Catatan Diskusi Tematik Pra Konas XIV JKLPK terkait Kekerasan pada Perempuan dan Anak

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Rainy Hutabarat, komisioner Komnas Perempuan dalam Diskusi Tematik Pra Konas XIV Jaringan Kerja Lembaga-lembaga Pelayanan Kristen  (JKLPK) Indonesia  menyatakan bahwa data kekerasan perempuan  yang paling banyak adalah kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), yang masuk ranah personal. Menurutnya masih banyak yang belum melapor karena terkait aksesibilitas, dan masalah kultur misalnya ketika terjadi KDRT. Bahkan masih ada yang menggunakan teks kitab suci. Juga masih  adanya wilayah 'terbuang' yang  butuh dorongan advokasi dari gereja misalnya daerah Papua. Harapannya semakin banyak lembaga layanan supaya mengurangi angka kekerasan yang terjadi.

Menurut Rainy saat ini baru ada 7 tingkat sinode yang memiliki Woman Crisis Center (WCC) misalnya pada  Gereja Kristen Jawa (GKJW).

Ia menambahkan saat ini data yang dilaporkan lembaga layanan terbanyak adalah kekerasan fisik dan seksual yang jadi salah satu data terbanyak. Kekeraaan seksual tidak pernah di angka kecil, paling tidak tiga besar. Di ranah personal ada kekerasan dalam pacaran, kekerasan dengan pasangan, KDRT juga yang dilakukan mantan suami , termasuk femisida.

Sedangkan pengaduan khusus perempuan yang tertinggi adalah kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Ada inces angka tinggi dengan pelaku ayah sambung atau ayah sendiri. Rumah yang seharusnya dianggap aman tidak menjamin aman.

Dampak secara psikis sangat terlihat pada korban, maka sangat penting bagi perempuan korban dilakukan pendampingan psikis. Mereka merasa malu dan memiliki rasa berdosa pada diri sendiri serta ingin bunuh diri. Hal ini perlu ditegaskan bahwa masalah kekerasan bukanlah masalah personal tetapi masalah sosial, politik dan budaya. Ada gangguan relasi sosial juga diri sendiri misalnya adanya disorientasi, termasuk dosa pada Tuhan, tidak tercapainya target pekerjaan dan akan jadi dampak lebih banyak lagi, apalagi negara akan kehilangan sumber daya. Dampak seksual  korban akan menjadi frigid. Di beberapa kasus pada difabel mental dan intelektual terjadi adiksi.

Secara ekonomi penghasilan turun dan berdampak bagi anak-anaknya. Mengurung dari  ruang publik dan merasa tidak aman. Korban meninggalkan rumah. Ketika meninggalkan rumah dilaporkan balik dengan tuduhan penelantaran. Suami merekam hubungan intim atau seksual lalu suami mengancam dengan  alat video itu agar istri tidak mengadu polisi.

Lalu bagaimana penyelesaian?Ada banyak hambatan dalam pengaduan. Penyelesaian hukum tertinggi adalah  dengan menaikkan kasusnya kembali. Atau  penyelesaian hukum dengan cara damai. Ada dengan cara-cara mekaniske adat dan  memerlukan waktu yang panjang. Ini terjadi pada wilayah jauh seperti Papua untuk mengakses lembaga layanan sulit. Mereka juga perlu Restoratif Justice. JR yang mereka pakai justru merugikan  korban karena korban tidak dilibatkan, sebab  cara patriarki hanya laki laki yang mengurus. Perempuan tidak dilibatkan dalam kasus yang terjadi pada dirinya.

Ada hal yang harus dipenuhi. : pemulihan, ganti rugi, apabila korban adalah disabilitas maka wajib dipenuhi pendamping. Dengan adanya realitas banyak  korban yang justru  dituduh sebagai penyebab, lalu korban dikawinkan dengan pelaku, maka KDRT akan terus berlaku. Belum lagi masalah kultural tentang pernikahan, seperti adanya anggapan "untung dia ada yang mau' juga masalah kultural harus dikawinkan dengan yang seagama.

Di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) semua bentuk kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan dengan RJ. Ada yang dilakukan RJ tetapi masih ada perkara perdata atau dengan sanksi hukum.

Sebenarnya sudah ada undang-undang  memastikan ada perlindungan korban, yakni LPSK. Misalnya sangat banyak kasus kekerasan seksual terjadi di ruang publik dan ketika pelaku mengancam. UUTPKS mengatur seminggu setelah pelaku  bebas harus ada perlindungan kepada korban atau setelah korban melaporkan maka segera mengupayakan ruang aman. Korban diamankan dari pelaku.

UU TPKS detilnya sudah ada tinggal PP untuk pelaksanaannya.
Secara umum undang-undang memastikan dan butuh implementasi dari daerah-daerah. Mulai dari korban mengadu sampai dia melaporkan.

Pada kluster Hak, keterlibatan korban penting agar ia tahu hak apa yang harus dipenuhi termasuk akses informasi.
Di lembaga pendidikan sekarang  seperti di perguruan tinggi ada satgas kekerasan seksual dan  perlu dibangun kode etik bahwa kerahasiaan korban harus dijaga. Tidak untuk konsumsi publik apalagi ini rahasia. Serta aparat hukum menghindari pertanyaan-pertanyaan sensitif  terkait baju, tempat dan kerja, termasuk kepada  pekerja seks korban.

Relasi kuasa berkaitan dengan  apakah dia akan terus melaporkan dalam proses hukum dan harus  dipastikan bahwa perempuan tidak mengalami kriminalisasi atau dituntut baik akan pengaduannya. Perempuan korban harus pulih dengan pendampingan-pendampingan. Kalau perempuan korban tidak pulih maka bagaimana  dia  akan menyelesaikan masalah hukumnya.


Bagaimana terkait Perlindungan Anak?

Pdt. Silvana M. Apituley, Komisioner KPAI menyatakan bahwa  jumlah kasus  sebanyak 4.600 yang dilaporkan dan dilayani KPAI. Itu hanya puncak masalah yang sesungguhnya. Terlihat wilayah mana yang melampirkan dan ada ketimpangan kapasitas yang melampirkan. Tertinggi adalah Jawa Barat dan terendah Lampung dan Sulawesi Selatan. Ini artinya sangat timpang pendataannya  selama ini atau kapasitas masyarakat melaporkan dan kapasitas pemerintah. Banyak data didapat dari PPA polres yang sudah banyak dan lengkap.

Ada dua pembidangan pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak. Bentuk kekerasan yang paling tinggi yang dilakukan pada anak. Jumlah korban berdasar jenis kelamin 64% perempuan. Anak berkonflik  dengan hukum juga tinggi dan 85% anak laki-laki.
Kenapa Anak? Sebab
1. Data kekerasan terhadap anak tinggi beragam, makin kompleks (digital, dll) di semua ranah berbanding lemahnya sistem pencegahan dan penanganan kasus.
2. Jenis data kekerasan terbanyak dilaporkan/ditangani : pengasuhan bermasalah/konflik orangtua/keluarga kekerasan seksual dan kekerasan fisik/penganiayaan (budaya corporal punishment vs budaya disiplin positif).
3. Rumah/keluarga rapuh dan belum menjadi tempat yang aman/nyaman bagi anak.
4. Anak paling rentan menjadi target/korban dalam kekerasan dalam masyarakat patriarki/konservatif
5. Dalam konflik orang dewasa anak adalah korban terlupakan.
6. Konteks khusus :  pemilu, wilayah 3T, konflik berlapis (Papua) dan kelompok minoritas (agama, abilitas, sex/gender) dst.
7. Di mana posisi peran agama? (Ajaran, struktur, kebijakan/leadership, praktik/include ritual, dst)

Kekerasan terjadi di semua ranah. Di sisi lain harus diakui bahwa sistem penanganan kasus dan pencegahan kasus masih cukup lemah bahkan ri daerah yang diidentifika 3T sistemnya tidak ada sehingga anak bertumbuh kembang tanpa  perlinrungan yang signifikan. Perlu menjadi perhatian semuanya.

Adanya budaya penghukuman dengan kekerasan fisik yang saat ini juga masih berlaku bisa jadi embrio budaya kekerasan. Masyarakat belum mengadopsi pendisiplinan positif. Berdasar pengalaman anak, rumah atau keluarga sangat rapuh. Anak paling rentan mendapat target atau korban  kekerasan dalam masyarakat patriarki. Dalam konflik orang dewasa, anak luput dalam perhatiannya terutama dalam kasus KDRT juga konflik sumber daya alam.

Beberapa  rekomendasi disampaikan oleh Pdt.Silvana yakni 1. Fokus pada pencegahan; tingkatkan penanganan prioritaskan sistem layanan terpadu berbasis komunitas. 2. Kerja sama multi pemangku kepentingan : gereja, pemda, LSM anak/perempuan, komunitas lintas iman, 3. Penyadaran publik di lingkungan gereja, pendidikan HAM, hak anak dengan mengemban prinsip non diskriminatif, kepentingan terbaik anak, hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi. 4. Kantor Nasional kerja sama dengan KPPPA, KPAI, Kemensos, PGI, Perguruan Tinggi Kristen dan lembaga berbasis gereja lainnya. (ast)