Indonesia Menghadapi Krisis Petani Muda

Penilaian: 3 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Jika kita membaca judul dari tulisan ini tentu saja apa yang akan kita bahas kali ini adalah sedikitnya generasi penerus yang akan menjadi petani di masa yang akan datang. Banyak yang berpendapat bahwa bertani bukanlah pekerjaan. Hal ini disebabkan di antaranya mereka merasa malu atau minder dengan pekerjaan petani. Mereka merasa bahwa petani itu rendah, kotor, tidak membanggakan, penghasilannya tidak menentu dan lain-lain. Sehingga menyebabkan mereka menjadi tidak percaya diri untuk mengatakan diri mereka sebagai petani, begitu pendapat Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat yang sedang menggalakkan Program Petani Milenial. Padahal sebaliknya, petani merupakan sosok yang paling penting di negara kita karena justru masyarakat dengan latar belakang pekerjaan ataupun profesi yang beraneka-ragam berharap pada hasil produksi dari petani itu sendiri, yakni pangan.

Menjadi petani bukanlah prioritas, bahkan seringnya tak pernah masuk dalam pilihan pekerjaan. Bukankah anak muda sekarang lebih suka bekerja di balik teduhnya gedung bertingkat dan sejuknya AC? Bahkan, ketika menjadi pengangguran pun, profesi petani tak serta-merta terlintas dalam benak milenial. Tetapi jika kita perhatikan saja ketika membuat KTP, ada pilihan kolom pekerjaan petani. Ini membuktikan bahwa petani adalah pekerjaan yang layak dan diakui oleh negara.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,75 juta orang pada Februari 2021. Jumlah tersebut meningkat 26,26% dibandingkan periode yang sama tahun 2020 lalu sebesar 6,93 juta orang. Sedangkan jumlah petani di tahun 2021 di Indonesia berjumlah sekitar 38,77 juta orang, padahal 10 tahun yang lalu berjumlah sekitar 42,46 juta jiwa. Terdapat penurunan yang cukup signifikan.

Fakta ini kemudian menjadi fenomena yang memrihatinkan di mana sebenarnya banyak kesempatan menjadi petani, tetapi banyak dari mereka lebih memilih menganggur dan menunggu kesempatan bekerja menjadi karyawan atau pegawai selain petani.

Sungguh, petani dianggap bukan pekerjaan yang worth it buat milenial untuk mengejar cuan dan pencitraan. Sebab, banyak anak muda beranggapan bahwa pekerjaan petani itu kurang pantas bagi anak muda. Jangankan dianggap mulia, pekerjaan petani justru dianggap tertinggal, ndeso, dan sebagainya. Padahal jika dihitung penghasilan seorang buruh tani berkisar 90 ribu s/d 100 ribu rupiah per hari dengan rata-rata 8 jam bekerja di sawah, ungkap Sugiyo salah seorang petani di Mojolaban Sukoharjo. Angka ini cenderung lebih banyak dibandingkan penghasilan sebagai buruh pabrik yang berpenghasilan sesuai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Sukoharjo yakni Rp 1.998.153 per bulan.

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai peraturan perlindungan bagi kaum petani, namun perlindungan itu nampaknya semakin melemah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tujuan negara yang awalnya memperkuat sektor pertanian dan pangan sekarang telah bergeser menjadi ke sektor industri. Terlebih lagi kondisi sekarang lahan pertanian sudah mulai dincar oleh kaum pemodal dengan cara dirampas melalui berbagai upaya oleh pihak-pihak tertentu dan kebijakan yang merugikan kaum petani yakni salah satunya dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja tersebut. Undang-Undang ini memudahkan investor luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan begitu, tanah sebagai komoditas penting untuk menjalankan suatu usaha tak terkecuali termasuk tanah pertanian menjadi potensi yang menggiurkan bagi investor.

Regenerasi petani diperlukan untuk membawa perubahan pada sektor pertanian masa depan dan sebagai tonggak kuat untuk melakukan perlawanan terhadap ancaman-ancaman ke depan dalam hal pertanian juga kebijakan pemerintah yang merugikan petani. Petani muda juga dapat menjadi penyuntik semangat bagi petani-petani tua yang hampir kehabisan tenaga untuk melakukan perlawanan kepada Pihak-pihak yang berkonfrontasi dengan mereka terkait konflik tanah di masing-masing wilayahnya.

Darurat regenerasi petani ini bukanlah masalah sepele yang bisa diselesaikan dengan mudah. Perlu tekad yang kuat untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan negeri ini. Seharusnya pandemi COVID-19 yang melanda sejak bulan Maret 2020 silam mengajarkan kita tentang arti penting ketahanan pangan. Selama pandemi ini kita bisa saja tidak pergi ke bioskop dan tidak berwisata. Tetapi, jelas kita tidak bisa kalau tidak makan. Setiap hari kita butuh energi dari makanan walaupun hanya untuk sekadar melakukan kegabutan hingga rebahan.

Bukan hanya COVID-19 yang bisa membunuh manusia secara perlahan, krisis pangan juga bisa mengakibatkan kematian jika disepelekan. Seperti yang dikatakan Eric Weiner “Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang."

Apakah “hakikat pekerjaan” benar-benar dipahami oleh anak muda masa kini? Hakikat bahwa sejatinya kita bekerja itu untuk memberikan manfaat kepada orang lain sebaik-baiknya. Sebab kita sendiri juga setiap hari menikmati hasil pekerjaan orang lain. Petani adalah salah satu profesi yang tidak boleh berhenti sebab semua orang selalu membutuhkan makan. Dari tangan dan keringat para petanilah, bulir-bulir padi, sayur-mayur hingga buah-buahan dihasilkan.

Seharusnya yang dipikirkan pertama dari suatu pekerjaan adalah kebermanfaatanya, bukan? Bukan melulu seberapa banyak pekerjaan itu mendatangkan pundi-pundi uang, memperkaya diri, menaikkan eksistensi, dan seterusnya.

Bagaimana? Sekarang apa keputusan bagi kita para pemuda, menjadi penyelamat bangsa di masa yang akan datang dengan menjadi pahlawan pangan negeri ini atau mengikuti arus dengan menjadi karyawan atau buruh demi kepentingan individu dan dikontrol oleh kekuatan kaum pemodal (kapitalis)? Mari, tentukan pilihanmu! (FX. Hastowo Broto)