Dimoderatori oleh Dorkas Febria, Yayasan YAPHI menyelenggarakan diskusi gender dan seksualitas yang menghadirkan Tuba Fallopi, aktivis perempuan dari Sekolah Gender Padang, pada Rabu (20/1), via zoom meeting. Diskusi bertajuk “Ngomes” kepanjangan dari ngobrol mesra bertujuan untuk menambah kapasitas pengetahuan dan menyamakan perspektif terkait kesetaraan gender dan seksualitas. Tuba menyatakan bahwa ia bersama tiga kawan lainnya memiliki kegelisahan yang sama terkait minimnya pendidikan tentang gender dan seksualitas.
Mengawali pembicaraannya, Tuba mengajak para peserta diskusi untuk merefleksi diri apa saja yang pernah teman-teman rasakan dengan tubuh yang dimilikinya. Ia bertanya, apakah ada yang insecure dengan tubuh gemuknya, atau dengan yang berkulit hitam. Hal-hal yang tak lepas dari konstruksi sosial bahwa yang dipandang cantik atau tampan itu yang berbadan ramping, berkulit putih dan yang berambut lurus. Untuk menambah wawasan serta agar para peserta memiliki gambaran, Tuba memutar sebuah video.
Ada khasanah terkait seks dan gender, juga orientasi seksual dan ekspresi seksual. Menurut Tuba, seks itu sederhana, yakni bawaan dari lahir yang biasa disebut dengan jenis kelamin : penis dan vagina. Dan ada yang memiliki kedua-duanya. Kita tidak bisa memilih apa jenis kelamin kita karena Tuhan telah pilihkan. Kalau gender, ada karena konstruksi sosial. Selama ini, lagi-lagi konstruksi sosial memetakan jika anak laki-laki sepantasnya bermain robot-robotan, anak perempuan bermain boneka. Perempuan identik dengan warna pink dan laki-laki warna biru. Laki-laki maskulin dan perempuan feminin sehingga ketika keadaan terbalik, akan ditolak oleh masyarakat sosialnya.
Ketidakadilan gender tidak terlepas relasi kuasa. Lalu dari mana datang relasi kuasa? Awalnya dari nenek moyang kita dahulu, para perempuan tinggal di rumah dan meramu, sedang laki-laki pergi berburu ke hutan. Padahal dulu sama-sama di hutan. Komunal primitif kemudian menyadari adanya kebutuhan berkebun, yang memerlukan tenaga kerja, maka perempuan dengan rahimnya melahirkan anak yang nantinya akan mengolah kebun/lading. Akhirnya rahim perempuan digunakan untuk calon pekerja. Tingginya rasa keegoisan laki-laki yang mendaku itu adalah anaknya padahal yang melahirkan adalah perempuan dan dari situ kemudian lahir domestifikasi peran perempuan, yang kemudian melahirkan patriarkal.
Tuba memaknai orientasi seksual dengan keromantisan, juga bisa disebut cinta kasih, namun orang-orang sengaja menggorengnya. Orientasi seksual ini bisa vagina dengan vagina. Ada semacam hasrat untuk ingin saling memiliki dan ini bukan tentang hubungan seksual. Ada trans man dan ada transpuan, namun belum berarti dia transseksual. Ada juga transman dan transseksual. Menurut Tuba, queer baru lahir dan secara keromantikan, kepada lesbian (L), gay (G) dan Trans juga biseksual.
Mengakhiri diskusi, Tuba ingin mengajak para peserta diskusi untuk adil sejak dalam pikiran dan melakukan berbagai hal yakni bertoleransi menerima keberagaman, mendorong agar kebijakan yang pro terhadap korban kekerasan seksual bisa didukung oleh banyak pihak, sehingga bisa menjadi payung hukum dan keberanian korban untuk melaporkan ketika mengalami kekerasan, mendorong agar kebijakan diskriminatif tidak dijadikan alat untuk melegalkan kekerasan terhadap kelompok minoritas, melakukan lingkar-lingkar diskusi, dan kelompok belajar yang progresif, setara, dan toleransi, melakukan kajian-kajian yang sedang berkembang, atau sedang terjadi di tengah-tengah kita tanpa menanggalkan prinsip kesetaraan. (Hastowo Broto/Astuti)