Pendidikan Inklusi Masih Setengah Hati

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Sejarah pendidikan di Indonesia sebenarnya bisa diceritakan seturut perkembangannya. Seperti pendidikan segregasi yang dalam sejarahnya terjadi pemisahan, anak disabilitas tidak bisa bersekolah di sekolah umum sehingga mereka bersekolah di sekolah khusus : Sekolah Luar Biasa (SLB), dengan kategori SLB A untuk disabilitas netra, B untuk disabilitas rungu wicara, C untuk disabilitas mental intelektual dan E untuk disabilitas grahita.

Konsep segregasi digunakan hingga akhir 1980, kemudian pada awal 1990 dikenalkanlah pendidikan dengan konsep integrasi. Apabila ada diisabilitas sebagai peserta didik, namun pihak sekolah tidak memfasilitasi kebutuhan khususnya, alih-alih mengakomodir aksesibilitas sarana dan pra sarana. Fasilitas  sarpras yang ada di sekolah masih bersifat umum. Orangtua mengadakan sendiri kebutuhan anaknya. Presentase sekolah dengan konsep integrasi ini masih sedikit di Pulau Jawa apalagi di luar Jawa. Demikian paparan dari Pamikatsih, pegiat disabilitas Solo saat diskusi internal Jaringan Visi Solo Inklusi yang diikuti secara internal berpeserta 12 orang, Rabu (16/6).

Sampai pada pencanangan pendidikan inklusi pada tahun 2012, hanya sampai pada taraf uji coba saja dan prosentase sangat sedikit apalagi di luar Jawa. Pendidikan inklusi sebenarnya konsepnya pendidikan untuk semua, Education for All. Kalau ada sekolah yang ditunjuk untuk inklusi maka konsepnya berubah. Dalam konsep pendidikan inklusi mestinya sekolah akan mengakomodir semua kebutuhan siswa disabilitas. Mestinya kurikulum harus berubah disesuaikan kebutuhan disabilitas. Termasuk pendidiknya harus mengakomodir alat bantu dan semua perangkat sekolah. Sifat yang uji coba ini kemudian meluas, tetapi pada praktiknya pendidikan inklusi masih cenderung seperti pendidikan integrasi.

Pamikatsih menjelaskan bahwa sekolah inklusi seperti yang ditunjuk oleh pemerintah kota/kabupaten setempat memiliki tren naiknya uang SPP bagi siswa dan ada guru pendamping dan praktiknya masih jauh dari ideal.

Beberapa waktu lalu Pamikatsih mengunjungi sekolah inklusi swasta yang terlibat dalam beberapa sesi wawancara dengan gurunya. Ia menyimpulkan bahwa konsep yang diemban masih mirip dengan pendidikan integrasi. Dengan biaya relatif mahal dan pemahaman inklusi yang masih jauh.  Ia menggambarkan semestinya pendidikan inklusi yang ideal itu laksana bangunan sebuah Joglo, yang ditopang dengan pilar-pilar. Yang paling bawah adalah pondasi, dengan membawa misi Pendidikan untuk Semua. Sedangkan pilar adalah manajemen sekolah, pihak profesional, masyarakat dan keluarga difabel, yang secara ideal menyusun pendidikan untuk mencapai kesetaraan. (Astuti)