KUHP Pengaruhi Hak Informasi dan Ruang Ekspresi (2)

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Lutfiana dari Mubadalah.id,masih dalam siaran terkait KUHP di YouTube @Berita KBR, menyatakan bahwa di medianya menggunakan istilah kontributor dan di Undang-undang Pers istilah kontributor juga masih menimbulkan polemik karena kontributor tidak memiliki kontrak dan tidak memperoleh pembelaan saat menghadapi masalah. Mereka  menjadi kontributor karena keinginan mereka yang ingin menyampaikan inspirasi  melalui media.

Terkait  kaidah jurnalistik, menurut Lutfiana di Mubadalah ada perbedaan sedikit terutama di hak-haknya. Salah satu yang dilakukan Mubadalah untuk melindungi para kontributornya yakni dengan melakukan proses review yang panjang. Selama di Mubadalah dari tahun 2020 belum ada yang sampai dituntut lewat hukum. Tetapi banyak hatespeech dan yang diserang adalah website Mubadalah. Mubadalah pernah di-takedown beberapa kali dan input sebagai kontributor hampir seluruhnya diambil alih Mubadalah. “Kami sebagai kontributor dilindungi dengan tidak menyebutkan nama meskipun tulisan kami ada dan kami sering pakai nama samaran tapi ada yang sampai nemu instagramnya dan itu terus dibuntuti dan malah kontributor yang kena hatespeech,”ujar Lutfiana.

Lalu bagaimana cara masyarakat tetap bisa berekspresi tanpa melanggar KUHP yang baru? Ade Wahyudin dari LBH Pers menjawab betul bahwa saat ini ada aturan yang sangat membatasi kebebasan berekspresi tetapi kita juga memiliki aturan umum bahwa menyampaikan fakta bukanlah sebuah tindakan pidana. Artinya kita harus serius dan yakin bahwa yang kita sebarkan adalah fakta. Fakta yang kemudian bukan dengar dari kawan tetapi fakta yang kita yakini sebagai kebenaran. Kalau yang kita sebarkan adalah kebenaran, mau pasal apa pun itu harusnya tidak bisa menjerat secara hukum. “Artinya PR-nya adalah bagaimana kita bersama-sama mendorong literasi media dan informasi dengan benar agar masyarakat tidak menyebar informasi yang tidak pasti dan bukan informasi-informasi bohong. Itu hal yang paling sederhana kita lakukan,’terang Ade.

Pertanyaan mencuat lagi apakah hanya jurnalistik yang dibatasi dan media sosial tidak dibatasi? Menurut Ade karena internet cukup banyak menimbulkan kebaruan sehingga ada media dan media sosial yang secara konteks berbeda. Kalau media, dia pasti dilindungi UU Pers. Kalau media sosial ruang lingkupnya misalnya internet yang ternyata di dalamnya ada media, ini serupa dengan media offline. Kalau offline kita bisa apa pun bisa berekspresi, berniaga, sehingga kalau dalam hukum internasional secara narasi manusia, hak yang paling dilindungi secara offline juga dilindungi secara online. Tidak ada pembedaan itu semestinya. Meskipun praktiknya karena anonimitas di internet itu sangat memungkinkan sehingga ungkapan-ungkapan atau ujaran kebencian itu sangat terlihat jelas di dunia maya dibanding offline. 

Jadi mengapa DPR menganggap sanksi dipidana untuk tindak pidana di online lebih berat? Menurut Ade karena keduanya tidak dibedakan dan karena sama-sama hak yang harus dilindungi.

Di atas disebut jurnalisme warga dan pers kampus merupakan titik lemah KUHP, lalu bagaimana cara mereka bisa melindungi? Apa semua harus lewat sensor? Menurut Towik soal kerentanan justru di teman-teman di luar pers yang punya badan hukum seperti jurnalisme warga, komunitas dan jurnalisme alternatif. Menurutnya justru yang rentan berkaitan dengan agama, kelakarnya kan begini kalau misal kelompok mayoritas mengkritik agama minoritas itu dianggap kebenaran dan itu harus didukung dan akan disupport oleh pandangan mainstream. Tetapi bagaimana jika yang menyampaikan adalah dari kalangan minoritas maka kelakarnya kalau yang mayoritas menyampaikan kebenaran yang minoritas terkait dengan kritis keagamaan maka akan dianggap sebagai memusuhi atau membenci. Itu   kalau menggunakan pasal KUHP karena menyampaikan pandangan yang berbeda dengan pandangan yang dominan keagamaan.

Untuk itu, ungkap Towik, tidak ada cara lain ketika kita menyampaikan informasi kritis terkait isu-isu keagamaan maka sumbernya harus valid dan kredibel jadi tidak menggunakan asumsi-asumsi. Dari sana kita bisa menyampaikan ketika ada kriminalisasi bahwa itu ada dasarnya. Tentu ini tidak bisa lepas dari KUHP. Diskusinya adalah jika di pasal 263 terutama yang menyiarkan, menyebarluaskan, pemberitahuan atau hal-hal berkaitan dengan kritik, itu bisa dianggap sebagai kebohongan. Atau di pasal 264 sebagai informasi yang tidak lengkap, yang tidak pasti atau berlebih-lebihan. Pasal ini yang memang bukan buat teman-teman jurnalis atau media, tapi media alternatif, jurnalisme warga, termasuk Persma menjadi sangat rentan.

Sebenarnya ada upaya dari Dewan Pers sebelum KUHP disahkan dengan membangun komunikasi dengan Kemendikbudristekdikti, bagaimana melindungi persma/jurnalis kampus dengan kebebasan pemberitaannya agar kementerian pendidikan yang harus menjamin karena kampus di bawah Kemendikbudristekdikti sementara Dewan Pers tidak bisa masuk ke dalam lebih jauh ke dalam lingkungan kampus.

 

Jurnalis Harus Jalankan Kode Etik

Dari sisi agama, cara-cara yang bisa dilakukan supaya dapat menghindar pasal multitafsir tetapi pesannya tetap sampai dijelaskan oleh Lutfiana, salah satunya adalah swasensor, dengan menimbang apakah tulisan yang dikirim  di dalamnya itu referensinya kredibel apa tidak karena kritik dengan hatespeech tipis jaraknya. Misalnya menulis tentang cara beragama, itu bukan kritik. Misalnya menulis ke kelompok agama tertentu menanggapi kelompok agama tertentu. Yang mau dikritisi adalah kelompok agama itu dalam mengkritisi cara beragama  seseorang. Yang membedakan itu kritik atau hatespeech itu sebenarnya narasi kontributor. Karena pembaca akan menafsirkan yang lain maka swasensor itu akan lebih ketat lagi. Apalagi kalau akan menyampaikan isu-isu yang di luar dipahami oleh masyarakat umum.

Cara kedua adalah penggunaan referensi harus benar dan bisa dirujuk pembaca. Seperti dulu Mubadalah pernah dikritik karena menulis tentang puasanya orang yang menstruasi. Sebenarnya intinya ajakan untuk mengajak perempuan menstruasi berpuasa tetapi dalam konten itu Mubadalah id menulis oh ada lho ulama yang punya pendapat seperti ini dengan dasar seperti ini. Waktu itu hujatannya luar biasa kepada Mubadalah. Mungkin pemakaian bahasa lebih shoft lagi karena bidang kajian jadi jangan sampai kajian bisa menimbulkan polemik. ‘Kita dalam kajian supaya mudah dibaca dan dipahami. Ini bendanya tulisan ilmiah dan populer,” jelas Lutfiana.

Lain dengan ada yang memberikan tips, menahan jari kalau memang belum terklarifikasi. Sepanjang bisa mengontrol jari maka pasal di atas terhindarkan tetapi jangan menjadi ketakutan untuk membuat kritik, yakni ketakutan menyebarkan kebenaran. Meskipun tubuh kita dikepung oleh pasal-pasal yang dapat mengkriminalisasi, bagi seorang jurnalis, media atau publik, skriningnya adalah dari kita masing masing.

Bagi jurnalis tentu kode etik jurnalistik itu hal yang tidak bisa ditawar . Mengapa? Karena saat karya dipermasalahkan, pembelaan secara hukum tidak terlalu sulit ketika karyanya bermasalah. Begitu pun dengan masyarakat umum/luas. Sepanjang yang disebarkan itu adalah informasi benar dan tetap dikriminalisasi tentu pembelaan secara hukumnya itu tidak sesulit ketika yang disebarkan adalah informasi bohong. Artinya kedua-duanya memiliki kriminalisasi tetapi secara pembelaan akan lebih menguntungkan bagi yang memang taat kode etik dan bisa menyebarkan informasi yang benar. 

Lewat Towik dijelaskan bahwa Sejuk beserta kawan AJI dan lewat Dewan Pers dan seluruh konstituen Dewan Pers seperi PWI, SMSI dll, sudah ada panduan. Panduan meliput isu keberagaman dari penggunaan diksi , judul dan penggunaan gambar, foto dan sebagainya termasuk di online ada ketentuan meliput isu keberagaman karena Dewan Pers mensahkannya. Ini akan menjadi semacam panduan buat kawan media, jurnalis yang menganggap agama isu sensitif. Poinnya adalah sama-sama optimis dan jangan diliputi ketakutan dan kecemasan karena kalau misal prinsip dijalankan dengan benar,sudah ada ketentuan yang dijalankan. Kedua, penting untuk melakukan konsolidasi di masyarakat sipil terutama kelompok minoritas yang mengalami persoalan kriminalisasi semakin mempererat perlindungan prinsip-prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi yang sekarang jaringannya adalah LBH Pers semakin baik. Terakhir, terutama jurnalis di daerah yang akses kekuasaan atau untuk mendapatkan kebebasan persnya jauh ini juga harus mulai diinformasikan mekanisme-mekanismenya, agar kekhawatiran dan kecemasan tidak berlebihan. 

Terkait kontributor Mubadalah yang tidak punya surat kontrak dan tidak mendapat perlindungan mungkin tidak memiliki pembelaan ketika menghadapi masalah.Tim AJI mulai melihat bahwa jumlah kontributor sangat banyak jadi bagaimana kontributor memiliki haknya sebagai jurnalis . Kedua meskipun banyak tantangan yang akan dihadapi ke depan tetapi sebagai kontributor yang menulis isu keagamaan tidak ada alasan untuk mundur. Publik masih butuh para kontributor keagamaan dan jangan membuat  berhenti berkarya.(Ast)