Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Kota Surakarta telah memiliki Perda nomor 2 tahun 2022 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang disahkan pada 9 Mei 2022. Hal ini menjadi pengayaan, salah satunya tentu bagi dinas terkait yakni Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Surakarta.



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Beberapa hal penting terkadang luput dari perhatian kita, padahal hal tersebut sering terjadi misalnya keluarga yang kehilangan anak difabelnya alias mereka pergi dari rumah tanpa izin. Proses kepergian tersebut bukan sengaja tetapi kondisi karena kedisabilitasannya. Padahal ketika pergi ini menjadi suatu persolan.  Lalu bagaimana upaya agar anak-anak tersebut terjamin keamanannya? Eka Prastama, komisioner KND dalam sebuah zoom meeting menyatakan bahwa WHO memasukkan alat bantu sebanyak 50 jenis dan alat bantu tersebut untuk difabel. Yang jadi persoalan adalah bagaimana kita dapat mengakses alat bantu tersebut yang menjadi solusi bagi anak disabilitas yang sering keluar rumah.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Perempuan dan anak penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami trauma sehingga memerlukan penilaian personal (asesmen personal). Mereka mengalami hambatan baik pada sarana dan prasarana serta hukum acara. Bahkan ada marjinalisasi, sub ordinasi, stigma serta dianggap aib. Beberapa problema saat mengakses peradilan pada perempuan dan anak disabilitas adalah ketiadaan teks, di sinilah kemudian penilaian personal dilalukan. Lalu bagaimana sistem rujukan bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum?


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Perlu adanya berbagai bentuk sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) karena undang-undang ini sudah ditunggu oleh masyarakat. Selain itu perlu juga implementasi ke semua aparat penegak hukum. Begitu sambutan Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam sambutan pada webinar perlindungan bagi penyandang disabilitas dalam UU TPKS yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Kamis (16/6).

Hal senada juga disampaikan oleh Willy Aditya, Ketua Baleg DPR RI, yang menyatakan bahwa  RUU PKS kemudian menjadi UU TPKS adalah kerja bersama antara eksekutif dan partisipasi masyarakat. UU TPKS  hadir memberi kepastian hukum bagi kelompok rentan. Termasuk  menjadi titik penting menurut Willy, bagaimana undang-undang ini adalah melindungi penyandang disabilitas. Pasal norma krusial pasal 40, pasal 45 ayat 4. Di situ memuat keterangan saksi penyandang disabilitas  memiliki kekuatan hukum serta pasal 65 ayat 5 poin e. Pasal tersebut menyediakan kebutuhan khusus sesuai kondisi penyandang disabilitas.

“Perjuangan kita tidak berhenti sampai di sini. Membangun budaya literasi yakni pertama di APH dan masyarakatnya, pada APH yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lain-lain karena mereka memiliki sendiri korban disabilitas. Selanjutnya kita menunggu 5 aturan turunan yakni PP,” terang Willy.

Sementara itu dalam webinar, Yeni Rosa Ketua PJS menyatakan bahwa pihaknya pernah berkonflik dengan Komnas Perempuan. Terkait pasal usulan.  Akhirnya pihaknya membuat daftar isian masalah (DIM) sendiri dan posisioning serta konsinyering dengan berbagai pihak. Ada banyak pasal yang mereka perjuangkan. Juga terkait tentang kesaksian, sebab hal tersebut menyulitkan penyandang disabilitas. Lalu  pada tanggal 5 April 2022 pihaknya mendapatkan draft terakhir kemudian hal yang dilakukannya adalah beberapa kali bertemu dengan menteri beserta berbagai pihak dan melakukan diskusi habis-habisan.

Advokasi terhadap RUU TPKS sudah dilakukan oleh PJS semenjak rancangan RUU TPKS dibahas oleh DPR RI periode yang lalu (2014-2019). Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dan PJS terlibat aktif dalam memberikan input terhadap draft RUU TPKS masa itu yang difasilitasi oleh Komnas Perempuan. Yeni Rosa menyatakan bahwa mereka sempat ada konflik dengan Komnas Perempuan tentang pasal 104 yang berisikan pasal diskriminatif yang menyatakan bahwa pemaksaan kontrasepsi terhadap perempuan penyandang disabilitas mental bukanlah tindak pidana, asal dimintakan oleh keluarga dan disetujui oleh dokter. Komnas Perempuan akhirnya mencabut pasal itu dari draft. (Ast)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Pagi itu, Sobirin, Joko, dan Ira beserta delapan belas disabilitas netra lainnya duduk melingkar tepat di sebelah utara Bendungan Tirtonadi, tepatnya dekat dengan genset. Mereka baru saja menyeberang bendung dengan melangkahkan kaki ke jembatan dan disertai oleh relawan. Dengan kondisi untuk menjaga ketahanan dan keselamatan jembatan serta mengurangi risiko kerusakan, maka para peserta diminta secara bergiliran saat menyeberang. Sehingga semua tidak tertumpu di jembatan. Para teman netra tidak membawa tongkat putih saat itu. Mereka memperkirakan jarak dengan bentangan tangan, sedangkan lantai jembatan berupa besi bermotif dan berlubang-lubang bisa disentuh dengan jari untuk melihat teksturnya.