Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Rabu pagi (9/2), WhatsApp Group  (WAG) publikasi dan dokumentasi (PuDok) Yayasan YAPHI diramaikan dengan pemberitahuan bahwa telah terjadi kekerasan dan intimidasi terhadap warga masyarakat Desa Wadas, tak terkecuali para perempuan dan anak. Peristiwa itu dipicu atas penangkapan kepada 64 warga yang terjadi pada Selasa sore hari sebelumnya (8/2). Mereka terdiri dari warga desa, 13 di antaranya masih berusia anak dan beberapa pendamping dari LBH. Kericuhan tersebut jelas tergambar pada tayangan video yang beredar yang menggambarkan perlakuan kasar dan represif oleh aparat kepolisian. Cerita berlanjut Rabu pagi itu, ribuan polisi merangsek ke  Desa Wadas dengan senjata lengkap. Mereka mendirikan tenda-tenda mengepung wilayah desa dan menurunkan banner protes warga desa yang menolak tambang batu andesit.



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

AJI Menyerukan Pemerintah Tidak Sewenang-wenang Stempel Hoaks Peristiwa Wadas

 

Ratusan aparat gabungan mendatangi Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Selasa (8/2). Mereka mendampingi puluhan petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang akan melakukan pengukuran tanah sebagai bagian dari pembangunan proyek Bendungan Bener.

 

Kegiatan pengamanan yang berlebihan ini kemudian berujung penangkapan warga dan pendamping. LBH Yogyakarta mencatat setidaknya ada 67 warga Desa Wadas, termasuk di antaranya anak di bawah umur dan perempuan ditangkap polisi. Warga baru dilepaskan polisi pada Rabu (9/2).

 

Peristiwa pengamanan berlebihan yang disertai kekerasan dan penangkapan ini menjadi sorotan media massa dan warganet di media sosial. Sebagian besar media massa terpantau menurunkan pemberitaan soal Wadas sejak Selasa (8/2) lalu.

 

Kendati demikian, pemerintah terlihat berupaya mendistorsi berita terkait pengamanan berlebihan, kekerasan, dan penangkapan yang dilakukan aparat. Hal tersebut setidaknya tergambar dalam konferensi pers yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD di Jakarta pada Rabu (9/2).

 

Mahfud menyampaikan bahwa semua informasi dan pemberitaan yang menggambarkan suasana mencekam di Desa Wadas tidak terjadi seperti yang digambarkan, terutama di media sosial. Ia mengklaim situasi di Desa Wadas dalam keadaan tenang dan meminta warga tidak terprovokasi.

 

Siaran informasi Polri juga melabeli situasi di Wadas sebagai hoaks atau informasi bohong. Ini terlihat dari unggahan humas.polri.go.id yang berjudul "Ulama Purworejo Serukan Warga Menolak Hoax Tentang Situasi Wadas, Polda Jateng Warning Akun Tukang Provokasi" pada Kamis (10/2). Dalam unggahan tersebut, Polri juga menegaskan menindak pengelola akun-akun yang dinilai provokatif melalui jalur hukum. Faktanya warga hanya menyampaikan informasi melalui media sosial terkait peristiwa yang terjadi di Desa Wadas.

 

Tidak hanya itu, akun twitter @DivHumas_Polri juga menyematkan stempel hoaks terhadap konten milik Wadas Melawan. Polisi membuat narasi bahwa ada warga yang membawa senjata tajam dan kemudian diamankan polisi. Namun, Tempo melaporkan bahwa senjata tajam yang dibawa warga merupakan alat untuk mencari rumput pakan ternak.

 

Melihat sejumlah fakta tersebut, AJI Indonesia menyerukan:

 

1. Pemerintah untuk menghentikan pelabelan hoaks peristiwa di Wadas yang sewenang-wenang dan berdasarkan klaim yang dianggap sesuai dengan narasi yang diharapkan aparat. Jaringan Pengecekan Fakta Internasional mengharuskan adanya prinsip-prinsip seperti komitmen nonpartisan dan keadilan, komitmen transparansi atas sumber, transparansi metodologi (pengecekan fakta), serta komitmen atas koreksi yang terbuka dan jujur.

 

2. Pers nasional agar menjalankan fungsi kontrol sosial seperti diamanatkan Undang-undang Pers. Termasuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti pembangunan proyek Bendungan Bener yang berdampak kepada warga Wadas.

 

3. Pers nasional untuk memberikan suara kepada mereka yang tidak bisa bersuara. Sebab hanya pers yang mendapat jaminan perlindungan UU Pers, yang dapat menjadi juru bicara publik saat berhadapan dengan pemerintah atau penguasa.

 

4. Jurnalis agar bersikap independen dan menghasilkan berita yang akurat terkait peristiwa di Wadas. Independen dapat diartikan memberitakan peristiwa atau fakta tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan. Sedangkan akurat berarti sesuai keadaan obyektif peristiwa tersebut dan telah diverifikasi berlapis, tidak hanya sekedar mengutip pernyataan pejabat atau narasumber tertentu.

 

Jakarta, Sabtu 12 Februari 2022

Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

 

Sasmito

Ketua Umum

 

Ika Ningtyas

Sekretaris Jenderal

 

Hotline: 08111137820


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

KETERANGAN PERS NOMOR: 003/HM.00/II/2022

 

Respons Komnas HAM RI Terhadap Dugaan Kekerasan Dalam Proses Pengukuran Lahan Warga Untuk Penambangan Batu Andesit di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah

 

Sehubungan dengan terjadinya peristiwa kericuhan yang terjadi dalam proses pengukuran lahan warga untuk penambangan batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Selasa (8/2/2022) lalu, Komnas HAM RI mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada warga termasuk pendamping hukum warga Wadas yang menolak desanya dijadikan lokasi penambangan quarry.

 

Komnas HAM RI juga menyesalkan adanya penangkapan terhadap sejumlah warga yang sampai rilis ini dikeluarkan masih ditahan di Polres Purworejo. Berdasarkan hal tersebut, Komnas HAM meminta kepada :

 

1.   Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS SO) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menunda pengukuran lahan milik warga Desa Wadas yang sudah setuju untuk pengukuran.

 

2.  Polda Jawa Tengah menarik aparat yang bertugas di Desa Wadas, dan melakukan evaluasi total pendekatan yang dilakukan serta memberi sanksi kepada petugas yang terbukti melakukan kekerasan kepada warga.

 

3.  Polres Purworejo segera melepaskan warga yang ditahan di Kantor Polres Purworejo.

 

4.    Gubernur Jawa Tengah, BBWS Serayu Opak dan pihak terkait menyiapkan alternatif- alternatif solusi terkait permasalahan penambangan batu andesit di Desa Wadas untuk disampaikan dalam dialog yang akan difasilitasi oleh Komnas HAM RI.

 

5.    Meminta kepada semua pihak untuk menahan diri, menghormati hak orang lain dan menciptakan suasana yang kondusif bagi terbangunnya dialog berbasis prinsip hak asasi manusia.

 

Jakarta, 9 Februari 2022

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

 

Beka Ulung Hapsara

Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Pernyataan Sikap Yayasan YAPHI Terhadap Laku Intimidasi dan Kekerasan yang Dilakukan oleh Aparat Kepolisian terhadap Warga Desa Wadas, Purworejo

 

Menyusul peristiwa penangkapan terhadap 64 warga di Desa Wadas (10 anak-anak, dan 7-8 orang di antaranya pendamping dari LBH Yogya), mereka sebagian besar laki-laki digelandang ke Mapolsek Bener di hadapan anak-anak. Sedangkan Selasa petang (8/2) 50-an warga perempuan dipaksa bertahan di sebuah masjid yang dikepung oleh aparat dengan senjata lengkap. Terjadi pemutusan aliran listrik di rumah warga dan sweeping ponsel oleh aparat kepolisian kepada warga. Hingga konferensi pers digelar pagi ini, Rabu (9/2) pukul 9i yang diikuti oleh 181 orang dan hanya berlangsung kurang dari satu jam, situasi masih belum tahu, sebab Desa Wadas benar-benar telah dikepung oleh aparat dengan pendirian tenda-tenda dan media dilarang memberitakan. Padahal sudah keluar pers rilis dari Komnas HAM tanggal 9/2 bahwa ada dugaan kekerasan dalam proses pengukuran lahan warga untuk penambangan batu andesit di Desa Wadas. Dalam konferensi pers yang digelar oleh jaringan solidaritas tersebut juga disebut bahwa ada rekomendasi dari PP Muhammadiyah dan PBNU yang mengecam tindakan represif dan intimidatif di Desa Wadas dan ketiadaan sikap dukungan pemerintah daerah (Gubernur Jawa Tengah) terhadap warga Desa Wadas dan seperti dikutip tempo.co seakan melakukan pembiaran penangkapan warga dan melanjutkan pengukuran lahan. Tanah bagi para perempuan Wadas adalah Ibu Bumi yang harus dirawat dan lestarikan. Sangat bertentangan dengan pemerintah yang melakukan pembangunan tanpa melihat bagaimana warga selama ini telah merawat tanah mereka. Maka, oleh sebab itu, Yayasan YAPHI menyatakan sikap agar Negara hadir dalam menyelesaikan masalah ini dengan tuntutan :

1.        Hentikan intimidasi dan kekerasan terhadap warga Desa Wadas.

2.        Tarik mundur aparat dari Desa Wadas.

3.        Bebaskan warga, termasuk-anak-anak dan pendamping yang saat ini sedang ditahan oleh Kepolisian.

4.        Hentikan pengukuran tanah di Desa Wadas.

5.        Pemulihan trauma terhadap perempuan dan anak-anak Desa Wadas.

Pernyataan sikap ini sebagai dukungan solidaritas kami terhadap warga Desa Wadas atas tindakan represif dan kekerasan yang telah dilakukan oleh aparat kepolisian. Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sebenar-benarnya.

 

Surakarta, 09 Februari 2022

 

Haryati Panca Putri, SH

Direktur Pelaksana Yayasan YAPHI


Penilaian: 3 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Jika kita membaca judul dari tulisan ini tentu saja apa yang akan kita bahas kali ini adalah sedikitnya generasi penerus yang akan menjadi petani di masa yang akan datang. Banyak yang berpendapat bahwa bertani bukanlah pekerjaan. Hal ini disebabkan di antaranya mereka merasa malu atau minder dengan pekerjaan petani. Mereka merasa bahwa petani itu rendah, kotor, tidak membanggakan, penghasilannya tidak menentu dan lain-lain. Sehingga menyebabkan mereka menjadi tidak percaya diri untuk mengatakan diri mereka sebagai petani, begitu pendapat Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat yang sedang menggalakkan Program Petani Milenial. Padahal sebaliknya, petani merupakan sosok yang paling penting di negara kita karena justru masyarakat dengan latar belakang pekerjaan ataupun profesi yang beraneka-ragam berharap pada hasil produksi dari petani itu sendiri, yakni pangan.

Menjadi petani bukanlah prioritas, bahkan seringnya tak pernah masuk dalam pilihan pekerjaan. Bukankah anak muda sekarang lebih suka bekerja di balik teduhnya gedung bertingkat dan sejuknya AC? Bahkan, ketika menjadi pengangguran pun, profesi petani tak serta-merta terlintas dalam benak milenial. Tetapi jika kita perhatikan saja ketika membuat KTP, ada pilihan kolom pekerjaan petani. Ini membuktikan bahwa petani adalah pekerjaan yang layak dan diakui oleh negara.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,75 juta orang pada Februari 2021. Jumlah tersebut meningkat 26,26% dibandingkan periode yang sama tahun 2020 lalu sebesar 6,93 juta orang. Sedangkan jumlah petani di tahun 2021 di Indonesia berjumlah sekitar 38,77 juta orang, padahal 10 tahun yang lalu berjumlah sekitar 42,46 juta jiwa. Terdapat penurunan yang cukup signifikan.

Fakta ini kemudian menjadi fenomena yang memrihatinkan di mana sebenarnya banyak kesempatan menjadi petani, tetapi banyak dari mereka lebih memilih menganggur dan menunggu kesempatan bekerja menjadi karyawan atau pegawai selain petani.

Sungguh, petani dianggap bukan pekerjaan yang worth it buat milenial untuk mengejar cuan dan pencitraan. Sebab, banyak anak muda beranggapan bahwa pekerjaan petani itu kurang pantas bagi anak muda. Jangankan dianggap mulia, pekerjaan petani justru dianggap tertinggal, ndeso, dan sebagainya. Padahal jika dihitung penghasilan seorang buruh tani berkisar 90 ribu s/d 100 ribu rupiah per hari dengan rata-rata 8 jam bekerja di sawah, ungkap Sugiyo salah seorang petani di Mojolaban Sukoharjo. Angka ini cenderung lebih banyak dibandingkan penghasilan sebagai buruh pabrik yang berpenghasilan sesuai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Sukoharjo yakni Rp 1.998.153 per bulan.

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai peraturan perlindungan bagi kaum petani, namun perlindungan itu nampaknya semakin melemah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tujuan negara yang awalnya memperkuat sektor pertanian dan pangan sekarang telah bergeser menjadi ke sektor industri. Terlebih lagi kondisi sekarang lahan pertanian sudah mulai dincar oleh kaum pemodal dengan cara dirampas melalui berbagai upaya oleh pihak-pihak tertentu dan kebijakan yang merugikan kaum petani yakni salah satunya dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja tersebut. Undang-Undang ini memudahkan investor luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan begitu, tanah sebagai komoditas penting untuk menjalankan suatu usaha tak terkecuali termasuk tanah pertanian menjadi potensi yang menggiurkan bagi investor.

Regenerasi petani diperlukan untuk membawa perubahan pada sektor pertanian masa depan dan sebagai tonggak kuat untuk melakukan perlawanan terhadap ancaman-ancaman ke depan dalam hal pertanian juga kebijakan pemerintah yang merugikan petani. Petani muda juga dapat menjadi penyuntik semangat bagi petani-petani tua yang hampir kehabisan tenaga untuk melakukan perlawanan kepada Pihak-pihak yang berkonfrontasi dengan mereka terkait konflik tanah di masing-masing wilayahnya.

Darurat regenerasi petani ini bukanlah masalah sepele yang bisa diselesaikan dengan mudah. Perlu tekad yang kuat untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan negeri ini. Seharusnya pandemi COVID-19 yang melanda sejak bulan Maret 2020 silam mengajarkan kita tentang arti penting ketahanan pangan. Selama pandemi ini kita bisa saja tidak pergi ke bioskop dan tidak berwisata. Tetapi, jelas kita tidak bisa kalau tidak makan. Setiap hari kita butuh energi dari makanan walaupun hanya untuk sekadar melakukan kegabutan hingga rebahan.

Bukan hanya COVID-19 yang bisa membunuh manusia secara perlahan, krisis pangan juga bisa mengakibatkan kematian jika disepelekan. Seperti yang dikatakan Eric Weiner “Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang."

Apakah “hakikat pekerjaan” benar-benar dipahami oleh anak muda masa kini? Hakikat bahwa sejatinya kita bekerja itu untuk memberikan manfaat kepada orang lain sebaik-baiknya. Sebab kita sendiri juga setiap hari menikmati hasil pekerjaan orang lain. Petani adalah salah satu profesi yang tidak boleh berhenti sebab semua orang selalu membutuhkan makan. Dari tangan dan keringat para petanilah, bulir-bulir padi, sayur-mayur hingga buah-buahan dihasilkan.

Seharusnya yang dipikirkan pertama dari suatu pekerjaan adalah kebermanfaatanya, bukan? Bukan melulu seberapa banyak pekerjaan itu mendatangkan pundi-pundi uang, memperkaya diri, menaikkan eksistensi, dan seterusnya.

Bagaimana? Sekarang apa keputusan bagi kita para pemuda, menjadi penyelamat bangsa di masa yang akan datang dengan menjadi pahlawan pangan negeri ini atau mengikuti arus dengan menjadi karyawan atau buruh demi kepentingan individu dan dikontrol oleh kekuatan kaum pemodal (kapitalis)? Mari, tentukan pilihanmu! (FX. Hastowo Broto)