunan kebijakan serta perencanaan dan penganggaran disabilitas. Hal itu dilakukan mulai dari kabupaten/kota atau provinsi yang belum memiliki payung hukum, misalnya Perda.  Adanya Perda akan memperkuat peraturan lainnya. Undang-undang  nomor 8 tahun 2016  harus memperkuat keputusan gubernur atau bupati/walikota. Jadi kalau disebutkan bahwa penyusunan RADPD ini seakan-akan wajib bagi provinsi saja, tetap harus dilihat pada praktiknya ada komitmen baik. Artinya pemerintah dan pemerintah daerah memiliki  keputusan untuk membuat RAP PD di tingkat kabupaten/kota.  Ia menambahkan kalau dalam pantauan KND, ada dua kota telah menyelenggarakan RAD PD yakni Kota Makassar dan Kabupaten Klaten. Menurut Fatimah Asri, artinya sebuah keniscayaan ketika kemudian 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah juga ikut kolaborasi dan sinkronisasi kebijakan program dan kegiatan lintas sektoral.

Fatimah juga menjelaskan terkait pembangunan inklusif, bahwa ini sebuah pendekatan pembangunan yang mengutamakan keterlibatan atau partisipasi seluruh lapisan masyarakat diantaranya adalah penyandang disabilitas. Mengapa dalam sebuah pembangunan pelibatan itu menjadi sangat penting karena secara normatif tercantum dalam undang-undang dasar. Komitmen ini memastikan semua segmen masyarakat dapat merasakan manfaat.

Fatimah mengungkapkan jumlah penyandang disabilitas dari keseluruhan jumlah penduduk Jawa Tengah ada 37 juta kemudian Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) adalah  73, 8. Menurutnya, ini angka yang cukup tinggi dan di  Jawa Tengah  masuk dalam 10 besar terbaik  pembangunan versi KPU.  Tetapi ketika bicara tentang fakta, data menunjukkan bahwa kelompok difabel  masih tertinggal dalam pendidikan.

“Keterlibatan teman-teman dalam dalam penggaliannya aspirasi memberikan masukan kontribusi untuk pembangunan mulai dari pembicaraan hingga pada evaluasinya ini juga adalah salah satu bentuk koordinasi dalam memberikan apa dan dalam juga menentukan arah kebijakan,”jelas Fatimah.

Terkait program prioritas, ketika bicara teknologi, pendidikan, kesehatan dan peran pemuda disablitas,  menurut Fatimah, sasarannya teman-teman difabel sendiri.  Artinya program prioritas nasional ini sudah mulai spesifik menyebutkan bahwa peran penyandang disabilitas itu harus ada. Juga perlindungan dari kekerasan bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia ini sebenarnya bagaimana provinsi memiliki strategi dalam melakukan koordinasi yang sangat koordinatif, bahkan harus kondusif. Maka peran pemerintah daerah dan  organisasi penyandang disabilitas dalam konteks ini sangat penting misalnya ketika kabupaten/kota punya kewenangan SD SMP serta SMA dan SLB  di provinsi. “Karena banyak temuan ketika KND melakukan pemantauan di daerah, menemukan tantangan yang sangat krusial misalnya ada SLB di kabupaten/kota dan jarak ke ibu kota provinsi itu ratusan kilometer,”pungkas Fatimah. (Ast)