Pamflet via Program Action Lakukan Diseminasi Penelitian dan Launching Buku Saku Kesehatan Jiwa

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Tunggal Pawestri, Direktur HIVOS memberikan sambutan pada diseminasi penelitian dan peluncuran buku saku kesehatan mental yang melibatkan kelompok rentan muda, penyandang disabilitas, orang dengan HIV/AIDS, komunitas anak, pengguna narkotika dan zat terlarang (NAPZA), serta minoritas gender dan seksual pada Selasa (21/6). Saat pandemi menghantam, ada dampak kesehatan juga ekonomi serta dampak isolasi sosial. Khusus kelompok muda dan rentan lainnya. Adanya pandemi terlebih bagi siswa atau mahasiswa, School From Home (SFH) benar-benar berdampak.

Namun permasalahan kesehatan mental ini belum dapat ditangani secara profesional karena layanan kesehatan mental masih belum terakses dengan baik. Hal ini karena ada stigma dari petugas layanan kesehatan sendiri yang memberi penghakiman identitas kelompok rentan serta self stigma di kalangan anak muda tentang kondisi kesehatan mental. Merespon temuan tersebut, Pamflet yang bekerja sama dengan konsorsium ACTION meluncurkan buku saku kesehatan mental.

Menurut Tunggal Pawestri, anak muda mengalami kerentanan dan kesulitan berlapis dalam identitasnya. Dengan memfasilitasi terbitnya buku saku kesehatan mental, diharapkan bisa memberi informasi dan ke depan semoga pemerintah dan masyarakat bisa mengakses.

Masa Pandemi Tidak Bisa Lari

Dalam diseminasi tersebut, terungkap perwakilan dari Pemkab Lombok Timur yang sejak dua tahun sebelumnya menjalankan program Action dan merasakan bahwa pandemi COVID-19 telah berdampak secara multisektor dan tidak bisa dihindari. Apalagi di Lombok sempat ada bencana alam gempa bumi kemudian dibuatlah buku saku tentang kebencanaan. Bagi mereka penerbitan buku saku adalah hal penting untuk pembelajaran. Termasuk mengantisipasi adanya bencana. Dan buku kesehatan mental bisa jadi referensi.

Herlina WCC Savy Amira peserta diskusi menyatakan ada atau tidak ada pandemi masalah yang dihadapi oleh orangtua ada hanya saja saat hal itu terjadi pada waktu pandemi COVID-19, tidak bisa lari. Dan ketika berbicara tentang kelompok rentan harus ada sistem yang membantu. Pendapat itu diperkuat oleh Suksma Ratri dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) bahwa pandemi hanya amplifikasi dari apa yang sebenarnya sudah ada. Problem bukan hanya tentang layanan kesehatan mental yang sudah ada tetapi masih adanya stigma bagi orang yang mengakses fasilitas keswa. Bahkan bagi teman dari komunitas rentan, stigma ini jadi stigma berlapis misalnya jika terjadi pada ODHA, “sudah ODHA, gangguan jiwa lagi.”

Masalah kedua terkait kemampuan finasial ketika mengakses kesehatan mental yang lebih besar dari pembiayaan lainnya. Sedangkan para survovor tersebut ada yang cocok berobat di satu rumah sakit, namun tidak cocok dengan layanan rumah sakit lainnya. ODHA lebih mengalami tripel kerentanan, sebab jauh sebelum pandemi, mereka pun sudah mengalami anxietas/kecemasan. “Saat pandemi berlangsung semua layanan kesehatan di luar sakit karena COVID-19 sulit diakses, meski kita tidak bisa menyamaratakan setiap kasus.” 

Pun para pengguna Napza ketika ada masalah psikologis biasanya naik saat pandemi. Pandemi COVID-19 menjadi pemicu, mereka bertambah menggunakan Napza atau mengalami relaps/kekambuhan. Bagi minoritas gender dan orientasi seks yang berbeda yang bekerja di salon atau para pekerja seks, mereka banyak yang menutup diri dan menimbulkan dampak tersendiri. Pemicu masalah kesehatan jiwa masing-masing berbeda tapi dampak ke depresi ada yang sampai bunuh diri.

Jesus Anam, penulis buku saku kesehatan jiwa menyatakan terkait kesehatan mental, yang belum dilakukan adalah membangun perspektif baru dalam memandang kelompok rentan dengan kaca mata sosial dan human right sehingga tidak ada stigma dan diskriminasi. Terkait stigma dan diskriminasi yang tidak hanya datang dari masyarakat tetapi juga petugas kesehatan sendiri, ada mekanisme salah satunya dengan katarsis. Penyelesaiannya secara adaptif dan non adaptif. Metode katarsis adalah mengekspresikan dengan cara bernyanyi, menulis, melukis dan lain sebagainya. Hal itu bagian dari copping atau mengatasi.
(Astuti)