Diksusi Pendidikan Inklusi : Kemendikbud Dorong Lahirnya ULD Pendidikan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Terkait kebijakan atau regulasi atau norma-norma serta implementasi pendidikan inklusi, Sunarman dari Kantor Staf Presiden (KSP) menyampaikan beberapa aspek baik kurikulum dan penganggaran dan juga terkait sarana dan pra sarana. Dalam konteks wacana perwali pendidikan dari perda penyandang disabilitas nomor 9 tahun 2020, menurut Sunarman, 80% persen berbicara siapa melakukan apa. Beberapa cerita pengalaman yang disampaikan oleh Agnes Widha dalam diskusi sebelumnya merupakan materi yang memperkuat mengapa perwali ini harus ada, dengan mengamanatkan banyak hal.  Demikian paparan Sunarman dalam diskusi seri kedua menyoal pendidikan inklusi Jaringan Visi Solo Inklusi, Kamis (1/7).

Saat berbagi materi dari Kemendikbud, Sunarman mengatakan bisa menjadi pengganti naratif akademik. “Jika kemarin teman-teman mendapatkan cerita tentang sejarah pendidikan inklusi dan mendapat value dari pengetahuan tersebut, maka sekarang kita sampai kepada “Where We Go”?” terang Sunarman.

Dalam konteks kebijakan nasional, dan disesuaikan dengan amanat perda penyandang disabilitas, terminologi yang masih digunakan adalah ‘berkebutuhan khusus’. Jika beberapa waktu lalu peserta diskusi telah mendapatkan pencerahan terkait konsep sejarah dan filosofi tentang pendidikan inklusi dan sejarah yang memberikan landasan, maka pendidikan inklusi yang akan diperlukan seperti apa tidak jauh beda misalnya kebijakan terkait zonasi, sebab menurutnya hal ini memotret secara jujur kemampuan pemerintah dalam menentukan pendidikan yang dibutuhkan. Jika yang dibutuhkan kelas bertambah maka akan ditambah. Kalau guru kurang di bidang tertentu maka harus didrop atau diberikan pelatihan.

Mengapa ini penting karena dengan sistem zonasi supaya tidak terjadi penolakan pada anak berkebutuhan khusus sehingga anak tersebut tidak bersekolah di SLB atau sekolah inklusi yang jaraknya jauh. Kurikulum yang digunakan adalah berbasis kompetensi dengan bahan ajar dan modul yang kontekstual dan opsional serta adanya tes penempatan. Ini yang masih jadi perdebatan di kalangan aktivis difabel dan nanti yang akan didiskusikan bersama para akademisi. Namun para pegiat disabilitas akan menyamakan persepsi dulu tentang berbagai aspek pendidikan inklusi.

Dalam konteks kondisi ekonomi, menjadi realita ketika para pegiat disabilitas yang mengawal pendidikan inklusi ini menemukan adanya biaya tambahan yang dibebankan pada orangtua. Kalau bicara kondisi sekarang saat pandemi, baik daring maupun luring, dengan kebijakan yang diterapkan, seoptimal mungkin peserta didik paham. Hal yang perlu dipelajari adalah terkait kenyamanan peserta didik disabilitas, sesuatu yang beragam dan modul dirancang untuk belajar mandiri. Sunarman menambahkan bahwa Permendiknas 70/2009 masih berlaku.

Tentang unit layanan disabilitas pendidikan, saat ini sedang disusun Permendikbud tentang Unit Layanan Disabilitas Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah serta Pendidikan Tinggi. (Astuti)