Sepuluh orang anggota dari 100-an petani yang tergabung Paguyuban Petani Paranggupito duduk melingkar di rumah seorang petani bernama Sukisno, Desa Kranding, Paranggupito. Mereka datang dari beberapa wilayah. Dibuka dengan pernyataan dari ketua kelompok, biasa dipanggi Mbah Mul, mereka menyambut baik kedatangan para staf Yayasan YAPHI di hari itu, Rabu (19/1). Beberapa pertanyaan kemudian mencuat di antara perbincangan-perbincangan yang sangat cair, ditandai dengan hampir semua yang hadir turut berbicara.
Mereka berbagi cerita bahwa sejak beberapa waktu lalu lahan pertaniannya sering diganggu hama berupa binatang kera. Perwakilan dari YAPHI kemudian mempertanyakan apakah sudah ada upaya dari pemerintah setempat atau dinas terkait untuk mencegah hal itu supaya tidak terjadi lagi. Mereka menjawab bahwa di pertemuan dengan penyuluh pertanian sebelumnya, mereka sudah melapor dan ada beberapa masukan.
Arahan dan masukan dari petugas pertanian salah satunya mengimbau kepada para petani untuk menanam pohon duwet/jamblang, sehingga ketika para petani tersebut sedang bercocok tanaman kacang, para gerombolan kera itu tidak menggaggu, alias tanaman duwet digunakan untuk mengalihkan perhatian dari gangguan kera. Namun para petani mempertanyakan butuh berapa lama waktunya hingga pohon itu berbuah dan buahnya berguna bagi kawanan hama kera. Mereka menganggap solusi yang ditawarkan oleh petugas pertanian belum menjawab kebutuhan secara cepat.
Saat ini kebanyakan tanah pertanian yang mereka uri-uri dengan menanam sistem karangkitri, selain ditanam padi. Karangkitri adalah budaya memanfaatkan pekarangan rumah untuk tanaman yakni buah-buahan, sayur-sayuran, dan empon-empon yang tujuannya adalah untuk ketahanan pangan. Sedangkan tanaman padi yang mereka tanam adalah padi yang dipanen setahun sekali dan untuk pengairannya adalah sistem tadah hujan.
Selain berbagi cerita dan problem yang mereka alami, para petani juga menerima informasi terkini terkait pengetahuan tentang bagaimana belajar berbicara menyampaikan pendapat di depan umum, yang menurut para pendamping dari YAPHI, mereka sudah memiliki kapasitas dalam mengemukakan pendapatnya. Hampir semua yang hadir pada hari itu mengemukakan pendapatnya terkait pemberitahuan kabar keluarga serta tanah pertanian mereka.
Sampai saat ini, semangat para petani yang rata-rata berusia lebih dari 50 tahun itu dalam bercocok tanam masih menyala. Mereka telah membuktikan bahwa sejak berpuluh-puluh tahun lalu merawat tanah turun-temurun dari kakek-nenek moyang mereka dengan bercocok tanam di lahan pertanian, dapat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. (ast)
.