64 Tahun Myra Diarsi dan Pengartian atas Ratu Adil

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Myra Diarsi , seorang aktivis perempuan yang juga pernah menjadi komisioner Komnas Perempuan,hidup di Kota Surabaya sewaktu kecil dan melihat adanya ketimpangan, ketidakadilan, dari mulai hal yang privat seperti saat menstruasi yang tiba-tiba tidak boleh shalat atau melihat kehidupan para laki-laki yang sudah menikah tetapi ia boleh menikah lagi. lalu meninggalkan keluarga, Di usia yang ke-64 atau tumbuk ageng ia ingin membuat sesuatu lalu lahirlah anak-anak asuh di Kalyana Mitra menyusun acara perjumpaan lewat zoom meeting.

Berlatar belakang masa kecil seperti itu,maka kala itu Myra Diarsi menyadari bahwa kehidupan sosial penuh dengan ketimpangan. Sejak itu pula kata keadilan langsung bertengger dan ia mencari pemahamannya bahwa sebetulnya adil itu apa. Kemudian yang diajarkan di sekolah saat itu dan di ajaran agama juga adil tetapi yang tampak di realitas berbeda. "Kata "adil" saya gembol dan dalam masa-masa sekolah saya sudah mendengar kata Ratu Adil ketika itu di zaman pemberontakan, zaman perang, Itu ada slogan "kita menantikan ratu adil ada". Kemudian ketika keadilan yang saya cari lantas ada diskursus atau tema yang saya cari "ratu adil" , saya jadikan patokan hidup." pernyataan Myra Diarsi di acara spesial ulang tahun ke-64 atau tumbuk ageng yang diselenggarakan via zoom meeting dan tayang di YouTube LetssTalk_Sexualities beberapa waktu lalu.

Myra lalu membaca karya Sindhunata, Anak Bajang Menggiring Angin lalu Ratu Adil, Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik. Menurutnya ada dua hal penting, mengapa Ratu Adil? Kenapa bukan Raja Adil lalu ia membaca dengan seksama. Di setiap situasi ketertindasan Sindhunata meneliti hal penting yang sering diabaikan oleh teman akademisi dan intelektual.

Dalam sejarah wong cilik, penantian Ratu Adil yang ternyata bukan sesosok tetapi kualitasnya ratu, feminim. Penantian Ratu Adil dalam pengalaman-pengalaman keterpurukan, diskriminasi dan pengalaman- pengalaman yang sarat dengan ketidakadilan dan kesengsaraan. Di situlah wong cilik punya daya karena dia punya harapan menanti datangnya Ratu Adil dibuktikan di beberapa perang. Penantian Ratu adil bukan khayalan dan bukan utopia dan bisa ditelusuri dari ide kaum cilik ini dalam daya peperangan.

Ketika Myra meneliti wong cilik maka ia menemukan potensi emansipatoris dalam diri mereka atau yang tertindas untuk punya daya membebaskan. Ratu Adil ini seperti "soul of hope" atau asa untuk perubahan. Jiwa untuk menghadapi dan menginginkan untuk suatu perubahan. Myra menambahkan bahwa si buku Romo Sindhunata tidak menyebutkan tentang perempuan. Menurutnya itu kekhasannya tetapi ia akan langsung membidik kalau perempuan sebagai wong cilik dan sebagai sebab karena pengalaman yang ada padanya seperti disabilitas yang didiskriminasi karena tubuhnya, bagaimana mereka memaknai keadilan. Apakah konsep "soul of hope" itu terlintas di benaknya. persis ketika mengalami keterpurukan dan akhirnya mereka bertahan dan mencoba bangkit.

Berlatar belakang bahwa buku Ratu Adil belum membahas perempuan. maka Myra berinisiatif mendengar dari para perempuan dari segala interseksinya. Mereka orang-orang yang mengalami ketidakadilan dari pilihan. politik, pilihan hidup, pekerja seks. pilihan orientasi dan ekspresi gender dan sosial. Dan bagaimana anak-anak remaja memaknai keadilan. adakah "soul of hope" tidak terlintas atau bagaimana.

Kesaksian dari Dewi Nova, penyintas perkawinan poligami mengawali cerita. . bagaimana tawaran poligami menghampiri hidupnya. Ia diajak poligami ketika masih berstatus mahasiswa. Pertama kali oleh guru ngaji, kemudian ajakan kedua oleh adik kelas. Mereka menawarkan jika ia jadi istri kedua.

Dewi ingin sampaikan bahwa ia ingin ada interpretasi tentang poligami yang sayangnya itu interpretasi mainstream yang diyakini oleh individu-individu dan ini berkaitan bahkan oleh negara meski ada syarat-syaratnya, bahkan yang membenarkan oleh orang yang melakukan poligami dan dijadikan payung hukum oleh muslim.

Dewi menambahkan jika ia menghadapi poligami itu ada lapisan misalnya sebut saja sebagai kekasih, pasangan atau sengaja muslim atau warga negara yang ada di Undang-undang Pekinan bagi calon istri kedua. Mereka merasa sudah sangat baik dan melanjutkan prosedur undang-undang dan melanjutkan interpretasi. Ini tidak adil sebab mengapa keputusan seperti sudah diambil oleh interpretasi arus utama. Dan ini seperti ditopang oleh Undang-undang Perkawinan dan interpretasi agama.

Padahal Dewi mengamati peristiwa nyata keluarga yang jadi istri pertama dan kedua, menurutnya jauh dari hidup tenteram dan bahagia. Ia lalu mulai menyadari dan berhitung kontradiksi antara nilai-nilai dan cita rasa kemanusiaan dengan apa yang diinterpretasikan oleh arus utama.

Sampai detik ini ia meyakini bahwa poligami bertentangan dengan rasa kemanusiaannya, juga transenden hubungannya dengan nur ilahi. karena ia percaya sifat Allah yang maha kasih dan adil tak satu pun yang sejalan dengan poligami.

Kompilasi hukum Islam yang membolehkan poligami jika di salah satu unsur tidak memenuhi sebagai isteri itu bertentangan dengan yang ditemukan oleh Prof Musdah Mulia  di Alquran, justru disebutkan "apabila kamu memiliki kelemahan jadikan itu semakin mendekatkan kepada kemanusiaan."

Olvi dari Sopan Sumba berbicara soal keadilan berpolitik sosial dan hukum yang terkait. Arti keadilan yang benar dan sesuai yakni mereka yang tertindas terpinggirkan. marjinal. orang-orang yang belum menyentuh keadilan bagi mereka. Berdasarkan nilai Pancasila. dan berbicara tentang keadilan di Sumba, mendengar Kawin Tangkap itu sangat jauh dari keadilan.

Terkait dengan perempuan sebagai korban atau pelaku atau saksi maka negara wajib memastikan mereka mendapatkan keadilan dari diskriminasi. Ada kasus perkawinan anak di bawah usia, namun tidak ada titik terang. baik itu korban maupun saksi di mata hukum. justru korban jauh dari kata perlindungan. Korban malah dipermalukan dengan victim blaming. Korban dapat pertanyaan menyudutkan pasti merasa takut.

Sepanjang Olvi lakukan pendampingan dan banyak kordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH), kadang negosiasi dengan APH di luar ia sebagai pendamping sehingga memberi ruang pengulangan lagi bagi pelaku.

Tidak adanya efek jera bagi pelaku ketika korban alami .kasus kawin tangkap adalah kasus yang didampinginya pula

Pengalaman lainnya dari Laksmi, korban KDRT yang mengartikan ratu adil bukan sosok seseorang tapi situasi yang dimulai dari diri sendiri. Ia feminis sejak belasan tahun lalu berpikiran bahwa masing masing diri perempuan adalah ratu adil. Laksmi tidak melihat kalau lingkungannya ada keadilan. sebab
patriarki sangat kuat dan sangat sulit menentukan keadilan.

Laksmi berjuang mengkampanyekan dengan bahasanya dengan perform artist dan akan etap menyuarakan sampai kapan pun. Menurutmya ratu adil sangat bisa dijangkau dan ia akan tetap memperjuangkan dimulai dariharus adil dengan diri sendiri.

Tia, seorang janda, menyatakan jika ratu adil kadang adil kadang tidak. Masyarakat yang menganggap positif dan negatif pasti ada. Jadi seorang janda sering dianggap hina dan rendah. juga dianggap negatif. Sebagi janda ia dianggap perempuan lemah, tak berdaya dan suka menggoda suami orang.

Lisa, seorang pekerja seks mengakui jika ratu adil sedang tidak berpihak kepadanya. Masyarakat memandang, "kok seperti tidak ada pekerjaan lain?" ratu adil seperti dirinya merasa banyak yang tidak menerima keadilan. Mereka tidak tahu pekerjaan apa dan mereka hanya tahu mereka dianggap sampah masyarakat. Lantas ratu adil yang ia inginkan, ia ingin hidup yang lebih baik. "Anak saya pertama dan kedua kuliah, yang ketiga SMP. Mereka berhak mendapatkan keadilan dan tidak melihat latar belakang orangtuanya," ungkap Lisa.

Demikian pula yang dikatakan Ajeng, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT). bahwa ratu adil seperti khayalan, pemimpin yang harusnya memperjuangakan nasib perempuan. Ratu adil itu harusnya semua pemimpin memperjuangkan keadilan yang berjuang untuk kesejahteraan. Dirinya sebagai PRT bisa memperjuangkan hak wong cilik yang diabaikan oleh DPR. Ia dan kawan-kawan berjuang pengesahan RUU PPRT selama dua puluh tahun belum disahkan.

Maya, lesbian keluar dari rumah dan bergabung dengan suara kita. Ia menyatakan jika ratu adil yang ia jumpai sebagian pada manajernya karena sangat mengerti keadaannya. Namun sebaliknya perlakuan itu tidak ia jumpai pada keluarganya.

Echi dari kelompok LGBT dan aktif di isu HIV AIDS bergabung dengan Suara Kita berupaya dengan membuat KTP dan BPJS kesehatan bagi ODHA. Ia mengolah shelter lansia merepresentasikan ratu adil masih minim di teman transpuan, karena ada diskriminaai dan upaya yang dilakukan sebagai petugas lapangan selalu melakukan advokasi.

Pamikatsih, difabel pegiat isu perempuan merepresentasikan ratu adil sebagai keseimbangan yakni hidup sebagai pribadi dan makhluk sosial. Menurutnya keadilan belum didapatkan. Sebab di Indonesia difabel tidak diakui baik struktur kecerdasan, agama dan dan negara. Sampai tahun 2016 lahirlah UU Penyandang Disabilitas lalu ada GEDSI. Namun setahun terakhir GEDSI serasa hilang karena tidak ada pemahaman pemerintah.

Ruel,anak siswa SMP mengemukakan sebagai korban perceraian orangtua yang ayahnya tiba-tiba pergi. Setelah beranjak besar ia tahu jika orangtuanya bercerai. Jika sebelumnya yang bekerja adalah ayahnya. Setelah bercerai, ibunya yang bekerja dan harus ekstra karena harus menghidupi tiga orang anak dan Ruel sulit untuk punya waktu bicara. Ia merasakan kesulitan ketika dalam pelajaran PPKN ia disuruh membuat pohon keluarga dan membuat surat untuk orangtua. Menurutnya beban ibunya berat sehingga ia tidak mau membebani lebih berat lagi dengan bercerita lalu ia lebih terbuka dengan orang lain untuk bercerita. Ruel merasa tidak adil mengapa ibunya bekerja terus sehingga tidak punya waktu untuknya dan adiknya serta jarang menghabiskan waktu bersama.

Pernyataan juga datang dari Hidayah, perempuan nelayan dari Semarang yang juga pendamping korban KDRT termasuk baru-baru ini mendampingi korban kekerasan seksual yang korbannya hamil kemudian melahirkan. Ia juga berjuang melakukan perlawanan untuk merebut akses bagi sumber-sumber laut bagi kelompok nelayan perempuan

Lilis, pegiat isu perempuan mengapresiasi berbagai pengalaman yang beragam dari para perempuan menyatakan bahwa pada malam diadakannya zoom meeting tersebut ia melihat bagaimana perempuan itu tidak hanya sebagai korban tetapi tetapi justru perempuan memiliki kekuatan yang ada pada dirinya untuk memperebutkan ruang hidupnya dan memperebutkan agensinya. Dan ia merepresentasikan bahwa teman-teman yang memberikan pernyataan itulah ratu adil yang sebenarnya. (Ast)