Lintas Berita

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Pada Perempuan Disabilitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Perempuan disabilitas mengalami diskriminasi ganda, interseksionalitas sebagai perempuan dan sebagai penyandang disabilitas. Stigma ini akan meningkat pada diri mereka sendiri sebagai kelompok yang lemah, rendah, tidak setara, dan menjadi beban. Di masa pandemi, PPKM telah menghambat mereka masuk ke layanan kesehatan dan rentan mengalami kekerasan seksual ketika mengalami beban dan tekanan ganda. Kekerasan Seksual pada perempuan disabilitas paling tinggi di DKI dan NTT, dengan korban 51 orang disabilitas intelektual.

Dampak COVID-19 di antaranya adanya PHK dan pengurangan gaji. Karena pandemi COVID-19 pula memperbesar peran domestik dan meningkatnya kekerasan. Hal ini dialami di semua sektor oleh perempuan disabilitas : secara ekonomi bekerja di bawah tekanan karena tidak memiliki skill, tidak punya akses pendidikan, faktor sosial, dan pada kasus-kasus kekerasan terjadi rendahnya alat bukti sehingga kasus tidak diproses secara hukum.

Dalam sebuah webinar yang dilaksanakan pad  a medio Desember oleh lembaga SAPDA, Ulfa Kasim dari Institut Kapal Perempuan memaparkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2021 yang angkanya naik,  tetapi dokumentasi kasus rendah. Semua orang bingung, mau melapor seperti apa, APD tidak ada. Pada awal pandemi itu, diakui sulit dan dan banyak keterbatasan. Kalau hendak mengakses rumah aman, maka disarankan melakukan PCR, antigen. Bagi korban itu sulit sekali. Sehingga layanan pengaduan via online sangat krusial.

Institut Kapal Perempuan melakukan kajian, bahwa pengguna WhatsApp sangat banyak di Indonesia. Dan menurut survey literasi digital Indonesia, aplikasi itu sangat mudah diakses maka pihaknya menyebarkan nomor layanan 081280885525. Kapal Perempuan membuat layanan pengaduan online dan mudah dijangkau korban atau pelapor tentu dengan banyak prinsip menjaga korban agar dia tidak mengalami kekerasan dua kali dengan sistem seperti ini.

Kerangka besar layanan ini ada dua yakni peran  dan akses terhadap keadilan. Peran digambarkan dengan mengungkap kekerasan seksual pada perempuan dalam situasi pandemi bisa mengungkap kekerasan pada perempuan guna melengkapi pendokumentasian kasus. Bagi organisasi masyarakat sipil, hal ini bagian dari menyediakan data yakni  advokasi berbasis data. Dengan demikian mereka mendorong advokasi bahwa dalam masa pandemi kekerasan dalam rumah tangga yang makin tinggi.

SAPDA sendiri memiliki “Rumah Cakap Bermartabat”sebagai layanan inisiatif crisis center bagi perempuan dan anak disabilitas, dengan melakukan pendampingan psikologis dan pendampingan hukum. Di catatan mereka pada masa PPKM, banyak layanan diakses. Membuat mereka meneggaskan bahwa apa yang terungkap dalam Catahu Komnas Perempuan tentang peningkatan angka kekerasan seksual memang makin meninggi, hanya tidak terpublish dengan baik. Rumah Cakap Bermartabat mencakup tiga kelompok : perempuan disabilitas, perempuan dan anak, dan anak difabel yang tidak jauh berbeda dengan pengada layanan.

Adanya penilaian personal untuk mengetahui hambatan dan tantangan klien, sehingga mengetahui hambatan klien. Kemudian ada pendampingan hukum non litigasi, dan ada yang langsung dengan advokat untuk berkonsultasi. Fasilitas psikolog merupakan alternatif penyelesaian masalah dan pemberdayaan klien. Aktivitas SAPDA sebagai pengada layanan meliputi outreach, case conference, rujuk, serta kebutuhan yang dibutuhkan klien.

Sementara itu untuk melayani disabilitas rungu wicara/Tuli, klien dipertemukan dengan juru bahasa isyarat, juga dengan media tulis-menulis. Klien yang tidak tersentuh dengan pendidikan memiliki bahasa yang autentik, sehingga didampingi oleh JBI dengar dan Tuli.

Dikutip dari Tempo.co, Komnas Perempuan menemukan korban kekerasan pada kelompok perempuan difabel banyak terjadi pada rentang usia 9-19 tahun. Pada usia tersebut, perempuan difabel berada pada pendidikan dasar dan menengah. Sebagian besar dari mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi. (astuti)