Pendidikan Inklusi yang Ideal Bagi Anak Disabilitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Agnes Widha, orangtua anak dengan spektrum autis membagikan pengalamannya saat sang anak mencari sekolah yang pas untuk dirinya, pada diskusi yang diselenggarakan oleh Jaringan Visi Solo Inklusi, Rabu (16/6).  Menurutnya, pelaksanaan pendidikan inklusi di Kota Surakarta masih belum terlaksana dengan baik. Masih banyak kendala yang dialami oleh anak dengan disabilitas untuk mengakses pendidikan di sekolah reguler. Ia memberikan parameter, sebelum terjadinya pandemi, ia menerima banyak keluhan yang dilontarkan oleh para orangtua. Meski ada hal yang lebih baik, namun hal tersebut masih jauh dari apa yang diharapkan.

Dalam pelaksanaan pendidikan inklusi sebenarnya ada individual education, atau pendidikan secara khusus kepada individual, dan pengertian ini lebih dari ke-'tuna'-an, dengan program yang lebih kompleks. Agnes Widha, yang juga seorang terapis menyatakan bahwa sistem kurikulum, dan ketiadaan teknik pembelajaran yang ada saat ini menjadikan pendidikan inklusi masih jauh dari kata ideal. Di awal Kota Surakarta mencanangkan sebagai kota inklusi, Agnes Wdha mencoba mendaftarkan anaknya di sebuah SD Negeri yang mengantungi Surat Keputusan (SK) sekolah inklusi. Anaknya yang baru masuk ke sistem pendaftaran saja sudah mengalami penolakan dengan alasan sudah tidak terlihat sebagai anak autis. Yang menjadi prioritas sekolah tersebut adalah anak dengan disabilitas ringan yang tidak ada kaitan dengan kognitif dan intelektual. Alasan kedua mereka belum memiliki akses atau fasilitas guru yang mengakomodir padahal sudah jadi sekolah inklusi.

Peristiwa kembali terulang tiga tahun lalu saat ia mendampingi anak didiknya. Agnes menyarankan agar anak tersebut didaftarkan ke satu sekolah swasta. Selama satu tahun anak didiknya tersebut tidak mendapatkan apa-apa, alias tidak bisa mengakomodir kurikulum di sekolah itu. Menurut Agnes, pihak sekolah sendiri masih meraba-raba hendak melakukan dengan pendekatan  seperti apa.  Aksesnya pada guru pendamping juga masih rancu fungsinya. Ia merasa bingung sebab ada kebijakan bahwa guru pendamping menyediakan kurikulum individual. Tetapi sekolah tidak  memberi akses tersebut untuk membuat kurikulum yang berbeda. Misalnya saat siswa belajar tentang lingkungan, mestinya si anak dengan disabilitas mendapatkan pengetahuan secara individual tetapi tidak diberikan.

Agnes mengetahui bahwa di sekolah inklusi ada guru bimbingan konseling yang sebaiknya ada kerja sama dengan guru kelas, dan kepala sekolah, namun itu tidak ada di sekolah tersebut. Jadi ia melihat sekolah inklusi tersebut masih sama dengan sekolah reguler.

Ada lagi sekolah yang guru-gurunya tidak memiliki keahlian, tetapi menerima masukan dari luar misalnya orangtua murid. Menurut Agnes, jika sekolah umum/regular, maka kurikulumnya tidak khusus. Sebagai pendamping bagi anak didiknya, Agnes boleh memberikan masukan kepada sekolah yang bersangkutan. Dan sang anak justru mendapat peningkatan pembelajaran dengan berkembangnya kognitif. Karena jika tidak ada masukan, maka anak tersebut tidak bisa mengkuti kurikulum yang ada.

Intinya, ketika si anak lebih nyaman dengan suasana dan lingkungan sekolah, maka pihak sekolah akan memberi peluang dan masukan untuk kerja sama dengan pendamping dan orangtua. Sehingga anak memiliki progress dan meningkatnya kemampuan sosial. Anak-anak yang semula kesulitan kemudian menjadi lebih memiliki inisiatif untuk melakukan interaksi dengan teman, guru, dan orangtua lainnya. (Astuti)