Meninjau Kembali Pasal Penodaan Agama di RKUHP

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Eva K. Sundari, salah seorang pendiri Asean Parliamentarians for Human Rights (APHR)  melakukan lagi ijtihad untuk mencari penyelesaian dari berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Informasi dari tim advokasi “fraksi balkon” untuk RUU TPKS setelah dibahas panja, mereka turun dan ketemu Wamenkumham dan darinya diperoleh informasi bahwa target RKUHP akan dibahas pada bulan Juni. Oleh sebab itu Eva K. Sundari  berharap APHR  bisa bekerja sama dengan  Komnas HAM dan UGM. Zoom kali ini menurutnya relevan dengan waktu setelah lama tidak bergerak dan tidak tahu proses di panja.  Ia  berharap APHR terus kerja sama dengan Komnas HAM dan UGM (ICRS). “Di masa pandemi ada kesenjangan yang makin melebar. Orang kaya bertambah, kemisikinan absolut juga bertambah.  Tidak dinafikan bahwa demokrasi terkait kesejahteraan,”terang Eva K. Sundari dalam zoom yang dihelat oleh APHR, ICRS, dan Komnas HAM, Kamis (7/4).

Webinar yang dimoderatori oleh Sakdiyah Ma'ruf kemudian menghadirkan beberapa narasumber di antaranya adalah Fitri Sumarni dan Zainal Abidin Bagir.RKUHP versi September tahun 2019 ada bagian khusus  tindakan pidana dalam beragama dan penodaan agama yakni penodaan atau permusuhan terhadap  agama dan tindakan lain yang mengganggu hak dalam beragama dan beribadah, yang disebut dalam  RKUHP tersebut juga muncul di perundang-undangan lain, yakni Undang-Undang nomor 1/PNPS/1965 pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama, dan Undang-undang nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas, juga Undang-Undang  ITE dan perubahannya.

Firia Sumarni, pimpinan komite hukum Jemaat Ahmadiyah memaparkan berbagai dampak pasal penodaan agama terhadap komunitas muslim Ahmadiyah. Pelanggaran HAM terhadap komunitas muslim Ahmadiyah salah satunya disebabkan regulasi yang tidak selaras dengan jaminan HAM dalam konstitusi. Ahmadiyah telah ada sejak 1925 dan berbadan hukum pada 1953. Sejak hadirnya di Indonesia tidak pernah ada anggota tetapi pemberlakuan Undang-Undang nomor 1/PNPS/1965 sangat berdampak kepada komunitas muslim Ahmadiyah.  

Dampak pemberlakuan Undang-Undang nomor 1/PNPS/1965. : terbitnya kebijakan diskriminatif di tingkat nasional dan daerah, pemulihan yang lamban bahkan pengabaian, meningkatnya tindakan kekerasan dan main hakim sendiri, pembatasan hak konstitusional warga negara.Undang-Undang nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama diberlakukan kepada Jamaah Ahmadiyah dengan penerbitan SKB 3 menteri. SKB 3 menteri diterbitkan tanggal 9 Juni 2008 atas rekomendasi Badan Koordinasi Pengawasan Aliran dan Kepercayaan (Bakorpakem) yang didahului  dengan beberapa putaran dialog di tempat tekanan demonstrasi massa.

Pelanggaran HAM terhadap Komunitas Muslim Ahmadiyah di antaranya adalah : penyesatan dan pemaksaan keyakinan, gangguan pada rumah ibadah : pelarangan pendirian, penolakan izin, penyerangan, perusakan, pembakaran penutupan/penyegelan, penyerangan rumah, penganiayaan dan bahkan kehilangan nyawa, pengusiran, pembatasan/pelarangan kegiatan/aktivitas, penolakan pelayanan publik/diskriminasi, ujaran kebencian.

Penyesatan dan pemaksaan keyakinan terjadi pada 30 Mei 2021, 10 orang anggota komunitas muslim Ahmadiyah di Desa Wolwal, Kecamatan Alor Barat Daya diundang oleh KUA untuk pembinaan, Namun ternyata isinya adalah pemaksaan keyakinan dan intimidasi untuk keluar dari Ahmadiyah. Kasus ini ditangani Komnas HAM.

Pengusiran terjadi pada Maret 2021 di Alor Barat Daya, NTT mubaligh Ahmadiyah diusir dari Desa Wolwal oleh oknum pengurus masjid setempat. Kasus ini ditangani Komnas HAM.

Penolakan pelayanan publik terjadi sejak tahun 2013 di Kabupaten Tasikmalaya. Setelah diadvokasi sejak 2019 bersama lembaga HAM pada tahun 2021 pencatatan nikah dapat dilaksanakan. Di tempat lain, yakni di Kuningan pada( tahun 2017, KTP tidak ditebitkan padahal perekaman telah dilakukan sejak 2012. Kasus ini telah selesai pada 2017 ditangani oleh Ombudsman RI.  Terkait perijinan ada kasus penolakan perpanjangan izin pemakaian tanah di Surabaya pada tahun 2018. Izin akhirnya dapat keluar setelah ditangani Komnas HAM dan Ombudsman RI.

Pembubaran paksa/pelarangan kegiatan terjadi pada pada Jaisah Salamah, wilayah Papua Barat pada Mei 2017 oleh Ketua MUI Papua Barat.  Demonstrasi massa dalam pelaksanaan Jaisah Salamah (JAI) wilayah bandung tahun 2018 sehingga acara dipercepat dari tiga hari menjadi dua hari. Juga penghentian pembangunan dan penyegelan masjid Baabussalam Nyalindung, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada Mei 2021. Masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan, Kabupaten Sintang Kalimantan Barat ditutup paksa pada 14 Agustus 2021 dirusak massa pada 3 September 2021 dan pembongkaran kubah pada 29 Januari 2022.

Fitri Sumarni kemudian membacakan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut : mengingat dampak yang sangat luas dari penerapan  hukum penodaan agama yang mengakibatkan terhambatnya pemenuhan hak konstitusional warga neraga sebaiknya  DPR mengadakan riset yang mendalam dengan melibatkan banyak akademisi serta aktivis HAM dan lembaga HAM pembahasan pasal penodaan agama di RKUHP, menunda pengesahan RKUHP, merevisi Undang-Undang nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.  

Dasar Pertimbangan untuk Penyempurnaan Pasal-Pasal Pidana Agama dalam RKUHP

Zainal Abidin  Bagir dalam webinar yang sama menyatakan bahwa dampak undang-undang penodaan agama yang selama ini terjadi khususnya komunitas Jemaat Ahmadiyah. Yang hanya satu di antara target dari lain yang makin besar yang dulu tidak penodaan agama sekarang dijadikan penodaan agama. Juga komunitas Syiah dan komunitas lain yang frekuensinya semakin besar. Beberapa kota kembali ke masa lama yang membatasi. Ada ketegangan di antar massa terkait perkembangan demokrasi dengan undang-undang yang tidak diharmonisasi. Penodaan agama itu tidak  hanya di RKUHP tetapi di Undang-Undang ITE dan Undang-Undang  Ormas. 

Dasar pertimbangan untuk penyempurnaan  pasal-pasal pidana agama dalam RKUHP. RKUHP (versi September 2019) memiliki satu bab khusus yang berjudul “Tindak Pidana  terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”. Dua kandungan utamanya adalah “penodaan”  atau permusuhan terhadap agama dan beberapa tindakan lain yang mengganggu hak untuk  beragama atau beribadah. Dalam Naskah Akademik RKUHP (2015), di awal pembahasan bab  tersebut, istilah yang digunakan adalah blasphemy dan “offenses relating to religion” dengan  rujukan pada beberapa negara. Menurut Naskah tersebut, persoalan ini perlu diatur karena  agama merupakan sendi utama dalam hidup bermasyarakat di Indonesia; yang ingin  dihindari adalah “perbuatan tercela dengan tidak menghormati agama atau umat beragama  yang dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat, atau umat beragama yang  bersangkutan, termasuk terhadap sarana ibadah.” 

Dikutip dari materi yang disampaikan oleh Zainal Abidin Bagir, dalam paparannya di Konferensi tentang Hukum Penodaan Agama (Agustus 2020)1, Heiner  Bielefeldt (Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, 2010-2016)  menyampaikan bahwa “penodaan agama” (blasphemy) atau ujaran yang memusuhi agama  memang terjadi—ada orang-orang yang memang ingin melukai perasaan keagamaan orang  lain, dan ada orang yang terluka. Meskipun demikian, menurutnya, suatu undang-undang pidana tentang  penodaan agama adalah jawaban yang keliru atas persoalan itu. Undang-undang semacam itu tidak  menyelesaikan masalah, justru memunculkan banyak masalah lain, sebagaimana akan  dibahas di bawah. Karenanya, menurutnya, perlu dicari jawaban-jawaban baru yang lebih  kreatif.  (Astuti)