Kekerasan Seksual di Kalangan Aktivis

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Persoalan kekerasan seksual adalah persoalan serius tetapi saat ini  jarang orang berbicara Kekerasan Berbasis Gender, KDRT dan Kekerasan dalam Pacaran (KDP).

Sebuah situasi paradoks ditunjukkan di kalangan aktivis sebab pelakunya aktivis, misalnya seorang dosen, tokoh masyarakat di institusi agama dan lain-lain.  Sebenarnya ada beberapa aktivis yang tahu atau "tahu sama tahu" ada perlakuan kekerasan dalam berbagai bentuk. Juga kekerasan berbasis gender yang tidak tampak atau tidak secara langsung mereka lakukan misal olok-olok seksis kepada minoritas gender melalui candaan. Orang yang melakukannya biasanya berdalih "saya kan bercandaan". Termasuk perilaku KDRT salah satunya poligami yang dilakukan oleh tokoh. Juga perilaku romantic relationship padahal sudah punya istri.

Di kalangan aktivis sering terdengar aktivis HAM pelaku perselingkuhan. "Saya sering  kaget. Kenapa kita kritis kepada pelaku tetapi ketika aktivis menjadi pelaku kita biarkan. Seringkali juga institusi atau lembaga melindungi untuk menyelamatkan gerakan atas nama baik institusi HAM tersebut," demikian kata Diah Irawati  founder  LettsTalk Sexualities di IG Live yang menghadrikan Eko Bambang Subiantoro, founder Aliansi Laki-Laki Baru , Sabtu (11/2)

Lalu apakah ada mekanisme kontrol misal.SOP atau kode etik di kalangan aktivis? Eko Bambang memgatakan bahwa seorang  aktivis bekerja dengan nilai. Selama nilai ada mestinya itu harusnya jadi kontrol. Ia berharap diperbanyak narasi seperti ini sehingga bisa digunakan sebagai kontrol. Ruang kerja aktivis itu bukan tidak ada yang kontrol karena terkait kepercayaan masyarakat. Masyarakat menaruh harapan pada aktivis. Kalau tidak bisa diharapkan terus bagaimana sebab bagaimanapun masyarakat menaruh harapan. Ruang KDRT dan Kekerasan lainnya menurut Eko Bambang layaknya ruang labirin yang tidak mudah. Tapi hal itu tidak mungkin untuk diungkapkan. Tema LettsTalk_Sexualities kali ini menurutnya relevan dan harusnya seterusnya bisa dilakukan apalagi aktivis adalah harapan masyarakat karena mereka membawa prinsip HAM. Aktivis bertugas  membawa nilai kemanusiaan. Sudah seharusnya mereka jadi bagian dari orang yang mengadvokasi. Harusnya ada intergitae yang harus dijaga komitmen dan dedikasi. Eko bilang bahwa ini autentikasi.

Termasuk Kode Etik Politisi

Diah Irawati menambahkan bahwa kita harusnya tahu dan internalisasi dilakukan sehari-hari baru disyiarkan (disampaikan kepada masyarakat). Bukan hanya aktivis  tahu lalu tanpa menginternalisasi  lalu  mensyiarkan.  Lalu siapa yang bisa dikategorikan aktivis? mereka yang berjuang dan terlibat aktif dalam perjuangan-perjuangan nilai. Bisa dalam satu organisasi maupun individu. Setiap orang sekarang bisa jadi aktivis dengan kemajuan media. Akses publik bisa langsung ke masyarakat. Lembaga-lembaga sosial apapun termasuk lembaga HAM,  ketika individu atau kelompok yang diperjuangkan adalah nilai. Mereka bisa dianggap  aktivis juga.

Para aktivis baik individu maupun di organisasi  termasuk politisi mesti memperketat rambu-rambu. Para aktivis  harus aktif  bahwa mereka yang setiap hari bicara gender, apakah dia pelaku atau tidak.

Termasuk acara LetssTalk adalah bagian yang sudah disebut di atas yakni aktivis. Diperlukan juga adanya  kesepakatan sebab kita tidak bisa mengontrol. Misal pada individu yang bergerak, aktif memperjuangkan nilai. Misalnya isu tersebut sudah melenceng dan kita mengetahui namun dalam aktivitasnya dia melakukan pelanggaran. Kita bisa memberi hukuman misal ia tidak layak bicara gender.

Diah Irawati menekankan kenapa ia menambahkan waktu ia membuka percakapan supaya ada kampanye kesetaraan gender yang banyak diomongkan orang. Apakah ini kemudian jadi fenomena. Ira menanyakan selama 20 tahun lebih sebagai aktivis apakah Eko Bambang  alami peningkatan.

Eko bercerita waktu menjadi edotor.di Jurnal Perempuan dalam satu sesi diskusi mengundang narasumber tak berapa lama terbongkar bahwa  dia pelaku poligami. Dan itu mengecewakan baginya. Yang ia tahu bahwa jika di antara teman-teman sebagai pelaku maka dikeluarkan/dipecat. Tidak diaktifkan lagi di organisasi. Namun berapa persennya ia tidak punya data lengkap. Beberapa kali ia bertemu aktivis HAM dan aktivis perempuan yang bicara tentang hal itu tetapi ia  tidak punya data dan hanya memiliki satu catatan.

Baginya sebagai  seorang aktivis, mestinya membangun relasi di kalangan keluarga sendiri adalah urgen dan  itu include serta saling support. Autentifikasi  aktivis ada disitu. Jadi jika ada seorang istri aktivis yang merasa diabaikan dalam keluarga itu juga bagian dari kekerasan. Diakui bahwa tidak ada data juga  kajian terkait kekerasan seksual. Ada sebuah kasus dillakukan banyak oleh aktivis justru aktivis yang membikin Ruang Aman

Banyak aktivis HAM di dalam rumah lakukan kekerasan misalnya psikis. Termasuk hubungan romantis dengan aktivis lain.Mengapa ini tidak terkekspos?

Mengapa mereka melakukan paradoks?

Eko menjawab bahwa masyarakat menganggap hal aneh dan masih berkembang persepsi  tentang aib keluarga. Jadi akar persoalan tidak hanya di kalangan aktivis. Juga adanya relasi yang tidak seimbang. Kalau masyarakat umum sebagai target sosialisasi itu nyata tetapi kalau pelaku aktivis ini yang menjengkelkan. Sehingga muncul istilah "HAM hanya di depan pintu".  Harusnya HAM juga di kamar tidur bagi suami dam istri isehingga tidak terjadi marital rape. Dan pelakunya sebagian besar adalah laki-laki yang konstruksinya dibentuk sebagai orang yang punya privilese. (Ast)