Konferensi Pers Tolak RUU Kesehatan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Rapat Paripurna DPR tanggal 14 Februari 2023 resmi mensahkan RUU Kesehatan sebagai usul inisiatif DPR dan akan segera dibahas bersama dengan Presiden. RUU ini menggunakan format omnibus, yaitu tidak hanya akan mengganti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan saja, tetapi juga akan mencabut 8 UU lainnya. Kompleksitas substansi menjadikan proses pembahasannya memerlukan cukup waktu, sehingga diharapkan DPR dan Presiden tidak tergesa untuk mensahkannya.


Presiden melalui Kementerian Kesehatan sudah membuka kanal untuk masyarakat memberikan masukan, tetapi waktu yang diberikan sangat singkat, bahkan sudah ditutup pada jumat, 17 Maret 2023 lalu. Padahal ruang yang partisipatif dapat terus dibuka selebar lebarnya. Tidak hanya kemudian menjadi simbol yang akan menjadi justifikasi bahwa partisipasi publik sudah dibuka. Oleh karena itu, Koalisi yang beranggotakan organisasi penyandang disabilitas serta organisasi untuk penyakit kronis dan langka, menyatakan sikap agar Pemerintah membuka kembali ruang untuk masyarakat berpartisipasi. Bahkan seharusnya Pemerintah mempublikasikan pasal- pasal apa saja yang akan diatur dengan bahasa yang sederhana, tidak hanya membiarkan publik membaca draft RUU yang mencapai 400 lebih Pasal.


Secara Substansi, Koalisi yang beranggotakan organisasi penyandang disabilitas serta organisasi untuk penyakit kronis dan langka mendeteksi ada sejumlah Pasal yang bersifat diskriminatif, yaitu seperti Pasal 4 ayat (3) yang mengecualikan seseorang yang mengalami gangguan mental berat mendapatkan hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang diberikan kepada dirinya.


Selain itu ada pula Pasal 135 ayat (2) yang mengatur bahwa Hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
penetapan kelulusan dalam proses seleksi. Pasal itu memposisikan seseorang dengan gangguan jiwa atau Kesehatan berpeluang kecil mendapatkan pekerjaan. Ada pula Pasal 245 ayat (3) huruf c yang menjadikan surat keterangan sehat fisik dan mental sebagai syarat kepemilikan STR, sehingga bagi mereka yang tidak dalam kondisi sehat
fisik dan mental tidak dapat memiliki atau memperpanjang STR. Ketentuan yang hampir sama ada pada Pasal 259 ayat (1) huruf b yang menjadikan syarat sehati jasmani dan rohani untuk menjadi Calon anggota Konsil Kedokteran. Ketentuan lain yang pengaturannya masih menimbulkan ketidakpastian adalah terkait dengan Pasal 104 ayat (5) yang seolah olah mengembalikan hak seseorang untuk menentukan tindakan medis terhadap dirinya sendiri, padahal sejak awal seharusnya Negara melalui UU tidak mencabut hak seorang pasien untuk menentukan menerima dan menolak tindakan kesehatan atas dirinya.

Selain itu, Pasal 109 ayat (1) mengatur bahwa seseorang yang diduga kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan jiwa. Dalam Pasal itu tidak dijelaskan apa fungsi dari pemeriksaan yang dilakukan, karena jika dilakukan untuk dasar menjadikan seseorang di bawah pengampuan, maka itu
adalah praktik pelanggaran HAM. Seharusnya pemeriksaan kesehatan jiwa dilakukan untuk menentukan dukungan apa yang harus diberikan oleh orang disekitarnya untuk
memastikan yang bersangkutan tetap dapat menggunakan hak keperdataannya.

Pasal lain yang perlu dikritisi adalah terkait dengan pengaturan mengenai obat- obatan. Kondisinya saat ini, ketersediaan obat untuk beberapa penyakit kronis, dan obat yang rutin dikonsumsi oleh Penyandang disabilitas mental jarang ada di Faskes Tingkat I. Ketentuan Pasal 334 dan 335 belum kuat untuk memastikan ketersediaan obat, ragam obat, batasan dosis yang ketersediaannya harus sama dengan yang tersedia di faskes tingkat kabupaten atau propinsi. Selain itu, obat-obat yang dimaksud perlu secara otomatis masuk dalam DOEN.


Pasal lainnya adalah terkait dengan adanya ketentuan yang mengatur perihal Rumah Sakit, khususnya yang menyediakan pelayanan kesehatan jiwa. Dalam Pasal 113 belum berhasil menjawab permaslaahan selama ini, dimana masih kerap terjadi kekerasan terhadap penyandang disabilitas mental selama mendapatkan layanan kesehatan. Oleh karena itu, dalam pasal 113 perlu untuk mengatur larangan terhadap pelayanan di rumah sakit untuk melakukan tindakan isolasi, pengurungan, penggundulan, dan/atau pengikatan terhadap pasien jiwa. Selain itu, sepanjang  memberikan layanan perlu dipastikan adanya persetujuan dari pasien jiwa.


Berdasarkan catatan tersebut Kami dari Koalisi mendesak DPR dan Presiden untuk:
1. Membuka ruang partisipasi bagi organisasi penyandang disabilitas serta organisasi penyakit kronis dan langka untuk memberikan masukan terhadap RUU Kesehatan
seluas mungkin, dengan tidak membatasi ruang dan waktu pemberian masukan tersebut;
2. Membuat materi-materi publikasi terkait ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam RUU Kesehatan dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah
dipahami, sehingga tercipta ruang transparansi yang baik;
3. Menghilangkan sejumlah Pasal yang bersifat diskriminatif terhadap penyandang disabilitas dan orang dengan penyakit kronis dan langka dari RUU Kesehatan; dan
4. Memperkuat ketentuan-ketentuan yang masih belum tegas dalam menyelesaikan permasalah di lapangan.

Daftar Pendukung Siaran Pers:
1. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)
2. PJS Sumatera Barat

3. SIGAB Indonesia
4. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia
5. Perhimpunan Jiwa Sehat Blitar
6. PJS Jakarta
7. Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia
8. SAPDA
9. Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI)
10. FORMASI
11. ADF
12. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
13. DPP Gerkatin
14. OHANA
15. CIQAL
16. PPUAD
17. KASIH RUMALA Group

Narahubung:
Lutfy Mubarok (Perhimpunan Jiwa Sehat) 0822-4201-9117
Sylvia Sumargi (Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia) 0815-5332-8120
Fajri Nursyamsi (PSHK) 0821-1464-1745

19 Maret 2023