Urgensi Bansos Bagi Kelompok Rentan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Konsep dan definisi kelompok rentan yang ada di Undang-Undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5 meliputi orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Aturan kelompok rentan juga termaktub dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana,Pasal 55 yakni bayi, balita,anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, penyandang cacat, dan orang lanjut usia. Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga memua kelompok rentan yakni : Ibu, bayi, Anak Remaja, Lanjut Usia, Penyandang Cacat. Aturan terbaru tentang kelompok rentan adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang RAN HAM 2021-2025 yakni perempuan, anak, penyandang disabilitas dan kelompok masyarakat adat.

Kategori kelompok rentan dan dampak eksklusi  sosial juga masuk dalam  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Sosial Eksklusi menggambarkan keadaan di mana individu tidak dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan/atau berpartisipasi dalam kehidupan komunitas dapat secara langsung memiskinkan kehidupan seseorang (Sen,2000).

Ada 26 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), dan masuk 7 kategori menurut Permensos Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Maasalah Kesejaheraan Sosial (PMKS) yakni : Kesmiskinan, terpencil, keterlantaran, korban bencana, tuna sosial, korban kekerasan, disabilitas.Sedangkan 13 PMKS  dengan 7 kategori yang berhak mendapat Rehabilitasi Sosial  menurut Permensos Nomor 16 Tahun 2019 adalah Anak Terlantar, Tuna Sosial, Korban Tindak Kekerasan, Disabilitas, Korban Perdagangan Orang, Lansia dan Korban NAPZA.

Catatan tentang profil penduduk rentan di Indonesia, yang tidak memiliki jaminan sosial,dari kelompok disabilitas, laki-laki 41,7% dan perempuan 48,4%, anak laki-laki 45% dan anak perempuan 44%, lansia laki-laki 42% dan lansia perempuan 46%. yang tidak memiliki BPJS Kesehatan lansia laki-laki 16,1% lansia perempuan 18%, anak laki-laki 24,1% dan anak perempuan 23,2% serta disabilitas laki-laki 16,1% dan difabel perempuan 19,2%. yang tidak memiliki kartu keluarga sejahtera anak laki-laki 18,9% anak perempuan 18,3%, lansia laki-laki 15,3% dan lansia perempuan 17,3%. Serta difabel laki-laki 17,1% dan difabel perempuan 18,9%.

 Belum lama ini Bappenas melakukan pemanfaatan data Regsosek-Silani untuk difabel sebagai langkah upaya penjangkauan dan sistem rujukan. Registrasi sosial ekonomi dalam reformasi perlindungan sosial adalah  perlindungan sosial yang adaptif yakni integrasi perlinsos penguatan penyaluran, inovasi pendanaan. Reformasi perlindungan sosial dengan integrasi program perlindungan sosial dengan pemberdayaan sosial ekonomi, kolaborasi lintas program, dan kerja sama dengan bukan pemerintah melalui pengembangan registrasi sosial ekonomi.    

 

Urgensi Kebutuhan Difabel Sebagai Kelompok Rentan

Beberapa urgensi kebutuhan kelompok rentan di Indonesia :1. Pendidikan dan kesehatan. Belum semua fasilitas pendidikan aksesibel dan memiliki kurikulum vokasional yang diperlukan termasuk Sumber Daya Manusia (SDM) pengajar masih terbatas. Kebutuhan akan biaya tambahan untuk terapi dan alat bantu termasuk Perawatan Jangka Panjang (PJP), cek kesehatan rutin dan pemberi rawat. 2. Keuangan inklusi,ketenagakerjaan dan pemberdayaan : upah dan jenjang karir yang tidak diatur dengan jelas dan difabel cenderung sebagai pekerja informal, jaminan ketenagakerjaan dan pensiun yang rendah, akses keuangan yang terbatas akibat minim informasi dan infrastruktur yang memadai, jenis dan cakupan program masih rendah.3. Habilitasi dan rehabilitasi. Program habilitasi dan rehabilitasi yang terbatas dan belum terintegrasi, sistem rujukan tidak terpadu sehingga mempersulit akses. 4. Fasilitas publik, seni dan hiburan. Fasilitas publik minim akses bagi kelompok rentan, akses ke tempat rekreasi, wisata, dan hiburan lainnya tidak akses khususnya bagi difabel. Semua itu ada prasyarat yakni dokumen kependudukan (pendataan).

Yanu Endar Prasetyo dari BRIN dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Penabulu di akhir September 2022 memaparkan  riset. Berdasar pada temuan BPK, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2021, Catatan Media monitoring pemberitaan terkait bansos dari tahun 2020s.d 2022, Hasil Riset systematic review (32 artikel jurnal dari 150 artikel pertama di Google Advanced Scolars dengan kata kunci “COVID-19”and “Bantuan Sosial”, dan Catatan Webinar Indonesia Timur, Webinar Indonesia Tengah dan Webinar Indonesia Barat. Ada lebih dari 18 bantuan sosial yang tergolong baru, yang diberikan oleh Kementerian selama 2020-2022.

Sedangkan permasalahan klasik bansos adalah tidak tepat waktu, tidak tepat jumlah, tidak tepat sasaran, tidak tepat mutu, dan tidak tepat administrasi. Temuan BPK RI tahun 2021 di Kementerian Sosial adalah penetapan dan penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH) dan sembako/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) serta Bantuan Sosial PKH dan Sembako /Bantuan Sosial Tunai tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp. 6,93 triliun. Hal ini disebabkan antara lain karena terdapat Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang tidak terdistribusi dan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tidak bertransaksi bansos PKH dan Sembako/BPNT dengan  nilai saldo yang belum disetor ke kas negara sebesar Rp. 1,11 triliun. (Astuti)