Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Rainy Hutabarat, komisioner Komnas Perempuan dalam Diskusi Tematik Pra Konas XIV Jaringan Kerja Lembaga-lembaga Pelayanan Kristen  (JKLPK) Indonesia  menyatakan bahwa data kekerasan perempuan  yang paling banyak adalah kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), yang masuk ranah personal. Menurutnya masih banyak yang belum melapor karena terkait aksesibilitas, dan masalah kultur misalnya ketika terjadi KDRT. Bahkan masih ada yang menggunakan teks kitab suci. Juga masih  adanya wilayah 'terbuang' yang  butuh dorongan advokasi dari gereja misalnya daerah Papua. Harapannya semakin banyak lembaga layanan supaya mengurangi angka kekerasan yang terjadi.



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Pers Release Menghitung Hari Pembahasan RUU Perlindungan PRT


Jakarta- Di tengah hiruk pikuk pelaksanaan persiapan Pemilu, Koalisi Sipil untuk UU PPRT mengingatkan, bahwa Pemerintah dan DPR masih punya pekerjaan rumah untuk membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU) PPRT.  Pembahasan RUU PPRT mendesak untuk dilakukan agar tidak terlupakan di tengah pencalonan para Capres. 

Koalisi Sipil untuk UU PPRT menyatakan bahwa hingga sekarang Pemerintah masih ditunggu untuk segera mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), DIM ini sangat penting untuk dilakukan sebelum dibahas di DPR RI, namun Koalisi Sipil mengingatkan bahwa kita perlu menghitung hari agar RUU PPRT tidak terlupakan dengan ramainya penyelenggaraan Pemilu, karena jika ini terjadi, para anggota DPR akan banyak fokus ke pelaksanaan Pemilu. Maka dengan kondisi, Koalisi Sipil untuk UU PPRT menyatakan pentingnya mengingatkan semua pihak agar segera melaksanakan ini paska Presiden mengeluarkan Surat Presiden (Surpres).

Koordinator JALA PRT, Lita Anggraini  menyampaikan bahwa beberapakali sudah diundang pemerintah dalam penyusunan DIM, maka harapannya, DIM sudah selesai dan dikirimkan ke DPR dalam minggu ini sebelum tanggal 12 Mei. Sehingga ketika  RUU PPRT bisa segera dibahas ketika DPR mulai bersidang mulai pertengahan Mei 2023.

“Masih ada langkah krusial yang harus dilakukan sekarang, yaitu Pemerintah mengirimkan DIM ke DPR dan RUU PPRT dibahas bersama di DPR RI mulai masa Sidang Mei-Juni 2023,” kata Lita Anggraini.

Permintaan untuk segera mengirimkan DIM dan dibahas di DPR ini menjadi isu krusial karena tenggat waktu pengiriman DIM sebelum tanggal 26 Mei 2023. Dan RUU PPRT harus dibahas disahkan segera. Jika ini lewat dari bulan Mei 2023, Koalisi Sipil merasa bahwa nantinya DPR sudah sibuk dengan persiapan Pemilu, maka penting untuk segera menyelesaikan dan membahasnya. 

Sebelumnya, para pimpinan DPR RI telah menetapkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna DPR RI pada 21 Maret 2023. JALA PRT, para Pekerja Rumah Tangga, Koalisi Sipil UU PPRT bersama para tokoh masyarakat mengapresiasi Ketua dan para pimpinan DPR, semua Fraksi, Baleg dan Ketua dan Anggota Panja RUU PPRT serta para anggota legislatif yang telah membawa RUU PPRT menjadi RUU inisiatif. Apresiasi juga disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo atas komitmennya dalam statemen resmi Istana 18 Januari 2023 untuk mempercepat pengesahan RUU PPRT. 

Maka paska disahkan dalam rapat paripurna 21 Maret 2023, Koalisi Sipil berharap pada awal Mei 2023 Pemerintah sudah mengirimkan DIM dan segera dibahas di DPR RI. 

“Kita yakin bahwa pembahasan bersama DPR dan pemerintah akan menghasilkan UU yang bermanfaat dan implementatif di lapangan demi Indonesia sebagai negara dan bangsa yang ramah dan berkemanusiaan, berkeadilan, tanpa ada pengecualian terhadap PRT,” kata Lita Anggraini.

Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika mengingatkan tentang pekerjaan rumah RUU PPRT ini agar jangan dilupakan, karena dengan pembahasan DIM, artinya ini tinggal selangkah lagi RUU ini menjadi UU.

“Jangan sampai perjuangan yang sudah panjang, krusial menjadi  tertunda ketika sudah mendekati Pemilu dan semua pihak sibuk mempersiapkan Pemilu, karena RUU PPRT ini sangat krusial untuk perempuan.”

Ibu Giwo Rubianto KOWANI menyatakan, mengesahkan RUU PPRT adalah menyelamatkan banyak perempuan di Indonesia yang bekerja secara domestik. Memerjuangkan perlindungan PRT yang  berjumlah 4 sampai 5 juta dan rentan kekerasan ini, ini sama pentingnya dengan memperjuangkan perempuan dalam Pemilu.  

Eva Kusuma Sundari dari Koalisi Sipil UU PPRT menyatakan, di tengah penyusunan DIM ini, Koalisi akan mengadakan road show ke kampus-kampus pada bulan Mei 2023 untuk sosialisasi RUU PPRT. Sosialisasi dengan melibatkan kampus ini menjadi sesuatu yang penting dimana mengajak mahasiswa dan para pendidik untuk mendukung RUU agar segera disahkan.  

“Semua pihak kami ajak untuk melakukan gerak bersama karena dukungan harus dilakukan semua pihak,” kata Eva Kusuma Sundari.

Harapan yang sama juga dirasakan para PRT seperti Adiati dan Jumiyem. Keduanya menyatakan terimakasih atas dukungan banyak pihak dan mengajak bergerak bersama para PRT untuk mendorong, mendukung DPR dan pemerintah dalam gerak bersama. 

JALA PRT dan Koalisi Sipil untuk UU PPRT telah menerima dukungan dari sebanyak 274 berbagai organisasi dan 280 tokoh-tokoh masyarakat untuk pengesahan RUU PPRT, dan kini terus mendorong DPR untuk mengambil langkah berikutnya agar pembahasan RUU PPRT antara DPR dan Pemerintah segera dilakukan dan RUU PRT bisa segera disahkan

Maka dengan kondisi ini, Koalisi Sipil untuk UU PPRT menyatakan bahwa:

Mendesak Pemerintah untuk mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke DPR sebelum tanggal 12 Mei 2023, mengingat DPR mulai bersidang Kembali 15 Mei 2023
Meminta DPR RI menetapkan pembahasan RUU PPRT  bersama Pemerintah dalam waktu terdekat setelah masa Sidang Mei dimulai pada pertengahan Mei 2023
Meminta semua pihak untuk mendukung RUU PPRT dan bergerak bersama

Kontak: Lita Anggraini (0812-4720-0500)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Pada akhir Maret 2023, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kolegium Juris Institute dan Fakultas Hukum UGM menyelenggarakan FGD partisipasi publik terkait RUU Kesehatan.

Narasumber Dr. Hasrul Buanamona, pakar hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta di hadapan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, menyampaikan empat poin gagasan yaitu : 1. Integrasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang memiliki hubungan dengan pelayanan kesehatan, 2. RUU Kesehatan harus mempermudah pengangkatan tenaga profesi medis dan tenaga profesi kesehatan untuk ASN dan PPK untuk menjawab kurangnya tenaga medis di wilayah terpencil (3 T), 3. Mengatur norma terkait Kedudukan Rekam Medis sebagai alat ke dalam RUU Kesehatan, 4. RUU Kesehatan harusnya membuat peradilan profesi medis yang keududukannya di bawah Mahkamah Agung demi terwujudya acces for justice.  

Seperti diketahui bersama bahwa dalam proses pembentukan hukum terdapat empat aspek penting : yaitu : 1. aspek regulasi, 2. Aspek Sumber Daya Manusia, 3. Aspek Kelembagaan dan infrastruktur, 4. Aspek Budaya.

Hasrul menyatakan bahwa wajah politik hukum kesehatan di Indonesia penuh dengan konflik pembentukan norma, tumpang tindih aturan, sampai berebut kewenangan. Hal ini disebabkan politik hukum peraturan perundang-undangan dalam pelayanan kesehatan tidak saling terintegrasi. Contoh kecil ada pada : Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit), dalam konsiderannya tidak memuat sama sekali UU Nomor 36 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) sehingga menjadikan mundur karena menjadikan industri perumahsakitan. 

Ini juga terjadi di UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (UU BPJS). Konsiderannya sama sekali tidak memuat UU Kesehatan sehingga jelas menampakkan internal pemerintah belum memiliki kesatuan paradigma pelayanan kesehatan yang baik sebagai hak konstitusional masyarakat. Harusnya keempat UU itu terintegrasi. Sebagai payung hukum UU BPJS, UU Praktik Kedokteran, UU Kebidanan, UU Keperawatan, UU BPJS, UU Kesehatan.

Pelayanan sebagai Hak Ekosob HAM, sebagai politik hukum tidak bisa melepaskan intervensi kebijakan hukum pemerintah sebaliknya pemerintah tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya pada masyarakat. Beberapa poin yang bisa dicatat kembali adalah : 1. Kehadiran RUU ini untuk menghitung lagi berapa biaya pendidikan kedokteran yang saat ini masih sangat mahal., 2. Memberi subsidi atas pembiayaan pendidikan. Tersebut, 3. Bencana COVID-19 , pemerintah harus mengangkat tenaga kesehatan (nakes) honorer untuk jadi ASN untuk menjamin kepastian hidup. Sebab para nakes menerima beban kerja yang luar biasa dari para nakes yang berstatus ASN., 4. Esensi hukum dalam rekam medis agar tak bertentangan dengan UU Perundungan Data Pribadi, 5. RUU ini mengatur pembentukan peradilan profesi medis/ kesehatan di bawah Mahkamah Agung (MA). (ast)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Musyawarah Nasional Perempuan pertama kali diinisasi di tahun 2023 ini dan masih banyak tantangan yang memerlukan langkah stategis dengan mengangkat kebergaman kondisi berperspektir GEDSI yakni  perempuan miskin, perempuan disabilitas, perempuan kepala keluarga, perempuan berhadapan dengan hukum dan   perempuan pekerja tanpa upah dan perempuan dengan berbagai lainnya.


Sedangkan tujuan musyawarah nasional perempuan menurut ketua panitia Budi Mardaya, adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas perempuan dengan berbagai kondisi yang dimulai  dari desa, memastikan bahwa suara perempuan diakomodasi, mengintegrasikan program integratif yang dikembangkan oleh Kementerian PPPA di akar rumput yakni Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA/KRPPA) yang menjangkau 34 provinsi dan 68 kabupaten/ kota.

Dalam musawarah nasional yang diikuti secara hybrid oleh 3000 peserta di 136 kab kota selama dua hari, melibatkan lima kementerian dan Bappenas serta delapan organisasi masyarakat sipil dan organisasi difabel serta kemitraan yakni : KAPAL Perempuan, BaKTI, Aisyiyah, PEKKA, SIGAB, Migrant Care, Kemitraan dan PKBI.
  
Hasil dari musyawarah nasional ini adalah perempuan terlibat aktif dalam pembangunan dan rujukan hasil musyarawarah  sebagai masukan penyusunan dokumen RPJMN  dan perencanaan pembangunan sektor lain  serta penyusunan analisis berbasis GEDSI.

Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri PPPA,menyatakan bahwa  partisipasi dan suara perempuan benar-benar bermakna harus dipastikan. Tahun 2023 adalah tahun perencanaan  separuh jalan pelaksanaan SDG's,   juga RPJMN dalam waktu bersamaan. Momentum ini sangat penting untuk memastikan suara dan partisipasi perempuan yang tercermin baik dalam proses maupun perencanaannya.  

Juga sebagai pengakuan negara bahwa tidak boleh adanya diskriminasi dan negara melindungi dari segala bentuk diskriminasi dan pelanggaran  yang tertuang di UU 45.

Bintang juga mengatakan bahwa Inpres nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarutamana Gender, ada  pengarusutamaan pembangunan dan terumuskan dalam RPJMD dan RPJM Nasional. Lalu bagaimana kita dapat menyusun pembangunan yang mewujudkan kemerataan perempuan, anak dan perempuan  difabel? 

Bagi pemda, acuannya adalah Undang-Undang  nomor 23 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak  dan hal ini wajib dilakukan oleh pemda. Prinsip kesetaraan gender tercanrum di SDG's dan harus dipastikan No One Life Behind semua harus ikut serta. Perencanaan pembangunan yang repsonsif gender harus dilakunan dari desa sampai di tingkatan atasnya. 

Perempuan 49,5% mengisi setengah dari populasi Indonesia  dan anak 1/3 Indonesia.  Perempuan dan anak adalah sumber daya. Namun hingga saat ini ketika pelaksanaan pembangunan akan selesai masih banyak persoalan di berbagai sektor dan bidang pembangunan.

Ketimpangan gender masih menjadi persoalan yang mendasari ketertinggalan perempuan dan anak. Juga kuatnya norma-norma budaya patriarki yang realitanya berdasar data dan  indeks. 


Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia memperlihatkan tren peningkatan tapi kualitas pendidikan,  kesehatan dan ekonomi semakin hari semakin baik namun jika dibedah berdasar jenis kelamin justru perempuan tertinggal terutama perempuan rentan dan marjinal.


IPM hanya bergerak maju di bawah satu digit. Kedudukan Indonesia di Asean nyaris pada posisi terendah yaitu 9 dari 10 negara. Demikian juga di antara negara G20, Indonesia menduduki rangking 16 dari 20 negara  juga rangking MIKTA, 4 dari 5 negara. Padahal dalam forum-forum tersebut Indonesia selalu memimpin sebagai ketua. Demikian juga ketika melihat indeks pemberdayaan gender memperlihatkan postur perkembangan jauh lebih baik dengan adanya lonjakan angka 2019 ketika prosentase keterwakilan perempuan meningkat.  

Namun dari variabel pendapatan perempuan sesungguhnya masih lebih rendah dari laki laki. Selain tiga indeks yang dipaparkan oleh menteri. Di tingkat global terdapat dua indeks lagi, yang juga selalu diukur dan diperbandingkan setiap negara adalah indeks ketimpangan gender dan global gender gap indeks. Dari angka-angka indeks ketimpangan gender dan global gender gap tampak rendah.

Rencana Aksi Nasional (RAN) di kementerian dan lembaga masih menjadi PR, tentu butuh dukungan Pemda dan pemkot serta pemangku kepentingan lainnya  menjadi sangat urgen. 

Pada perlindungan anak, untuk menghitung perlindungan sosial pada anak secara komprehensif, sejak tahun 2018 Kemen PPA bersama BPS membagi 3 indeks yaitu indeks perlindungan anak yang terbagi ke dalam indeks pemenuhan hak anak dan indeks perlindungan khusus. Keselurahan itu  semua yang dimanatkan 5 cluster dan sub konvensi hak anak.

Sekalipun pembangunan responsif gender telah diupayakan dalam berbagai cara dan strategi serta berbagai sektor bahwa postur angkatan kerja Indonesia  masih timpang,  hanya separuh perempuan bekerja secara formal  sebab perempuan terus-menerus dihadapkan dengan pilihan terus bekerja atau mengurus anak. 

Tingginya pernikahan anak membuat perempuan harus memaksimalkan peran ekonominya. Juga terkait terus turunnya angka partisipasi sekolah, saat pandemi teres turun angka partisipasinya dan menjadi salah satu  faktor yang menghambat peran sosial ekonomi. Dari hal ini dapat dilihat sumbangan perempuan dan rendahnya pendapatan per kapita yang perlu diapresiasi, demikian dikatakan Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Dalam kepemimpinan perempuan, menurut Gusti Ayu Bintang, semakin banyak provinsi di atas rata-rata. Angka harapan hidup perempuan Indonesia cukup tinggi dan cukup tinggi di masa COVID-19.

Berlangsungnya dampak perubahan iklim masyarakat pesisir yang menjadikan  hilangnya sumber daya alam di hadapan mereka.  Belum lagi bahwa perempuan masih berada dalam siklus kekerasan .

Data dari SIMFONI dan SAPA memperlihatkan tren peningkatan. Angka peningkatan bisa dilihat sebagai tren semangat masyarakat untuk mengakhiri kekerasan. 

Survey yang dilakukan oleh Kemen PPPA , yang terjadi  pada perempuan dan anak  kalau dilihat angka nominal maka jumlahnya memprihatinkan sebab  prosentase kekerasan seksual  melebihi prosentase kejahatan lain. Perempuan dan anak mengalami terus- menerus kekerasan sehingga menghambat mereka maju.

Kementerian PPA  mendapat 5 prioritas dari Pesiden  maka harus dikerjakan bersama baik lokal sampai nasional antara lain :   1.  Upaya kesetaraan gender, 2. Meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak. 3.  Langkah mengakhiri kekerasan  

Betapa luas dan kompleks masalah tersebut sehingga Kemen PPPA bisa pastikan bahwa kemajuan perempuan  dan anak berdampak nyata pada indikator manusia indonesia. 

Menteri akui bahwa meski pembangunan sudah luas namun belum  berhasil menjawab ketimpangan. Ketimpangan gender terjadi pada akses partisipasi dan kontrol program pembangunan sehingga perempuan tidak dapat merasakan manfaat pembangunan. Serta terdapatnya   layanan perlindungan yang belum menyeluruh ada di pelosok-pelosok.

Untuk itu kualitas perencanaan pembangunan harus lebih ditingkatkan dan diperkuat kualitas partisipasi masyarakatnya  dalam perencanaan. Dan harus betul-betul dipastikan terjadi. (ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Wiwin Siti Aminah Rohmah, Co Founder Srikandi Lintas Iman dan Direktur Direktorat GESI UNU/Gender Equality and Social Inclusion Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta dalam siaran IG Live @letsstalk_sexualities yang dipandu oleh Renvi Liasari menyatakan bahwa Indonesia memiliki deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/Kepercayaan PBB tahun 1981 Pasal 1 menyatakan,”Setiap orang bebas untuk memilih dan menganut agama/kepercayaan, dan memanisfestasikannya secara pribadi dan berkelompok, baik dalam beribadat, pengalaman, maupun pengajarannya.”

Tetapi hingga kini masih terus-menerus banyak kasus intoleransi beragama dan berkeyakinan. Ini yang kemudian menurut Wiwin menjadi keprihatinan bersama,

Wiwin tertarik dengan gerakan perempuan dan isu keberagaman dan itoleransi yang menurutnya bukan sesuatu hal baru, ketika masuk universitas ditahun 1995. Ketika itu mulai ada pengkaderan dan ia dikenalkan isu gender. Menurutnya itu menarik karena erat hubungannya hak perempuan.

Ia kemudian menggeluti  isu  lintas iman di tahun 1997 menjelang terjadinya reformasi. “Kita punya potensi cukup besar terjadinya konflik jadi kalau tidak diantisipasi akan berpotensi muncul kembali,”ujarnya. Sama keyakinannya bahwa masyarakat punya peran atau kontribusi bagi terwujudnya toleransi di Indonesia.

Terkait sebanyak apa atau kuantitasnya, para aktivis yang fokus ke isu intoleransi lintas iman dan agama menurut pengamatan Wiwin sejauh ini belum banyak, baik personal atau organisasi. Wiwin juga bertanya kepada teman pun terkait dan peneliti melihat isu toleransi dan lintas agama bukan sebagai prioritas.

Ada prioritas lain yang dipandang mendesak dibanding isu ini. Padahal tantangan di Indonesia cukup besar terkait isu toleransi sebab budaya patriarki belum memberi ruang cukup besar. Isu ini masuk di crosscutting isu dan irisannya cukup besar dan kalau terjadi kasus intoleransi, korbannya adalah perempuan dan anak-anak, juga terkait kasus terorisme.

Contohnya kasus Ambon dan Poso yang paling menderita perempuan dan anak. Perempuan di dalam konflik maupun tidak di konflik selalu sebagai pioner.

Di Ambon banyak penelitian menemukan mama di Ambon justru membuat ruang netral, komunitas Kristen dan muslim berjumpa di pasar. Perempuan, bagaimana bisa survive terkait kehidupan itu sendiri, mereka harus menembus batas-batas.

Namun begitu masih banyak yang belum melihat bahwa perempuan sebagai agen perdamaian.

Berdasarkan riset Wahid Foundation masih banyak terjadi kasus intoleransi di masyarakat terkait Suku, Agama dan Ras (SARA).

Juga sumber dari Kementerian Agama menyatakan bahwa indeks toleransi beragama belum seperti yang diharapkan sebab tidak semua daerah memiliki  meindeks yang diharapkan. Nusa Tenggara Timur (NTT)  indeks tertinggi.

Situasi-situasi di NTT atau Kupang belum tentu terjadi di semua daerah.Ini menjadi persoalan serius baik dibanding jumlah daerah terkait otonomi daerah. Jadi sebaiknya isu ini diinisiasi di tingkat lokal dan tidak menunggu pusat sehingga daerah bisa menjadi basis. Serta  bagaimana mereka bisa mengeluarkan kebijakan yang mendukung toleransi.

Lalu faktor lain apakah yang membuat kasus intoleransi tetap terjadi? Sebenarnya ada banyak faktor yang bisa  digali mengapa kasus itu masih terjadi sampai saat ini di antaranya pemahaman yang masih belum terbuka sebab orang tidak akan melakukan intoleransi kalau dia memiliki cara pandang inklusif.

Kedua adalah Law Enforcement praktik penegakan hukum atau sistem yang di dalamnya terdapat anggota pemerintah yang bertindak secara terorganisir untuk menegakkan hukum dengan cara menemukan, menghalangi, memulihkan dan menghukum sangatlah penting. Kalau ada kasus diselesaikan dengan baik, maka tidak akan terulang. Kalau sampai pengadilan mengambang, maka berpotensi peristiwa kembali berulang.
 
Ketiga, penting terkait tokoh agama harus menjadi tokoh yang benar-benar teladan misalnya kyai dalam konteks Islam.

Keempat berkaitan faktor regulasi. Di Indonesia satu sisi mendukung di satu sisi kurang mendukung misalnya terkait rumah ibadah. Kasus tertinggi saat ini adalah pelarangan atau persulitan pendirian rumah ibadah misalnya soal keharusan ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kenyataan ada dukungan sekian puluh orang misalnya harusnya itu sudah menjadi prasyarat. Konteks Indonesia terkait lokalitas ada perbedaan jumlah penduduk dan aturan itu belum tentu diaplikasikan di Indonesia. Faktor ini dari dulu sampai sekarang ada yang sama ada yang berbeda.

Sekarang ini ada gejala over relijiusitas/ beragama secara berlebihan sehingga sedikit-sedikit dikaitkan dengan syariah.

Ada kasus terkait keadilan gender dan intoleransi beragama dan bagaimana hal tersebut ada keterkaitannya. Misalnya kasus Medan yang mempersoalkan azan, perempuan budhis yang dia sebenarnya tidak protes dalam pengertian keras, namun karena isu ini sensitif kemudian berkembang.

Dalam konteks kasus ini perempuan mendapat beban ganda yakni dia sebagai perempuan dan dia dibully. Perlu diakui bahwa kasus intoleransi tidak melulu dilakukan laki-laki. (ast)