Fransisca Octi pernah berkuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan mengambil prodi Pendidikan Luar Biasa (PLB). Awal mulanya ia hanya turut beraktivitas di LSM Matahariku. Sebab saat itu ada himpunan mahasiswa divisi penjaringan yang menghubungkan perempuan biasa dipanggil Octi itu dengan komunitas. LSM Matahariku didirikan oleh seorang Tuli pegiat, Bunda Galuh, yang juga founder sekolah Little Hijabi, Bekasi.
Karena kemampuan bahasa isyaratnya belum memenuhi syarat sebagai Juru bahasa Isyarat (JBI), Octi masih menjadi volunteer sejak memulai berbahasa isyarat tahun 2014. Kemudian tahun 2015 ia bergabung dengan Pusat Layanan Bahasa Isyarat (PLJ). Awalnya ia ada rasa kecewa karena pilihan kuliah di prodi PLB adalah pilihan kedua namun ia yang juga penerima beasiswa merasa berbangga sebab setelah mendalami jadi jatuh cinta dengan belajar bahasa isyarat. Demikian kisah Octi yang bercerita saat siaran Radio Katolikana bersama Lukas Inspandriarno,Kamis, 9/9.
Berbeda dengan pengalaman Ramadhani Rahmi, yang pada tahun 2013, saat masih menjadi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ia bergiat di Deaf Art Community (DAC) dan belajar bahasa isyarat Indonesia. Saat itu ia belum jadi JBI tapi penerjemah bahasa isyarat, Ia juga bertemu Octi di DAC. Hingga pada suatu hari, saat ada even workshop yang diselenggarakan oleh NGO Sigab Indonesia, ia harus menampingi seorang Tuli dari Makassar yang mengikuti pelatihan. Saat itu tidak ada orang dengar yang bisa jadi penerjemah. “Saya saat itu cadangan, dan hanya dengan modal ngobrol santai banyak tentang hambatan ke teman Tuli, waktu itu dibantu penerjemah lain. Lalu yang menjelaskan Tuli dari Makassar tersebut,”jelas perempuan yang akrab dipanggil Mada itu.
Mada akhirnya baru tahu jika penting memperdalam bahasa isyarat sebab SDM yang terbatas. Menurutnya kalau ia belajar isyarat maka gurunya teman Tuli karena mereka native. Selain belajar bahasa isyarat ia juga belajar budaya Tuli, termasuk ekspresi dan gestur. Ia menafikan anggapan orang-orang, tidak menakutkan kok belajar bahasa isyarat. Lama belajar juga terkait durasi tergantung masing-masing orang, ada yang tiga bulan, ada yang tiga tahun. Ada pengetahuan penting yang ia bagi, bahwa kalau jadi JBI butuh syarat pengakuan dari komunitas Tuli apakah ia layak jadi JBI atau tidak.
Lukas Ispandriarno kemudian mempertanyakan tentang JBI apakah sebagai profesi atau bukan? Dan apakah seorang JBI punya pekerjaan lain. Menurut Mada, hal ini terkait peran, karena kalau dikatakan profesi mesti menunggu standar resmi yakni Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI). Memang ada peluang JBI menjadi profesi. Dan Mada saat ini bekerja atas pengajuan Tuli. Menurutnya, orang yang bisa berbahasa isyarat belum tentu bisa disebut sebagai JBI. Dan ia optimis JBI disebut profesi.
Octi menambahkan bahwa adanya JBI menambah keragaman. Saat ini ia menjadi salah satu staf Yayasan di Bandung dan mendampingi remaja autis dan difabel intelektual.
Dua tamu lainnya di siaran radio, Laura Lesmana Wijaya, adalah seorang Tuli dan relawan bahasa isyarat. Ia bukan JBI dan hanya membantu JBI dengar. Ia menjadi relawan sambil membawa bacaan tentang isyarat, Ia menjadi relawan sejak tahun 2019. Seorang lagi Tuli JBI adalah Restu Lestari yang mengakui bahwa ia belajar banyak tentang konsep bahasa dan isyarat karena ada pemahaman yang tinggi.
Pembicaraan kemudian mengarah kepada perbedaan Bisindo dan SIBI yang dijawab oleh Restu bahwa SIBI adalah system bahasa isyarat dan yang membuat adalah orang dengar dan mengikuti kaidah SPOK (Subjek, Predikat, Objek, Keterangan). Tetapi kalau Bisindo muncul alami dari komunitas Tuli. Bisindo selalu melibatkan ekspresi dan gestur dan isyaratnya tidak mengikuti SPOK. Bisindo lebih jelas dari pada SIBI.
Sebuah catatan, sekitar tahun 2018 orang baru sadar akan profesi ini. Tata bahasa masing-masing daerah berbeda misalnya di Jakarta ada subjek verba dan objek. Di Bali isyarat ‘terima kasih’ beda dengan Makassar. JBI juga bukan nama pekerjaan atau organisasi. Ada organisasi Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ) yang mencakup 15 provinsi. Saat ini kurang dari 200 anggota PLJ, yang terdiri dari JBI dengar 100 orang dan 30 JBI Tuli. Dan di Jakarta sendiri ada 10-20 JBI yang aktif. Sehingga masih membuka lowongan banyak lagi JBI. Beberapa sektor masih membutuhkan JBI yakni akademi-akademi, rumah sakit dan gereja.
Menurut Restu, latar belakang JBI harus polos dan tidak bermotif. Biasanya kalau di layar televisi berwarna hijau atau biru. Sedangkan baju JBI gelap dan polos serta tidak memakai asesoris yang berlebihan, bersikap profesional datang tepat waktu dan berfungsi sebagai jembatan, sehingga tidak ikut urusan yang ada. Bersikap menghormati dan profesional serta tidak boleh membocorkan rahasia. (Astuti)