Catatan Jejak Langkah Gerakan Perempuan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Saskia Wieringa, seorang peneliti dan juga dosen dalam siaran diskusi publik memperingati Hari Perempuan Sedunia  dan disiarkan  YouTube bertanya mengapa gerakan perempuan dihancurkan? Dari dulu ia tertarik tentang ini. Saksia bercerita waktu  masuk gerakan perempuan Belanda yakni di tahun 1968, saat itu gerakan perempuan di Belanda baru dimulai. Sedangkan gerakan perempuan Indonesia sudah hancur. Di tahun 50-an gerakan perempuan di Belanda hampir tidak ada, lemah sekali. Tetapi sampai tahun 1965, gerakan perempuan di Indonesia sangat kuat, termasuk paling kuat di dunia. "Kita betul-betul harus sadar bahwa Gerwani waktu itu nomor tiga jumlah terbanyak di dunia, setelah China dan Rusia. Padahal kita bukan negara komunis," ujar Saskia.

Maka dari itu timbul pertanyaan yang terkuat, terbesar kok bisa kalah. Itu yang jadi bahan thesis S3 Saskia karena ia mau memahami. Saskia menulis buku berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan, dan  itu memang terjadi. Sekarang ia ingin menganalisis beberapa hal yang semestinya lebih mendalam. Satu hal yakni terkait konsep, konseptual, buku 'penghancuran' belum sampai pada itu. Sekarang zaman lebih maju. Yang kedua adalah apa yang terjadi dan mengapa organisasi Gerwani yang begitu kuat, bisa lemah. Dan perlu untuk dimengerti kelemahan Gerwani. Ia belajar dari pemilu presidensial di Indonesia pada tahun 2019, bahwa gerakan perempuan lemah.

Buku 'penghancuran' melihat dari sisi politik. Saat pemilu 2019 gerakan perempuan terpisah dan lemah padahal banyak perempuan memiliki kecerdasan. Kelemahan itu secara politis dan simbolis.

Gerakan perempuan mulai dari Indonesia merdeka, perempuan ikut serta bukan hanya sebagai penjaga dapur umum tetapi juga sebagai kurir untuk tugas utamanya. Waktu itu tidak ada internet atau pos. Kelompok gerilya saling menghubungi perlu peranan perempuan. Tapi sesudah itu peranan perempuan musnah. Membaca buku 'pergerakan', dimana peran perempuan? Saskia mengatakan jika Ben Anderson selalu menulis tentang pemuda, para laki-laki. Peranan perempuan hilang dalam buku sejarah, juga dalam kesadaran novel, dan puisi. Artinya yang jago-jago adalah laki-laki. Perempuan tidak diperhatikan. Kelemahan lainnya, ia membaca lagi buku penghancuran gerakan dan merasai buku itu lagi. Itu adalah gerakan perempuan muncul dari gunung, dari tempat gerilya. Mereka sangat feminis, sangat sadar ada perempuan yang sosialis, yang bekerja sama dengan gerakan-gerakan sosialis. Dari dulu sudah bekerja banyak tentang perkawinan, poligami, dan mereka yang betul-betul berjuang tentang itu. Itulah yang penting untuk perempuan.

Tetapi apa yang terjadi kemudian? Perempuan dari diri sendiri tidak bisa untuk mengikuti garis perjuangan mereka sendiri. Mereka langsung ditangkap dan disuruh ikut serta program PKI.

Kata Soekarno waktu itu, nanti kalau ada sosialis Indonesia, itu istilah Soekarno, itu perempuan sudah bebas. "Itu bohong. Itu harusnya bisa belajar, di Rusia, di China yang sama sekali tidak sampai itu. Perjuangan perempuan tidak akan berhasil kalau perempuan sendiri tidak punya program sendiri maka dari itu kalau perempuan biarkan program mereka diambil oleh PKI atau oleh Soekarno, mereka akan kalah. Itu persisnya yang terjadi,"ujar Saskia.

Oleh karena Gerwani kuat sekali, gagah sekali dan tidak ada satu organisasi pun pergi ke desa manapun, pergi untuk membantu buruh petani, tetapi karena  mereka ikut program laki-laki atau mengikut janji Soekarno, mereka kehilangan cita-cita mereka sendiri. Lama-lama sudah tahun 1951, sudah kongres pertama.

Karena untuk PKI, perempuan itu penting. Tetapi bukan untuk kepentingan perempuan, tentang monogami atau perjuangan anak, atau prostitusi atau pembagian kerja di rumah tangga, itu PKI sama sekali tidak peduli. Aidit tahu dan mengerti, tanpa perempuan revolusi tidak akan terjadi sebab yang dia mau hanya jumlah perempuan. Bahwa perempuan menjadi satu juta, dua juta tetapi Gerwani tidak sampai satu juta, dan dia kecewa.

Gerwis, perkumpulan pertama itu sangat feminis. Tetapi dalam perjuangan untuk memperoleh anggota-anggota baru yakni pelatihan kader tidak bisa lagi dilakukan. Kalau tahun pertama  mereka melakukan pelatihan, mereka tidak bisa melaksanakan lagi karena terlalu banyak orang, terlalu banyak anggota. Mereka banyak terlibat praktik sehari- hari. Mereka kalah. Saskia merasa contoh yang Indonesia adalah contoh dimana bisa belajar bagaimana negara bisa hancur.

Menurut Saskia, kita bisa belajar dari peristiwa 65 itu sebagai salah satu contoh terpenting Indonesia tentang politik seksualitas.. Bagaimana negara bisa hancur dan gerakan perempuan, gerakan sosial pada umumnya bisa hancur dan dihancurkan oleh politik seksualitas para jenderal. "Saya lama tidak tahu, siapa yang mengarang Gerwani memotong alat kelamin tentara?" tanya Saskia.

Ia baru membaca buku bahwa di kelompok Soeharto disebutkan untuk menghancurkan negara dilakukanlah semua gerakan perempuan dengan politik seksualitas. Semua bisa belajar dari Indonesia dan Saskia menulis banyak tentang itu dan banyak orang percaya bahwa itu bisa terjadi

Mereka mengarang dan menguasai koran, radio, semua media. Itu merupakan program dari Soeharto. Merek lama menyembunyikannya lalu kemudian sekarang semua tahu. Itu yang kemudian dinamakan heteronormativitas.

Heteronormativitas adalah sistem beberapa perilaku dianggap sah dan diterima oleh masyarakat dan perilaku yang lain tidak diterima. Itu masuk dalam berkenaan moralitas dan masuk dalam agama. Jadi agama lebih luas dari agama yang biasanya dilihat dari agama yang dipakai politik.

Selain itu kita bisa belajar bagaimana kita bisa menentang itu semua dengan kuat, bangun- bangun wacana, untuk kuat. Untuk tidak jadi korban politik seksualitas militer maka Saskia membangun beberapa konsep. Yang pertama bukan heteroseksualitas yang penting tetapi heteronormalitas karena heteronormativitas adalah dua mata pedang yang bisa membunuh siapa saja di luar norma dan itu mengancam semua orang di dalamnya.

Kedua kita mesti mengerti bagaimana subversinya. Bagaimana kita bisa mensubversi heteronormativitas  bukan hanya aksi di jalan. Meskipun demonstrasi ke jalan penting seperti saat ini ada aksi dukung pengesahan RUU PPRT. Tetapi ada dari kita yang  memakai heteronormativitas tapi tidak melakukan aksi keras yakni aksi subversi simbolis.

Saskia sedang menulis LBT, transeksual. Itu adalah bentuk hubungan antara lesbian, banyak yang "seolah' heteroseksual  tetapi bukan heteroseksualitas. Menurutnya Feminisme dan maskulinitas tidak tergantung kepada tubuh, itu konstruksi sosial.

Saskia mengulangi bahwa kita mesti tahu bagaimana menentang sistem heteronormativitas yang begitu kuat. Dan kita mesti punya agenda sendiri. Kita belajar dari pemilu 2019. Ada kelompok perempuan yang ikut Jokowi dan ada yang ikut Prabowo, daripada mereka memiliki program bersama. Itu yang terjadi juga sebelum tahun 65, ada organisasi yang sudah tidak punya program sendiri lalu hanya melihat kepentingan parpolnya laki-laki, maskulinitas dari maskulin. "Kita harus keluar dari sejarah itu. Gerakan perempuan Indonesia menanti untuk pemilu mendatang dan tidak lagi terpecah. Bangun program sendiri dan tuntutan sendiri. Bukan dari partai," seru Saskia. 

 Jejak Langkah Gerakan Perempuan : Kita Menentang Politik Nativisme Pribumi dan Non Pribumi

 

"Saya temui Ibu Sulami yang kulit tangannya keriput seperti kulit tangan nenek-nenek di kampung saya. Sambil bergetar, ia memberi saya buku catatan saat di penjara.".

Apa yang kita catat dalam konteks reformasi? Yuniyanti Chuzaifah, purna komnas perempuan, melihat bahwa reformasi itu adalah ujung atau titik mula dan jangan dilihat hanya sebagai turunnya Soeharto. Proses demonstrasi berhari-hari saat itu  adalah akumulasi panjang dari gerakan perempuan Indonesia melakukan delegitimasi terhadap Soeharto.

Yuni ingat Bu Sulami, penyintas 65, keluar dari penjara keadaannya sangat miskin. Para perempuan saat itu melakukan delegitimasi Soeharto gagal dalam mengelola negaranya dengan adanya kemiskinan. "Kita juga melakukan delegitimasi yang dilakukan Soeharto. Kita mulai membikin serikat-serikat. Kalau ada demo, gerakan perempuan itu ada di depan. Tidak takut meski ada tentara. Kita berkacak pinggang dan yang kita lakukan pendekatan feminin dan feminis. Kita pakai bunga . Kita kasih para militer dan  kita kasih bunga. Bukan karena kita takut. Kita menentang dan bilang bahwa yang kita angkat adalah ini," demikian kata Yuni. Yuni membangun Solidaritas Perempuan (SP), waktu itu bukan dengan mengumpulkan perempuan atau memperbanyak massa. SP ke Makassar, Palembang, dan Sulawesi tidak dengan massa tetapi kita mentraining.

Untuk mendapat tempat di hati perempuan setempat mereka bertarung dengan maskulinisme. Itulah yang  menjadi konektor saat mereka membangun perserikatan dengan memberikan training kepada para kader. Untuk membangun Solidaritas Perempuan (SP) di daerah mereka izin ke CSO setempat. Nah,  kemudian menurut Yuni, yang terjadi dari reformasi adalah mereka merawat grassroot dengan menerjemahkannya misalnya ia diajak pergi menemui buruh-buruh.

Setelah melakukan pengorganisasian kemudian mereka melakukan pembelajaran hukum kepada buruh-buruh itu. Ada peristiwa tak terlupakan waktu itu mereka harus memasukkan sandal  di dalam ruang sebab ketua RT RW merangkap jadi intelejen. Mereka  memasukkan sandal agar tidak terlihat dari luar sehingga terhindar dari penangkapan. 

Yuni pada saat mahasiswa bahkan ingin belajar tentang feminisme. Waktu itu ia bergabung dengan Yayasan Perempuan Mahardhika. Menurutnya apa yang terjadi dengan Mei 98 dan peristiwa perkosaan massal pada perempuan Tionghoa dirasakan oleh semua aktivis perempuan hingga mereka berkata, "ini bukan tubuh mereka. Ini tubuh kita " dan politik seksual digunakan untuk mentarget perempuan. Yang kedua adalah merawat persaudaraan. "Kita menentang rasisme. Kita menentang politik nativisme pribumi dan non pribumi," ujar Yuni. (ast)