Buletin

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Audiensi ke Komnas HAM

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada Rabu,7/8 Koalisi  Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan melakukan audiensi dengan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengenai upaya dari Pemerintah Melakukan Revisi Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri. Koalisi menyampaikan kajian dan pendapat kepada Komnas HAM perihal akan dibahasnya Rancangan Undang-undang Tentara Nasional Indonesia dan Rancangan Undang-undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU TNI dan RUU Polri) oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menurut mereka melanggar prosedur pembentukan perundang-undangan, prinsip hak asasi manusia dan demokrasi.

Dalam audiensi tersebut, koalisi menyampaikan berbagai masalah mulai dari soal penyusunan maupun Pasal-Pasal yang problematis. Perihal perencanaan dan penyusunan misalnya, pemerintah cenderung tergesa-gesa serta mengabaikan partisipasi publik secara bermakna sehingga jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip dasar demokrasi. Pembahasan yang tidak transaparan dan partisipatif memperlihatkan ketidakpedulian terhadap aspirasi rakyat.

Selain itu dalam hal RUU Kepolisian, koalisi memandang RUU ini jelas bukan untuk melindungi rakyat tapi hanya dibuat untuk melindungi kekuasaan. Banyak Pasal dalam RUU tersebut yang bermasalah dan akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan serta pengkerdilan kebebasan sipil. Sebagai contoh Pasal Rancangan Pasal 14 ayat (1) huruf b RUU Kepolisian menyatakan bahwa Polri memiliki tugas untuk melakukan kegiatan pembinaan, pengawasan dan pengamanan ruang siber. Pasal ini berisiko digunakan sebagai justifikasi untuk mengawasi dan menargetkan warga negara yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Penyalahgunaan wewenang ini berpotensi besar melanggar hak asasi manusia seperti hak atas kebebasan berekspresi.

Lalu meluasnya kewenangan satuan intelijen keamanan (intelkam) yang dapat memperburuk ragam masalah intelijen, sebab jika dilihat pada Pasal 16A dan 16B ayat (2) Kewenangan Polri untuk melakukan deteksi dini bagi ancaman terhadap “kepentingan nasional” bermasalah karena penggunaan istilah “kepentingan nasional” dalam pasal tersebut sangat luas dan multitafsir. Hal tersebut berpotensi dapat dengan “leluasa” mengawasi setiap tindakan warga negara yang kritis terhadap pemerintah dengan dasar “kepentingan nasional".

Khusus RUU TNI, koalisi memberikan pandangan bahwa RUU tersebut berpotensi memberikan ruang seluas-luasnya bagi prajurit TNI aktif menempati dan mendominasi posisi strategis di kementrian/lembaga sesuai dengan subjektivitas Presiden.  Hal ini merupakan ancaman serius terhadap supremasi sipil dan demokrasi, selain itu dengan adanya Pasal ini menimbulkan risiko atau masalah baru, misalnya dalam membuat kebijakan publik, ada kecenderungan menggunakan pendekatan kebijakan berbasis keamanan, pengaruh militer dan memprioritaskan keamanan nasional di atas hak asasi manusia. Pendekatan ini dapat mengakibatkan tindakan yang represif dan masyarakat sipil menjadi korbannya.

Lebih lanjut, koalisi juga menyampaikan responnya atas usulan penghapusan larangan TNI berbisnis. Koalisi berpandangan bahwa usulan tersebut mencerminkan kemunduran dari upaya reformasi TNI. Militer dipersiapkan untuk fokus pada peran dan fungsi yang utama yaitu menjalankan tugas-tugas pertahanan dan menghadapi perang bukan dalam urusan berbisnis. Sejarah pada pengalaman orde baru telah menunjukkan betapa besarnya daya rusak atas dampak dari campur tangan militer dalam ranah bisnis dan politik, sebuah langkah mundur yang harus dihindari untuk menjaga integritas dan kemajuan demokrasi.

Seperti dikutip pada tempo.co, sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR dan pemerintah memastikan bakal melanjutkan pembahasan mengenai revisi UU TNI-Polri meskipun mendapat kritikan keras dari kelompok pegiat hak asasi manusia. Presiden Joko Widodo telah mengirim Surat Presiden (Surpres) ke DPR di Senayan.

Adapun DPR telah menyetujui revisi UU TNI menjadi inisiatif DPR. Namun, pembahasan antara pemerintah dan dewan terkait hal ini belum dimulai.

Ketua Badan Legislasi DPR saat  itu, Supratman Andi Agtas mengatakan, DPR belum menentukan kelanjutan pembahasan RUU TNI. Ia mengungkapkan belum mengetahui pasti kapan revisi UU TNI akan dibahas.

Baleg, ujarnya, masih menunggu daftar inventarisasi masalah atau DIM dari pemerintah. "Kalau DIM tak ada kami belum bisa susun jadwal," katanya, Selasa, 16 Juli 2024. (Ast)